Kisah Hikmah,  Motivasi,  Tasauf

Ketika Allah Mencintai…

Di sebuah negeri zaman dulu kala, seorang pelayan raja tampak gelisah. Ia bingung kenapa raja tidak pernah adil terhadap dirinya. Hampir tiap hari, secara bergantian, pelayan-pelayan lain dapat hadiah. Mulai dari cincin, kalung, uang emas, hingga perabot antik. Sementara dirinya tidak.

Hanya dalam beberapa bulan, hampir semua pelayan berubah kaya. Ada yang mulai membiasakan diri berpakaian sutera. Ada yang memakai cincin di dua jari manis, kiri dan kanan. Dan, hampir tak seorang pun yang datang ke istana dengan berjalan kaki seperti dulu. Semuanya datang dengan kendaraan. Mulai dari berkuda, hingga dilengkapi dengan kereta dan kusirnya.

Ada perubahan lain. Para pelayan yang sebelumnya betah berlama-lama di istana, mulai pulang cepat. Begitu pun dengan kedatangan yang tidak sepagi dulu. Tampaknya, mereka mulai sibuk dengan urusan masing-masing.

Cuma satu pelayan yang masih miskin. Anehnya, tak ada penjelasan sedikit pun dari raja. Kenapa beliau begitu tega, justru kepada pelayannya yang paling setia. Kalau yang lain mulai enggan mencuci baju dalam raja, si pelayan miskin ini selalu bisa.

Hingga suatu hari, kegelisahannya tak lagi terbendung. “Rajaku yang terhormat!” ucapnya sambil bersimpuh. Sang raja pun mulai memperhatikan. “Saya mau undur diri dari pekerjaan ini,” sambungnya tanpa ragu. Tapi, ia tak berani menatap wajah sang raja. Ia mengira, sang raja akan mencacinya, memarahinya, bahkan menghukumnya. Lama ia tunggu.

“Kenapa kamu ingin undur diri, pelayanku?” ucap sang raja kemudian. Si pelayan miskin itu diam. Tapi, ia harus bertarung melawan takutnya. Kapan lagi ia bisa mengeluarkan isi hati yang sudah tak lagi terbendung. “Maafkan saya, raja. Menurut saya, raja sudah tidak adil!” jelas si pelayan, lepas. Dan ia pun pasrah menanti titah baginda raja. Ia yakin, raja akan membunuhnya.

Lama ia menunggu. Tapi, tak sepatah kata pun keluar dari mulut raja. Pelan, si pelayan miskin ini memberanikan diri untuk mendongak. Dan ia pun terkejut. Ternyata, sang raja menangis. Air matanya menitik.

Beberapa hari setelah itu, raja dikabarkan wafat. Seorang kurir istana menyampaikan sepucuk surat ke sang pelayan miskin. Dengan penasaran, ia mulai membaca, “Aku sayang kamu, pelayanku. Aku hanya ingin selalu dekat denganmu. Aku tak ingin ada penghalang antara kita. Tapi, kalau kau terjemahkan cintaku dalam bentuk benda, kuserahkan separuh istanaku untukmu. Ambillah. Itulah wujud sebagian kecil sayangku atas kesetiaan dan ketaatanmu.”

Kisah ini bisa jadi benar terjadi atau hanya sebuah kisah dikarang agar orang memperoleh hikmahnya. Kisah ini paling tepat menggambarkan hubungan cinta Allah kepada hamba-Nya dan terkadang manusia sering kali salah memaknai. Seringkali cinta Allah kepada hamba-Nya berwujud dalam bentuk kondisi tidak menyenangkan agar si hamba tetap fokus kepada Allah bukan kepada lainnya.

Kita sepakat bahwa seluruh Nabi adalah kekasih Allah, orang sangat dipercaya oleh Allah dan tentu sangat di cintai oleh Allah. Wujud cinta Allah kepada Nabi Sulaiman dengan segala kemegahan dan kemewahan berbeda dengan wujud cinta Allah kepada Nabi Ayyub as yang menanggung beban sakit parah atau bahkan seperti Nabi Zakaria as dan Nabi Yahya as yang terbunuh. Kedua jenis bertolak belakang, kemewahan dan derita, kesenangan dan kesakitan, tapi semuanya adalah wujud cinta karena kita sepakat bahwa para Nabi adalah kekasih Allah.

Ketika Allah mencintai maka konsekwensi dari cinta itu adalah kita harus benar-benar sepenuh hati menerima cinta itu tanpa ada ruang untuk selain Dia. Ketika ada ruang terisi oleh cinta yang lain maka apapun yang mengisi ruang itu akan lenyap sebagai wujud Allah sebagai yang Maha cemburu seperti ucapan Nabi SAW, “Tidak ada seorang pun yang lebih cemburu dari Allah”.

Maka pengertian fanabillah itu bukanlah seperti orang kesurupan, berada dalam kondisi ketidaksadaran. Fanabillah adalah kondisi dimana hamba terserap oleh cinta Allah sehingga apapun yang di ingat adalah Allah, gerak apapun dilakukan tidak terlepas oleh rasa rindunya kepada Allah.

Ketika Allah mencintai…maka tidak ada lagi siapapun dan apapun yang bisa membuat si hamba jatuh cinta, pada puncaknya sebagaimana yang sering kita ucapkan dalam shalat… Inna shalati wanusuki wamahyaya wamamati lillahirabbil alamin, ”Sesungguhnya, shalat-ku, ibadah-Ku, hidup dan mati ku hanya untuk Allah, semesta alam..”

Semoga Bermanfaat…

5 Comments

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: