RINDU KEPADA RASULULLAH SAW

Sepeninggalan Rasulullah SAW, Bilal tidak pernah lagi mau menjadi Muazzin, tidak sanggup baginya untuk mengingat kenangan-kenangan indah bersama Rasulullah SAW yang membuat hatinya menjadi semakin sedih. Ketika Sayyidina Abu Bakar Shiddiq mendesak Bilal untuk menjadi muazzin, Dengan kesedihan yang mendalam Bilal berkata : “Biarkan aku hanya menjadi muadzin Rasulullah saja. Rasulullah telah tiada, maka aku bukan muadzin siapa-siapa lagi.”
Ia pun memutuskan untuk meninggalkan Madinah, bergabung dengan pasukan Fath Islamy hijrah ke negeri Syam. Bilal kemudian tinggal di Kota Homs, Syria. Sekian lamanya Bilal tak berkunjung ke Madinah, hingga pada suatu malam, Rasulullah Muhammad SAW hadir dalam mimpinya. Dengan suara lembutnya Rasulullah menegur Bilal : “Ya Bilal, Wa maa hadzal jafa? Hai Bilal, mengapa engkau tak mengunjungiku? Mengapa sampai seperti ini?“
Bilal pun segera terbangun dari tidurnya. Tanpa berpikir panjang, Ia mulai mempersiapkan perjalanan untuk kembali ke Madinah. Bilal berniat untuk ziarah ke makam Rasulullah setelah sekian tahun lamanya Ia meninggalkan Madinah.
Setibanya di Madinah, Bilal segera menuju makam Rasulullah. Tangis kerinduannya membuncah, cintanya kepada Rasulullah begitu besar. Cinta yang tulus karena Allah kepada Baginda Nabi yang begitu dalam.
Sayyidina Abu Bakar Shiddiq ra dan Sayyidina Umar bin Khattab hadir juga di makam Nabi SAW, menyaksikan Bilal menangis dan keduanyanya juga ikut menangis. Dengan linangan air mata, Bilal berkata kepada Sayyidina Abu Bakar Shiddiq ra, “Apakah Rasulullah akan meninggalkan aku yang Abu Bakar?”, dengan senyum Abu Bakar menjawab, “Rasulullah tidak meninggalkanmu ya Bilal”.
“Benarkah begitu?”, Bilal memastikan.
Sayyidina Abu Bakar Shiddiq ra berkata, “air mata yang menangis karena rindu kepada Rasulullah tidak akan ditinggal oleh Rasulullah”
Bilal sosok yang sangat dekat dengan Rasulullah SAW, dan dijamin masuk surga, namun dalam hatinya masih ada rasa takut ditinggalkan oleh Rasulullah SAW. Sifat ini yang harus tertanam dalam diri kita, jarak dan waktu memisahkan kita dengan Rasulullah SAW, apakah kita tidak juga khawatir akan ditinggalkan oleh Rasulullah SAW?
Seberapa banyak air mata yang pernah tertumpah karena rindu kepada Rasulullah SAW, rindu kepada kekasih Allah, atau kita hanya mempelajari sejarah Nabi tanpa pernah bersentuhan dengan hati Beliau, dengan ruhani Beliau sehingga tidak keluar setetespun air mata untuk Beliau.
Fisik dengan fisik seiring waktu berjalan sudah pasti terpisah sedangkan ruhani dengan ruhani tidak akan terpisah karena bukan berasal dari unsur dunia yang tunduk kepada hukum dunia. Ruh dengan ruh selama berada pada dimensi yang sama akan senantiasa berjumpa. Ruh Nabi SAW tetap hidup disisi Allah sebagaimana firman Allah :
“Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup disisi Tuhannya dengan mendapat rezeki.” (Q.S. Ali Imaran, 169).
Maka diperlukan bimbingan yang khusus sebagaimana Nabi SAW membimbing sehingga ummat di akhir zaman ini tetap merasakan kerinduan dan takut kehilangan Rasulullah sebagaimana yang dirasakan oleh Bilal ra..
Jauh tidak berjarak, dekat tidak bersentuhan…
للّٰهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِ نَا مُحَمَّدٍنِ الْفَاتِحِ لِمَا اُغْلِقَ وَالْخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ وَالنَّاصِرِ الْحَقَّ بِالْحَقِّ وَالْهَادِي اِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى اٰلِهِ وَأَصْحَابِهِ حَقَّ قَدْ رِهِ وَمِقْدَارِهِ الْعَظِيْمِ
“Ya Allah, limpahkanlah shalawat, salam, dan keberkahan kepada junjungan kami, Nabi Muhammad SAW, pembuka apa yang terkunci, penutup apa yang telah lalu, pembela yang hak dengan yang hak, dan petunjuk kepada jalan yang lurus. Semoga Allah limpahkan shalawat kepadanya, keluarga dan para sahabatnya dengan hak derajat dan kedudukannya yang agung.”
