Jejak Cinta,  Kisah Hikmah,  Tasauf

Aku Tidak Mempunyai Pilihan…

Jika kita membahas tentang cinta kepada Allah dalam sudut pandang tasawuf, nama Rabi’ah al-Adawiyah akan selalu disebut dan dibahas baik oleh sufi generasi sezaman dengan dia maupun generasi setelahnya sampai saat ini. Rabi’ah al-Adawiyah lah yang mempopulerkan istilah “Mahabbah” atau maqam cinta, kondisi dimana seorang benar-benar terserap dalam cinta Ilahi sehingga tidak ada lagi yang di inginkan selain cinta kepada Allah.

Fariduddin al-Attar menceritakan dalam kitab Taz-kiratul Auliya bahwa Rabiah pandai sekali meniup seruling. Untuk jangka waktu tertentu ia menopang hidupnya dengan bermain musik. Namun, kemudian ia memanfaatkan kepandaiannya untuk mengiringi para sufi yang sedang berzikir dalam upayanya untuk menekatkan diri kepada Tuhan. Selain itu ia mengunjungi masjid-masjid, dari pagi sampai larut malam. Namun, lantaran ia merasa dengan cara itu Tuhan tidak makin menghampirinya, maka ditinggalkannya semua itu.

Ia tidak lagi meniup seruling, dan ia tidak lagi mendatangi masjid-masjid. Ia menghabiskan waktu dengan beribadah dan berzikir. Setelah selesai salat isa, ia terus berdiri mengerjakan salat malam. Pernah ia berkata kepada Tuhan, “Saksikanlah, seluruh umat manusia sudah tertidur lelap, tetapi Rabiah yang berlumur dosa masih berdiri di hadapan-Mu. Kumohon dengan sangat, tujukanlah pandangan-Mu kepada Rabiah agar ia tetap berada dalam keadaan jaga demi pengabdiannya yang tuntas kepada-Mu.”

Jika fajar telah merekah dan serat-serat cahaya menebari cakrawala, Rabiah pun berdoa dengan khusyuk, “Ya, illahi. Malam telah berlalu, dan siang menjelang datang. Aduhai, seandainya malam tidak pernah berakhir, alangkah bahagianya hatiku sebab aku dapat selalu bermesra-mesra dengan-Mu. illahi, demi kemuliaan-Mu, walaupun Kautolak aku mengetuk pintu-Mu, aku akan senantiasa menanti di depan pintu karena cintaku telah terikat dengan-Mu.”

Lantas, jika Rabiah membuka jendela kamarnya, dan alam lepas terbentang di depan matanya, ia pun segera berbisik, “Tuhanku. Ketika kudengar margasatwa berkicau dan burung-burung mengepakkan sayapnya, pada hakikatnya mereka sedang memuji-Mu. Pada waktu kudengar desauan angin dan gemericik air di pegunungan, bahkan manakala guntur menggelegar, semuanya kulihat sedang menjadi saksi atas keesaan-Mu.

Tentang masa depannya ia pernah ditanya oleh Sufiyan at-Thawri: “Apakah engkau akan menikah kelak?” Rabiah mengelak, “Pernikahan merupakan keharusan bagi mereka yang mempunyai pilihan. Padahal aku tidak mempunyai pilihan kecuali mengabdi kepada Allah.

Bagaimanakah jalannya sampai engkau mencapai martabat itu?” “Karena telah kuberikan seluruh hidupku,” ujar Rabiah. “Mengapa bisa kau lakukan itu, sedangkan kami tidak?” Dengan tulus Rabiah menjawab, “Sebab aku tidak mampu menciptakan keserasian antara perkawinan dan cinta kepada Tuhan.

Rabi’ah tidak mempunyai pilihan karena memilih itu hanya pada orang yang merdeka sedangkan Rabi’ah telah sempurna menjadi hamba-Nya. Tidak akan cukup ribuan buku untuk menggambarkan kondisi hati Rabi’ah kecuali hati orang yang mengalami hal yang sama seperti yang di alami oleh Rabiah.

Dalam dunia tasawuf ada sebuah ungkapan “Tidak akan tahu kalau tidak pernah merasakan”. Semua RASA itu hanya bisa hadir jika HATI dibimbing oleh Orang yang sudah mengalami…

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: