Dunia Islam,  Pemikiran

Persekutuan Ulama-Negara Penyebab Kemunduran Islam

Ulama yang hidup di generasi awal sampai abad ke 11 masehi memiliki kemandirian di dalam ekonomi mereka melakukan perdagangan dan berhubungan dengan para pengusaha atau mereka sendiri menjadi pengusaha sehingga mereka sangat mandiri dalam finansial dengan demikian berpengaruh pula kepada kebebasan mereka dalam mengemukakan pendapat (fatwa). Imam Hanafi sebagai contoh adalah seorang pedagang yang kaya bahkan orang yang belajar kepada Beliau di biayai.

Kemandirian secara ekonomi ini menyebabkan ulama mampu mengembangkan ilmu secara mandiri tanpa khawatir di tekan oleh siapapun dan kita tahu Islam yang sampai ke nusantara di bawa oleh para pedagang dan itu tidak lain adalah para ulama yang memang berprofesi sebagai pedagang.

Dalam pengetahuan saya, hubungan antara ulama dan negara itu sudah berlangsung sejak lama karena referensi yang saya dapat adalah hubungan antara ulama dan raja-raja di nusantara, saling membutuhkan. Pihak raja memerlukan ulama untuk menguatkan kekuasaannya sementara ulama memerlukan bantuan dari raja terkhusus dalam hal keuangan.

Dalam kesarjanaan modern, terdapat beberapa teori yang diajukan untuk merunut akar kemunduran peradaban Islam. Teori paling masyhur menyebut pengabaian pelan-pelan terhadap filsafat dan mengentalnya ortodoksi keilmuan Islam sejak abad ke-11 merupakan pemicu paling bertanggung jawab terhadap pudarnya reputasi muslim di pentas dunia.

Teori tersebut selanjutnya dilengkapi dengan pengambinghitaman secara penuh terhadap figur Al Ghazali. Ini diperkuat oleh kepiawaian Al Ghazali dalam menyerang filsafat di samping pembelaannya yang gigih terhadap ortodoksi. Serangannya yang monumental terhadap filsafat diabadikan ke dalam Tahafut al-Falasifah, sedangkan seruan ke arah ortodoksi ditabalkan di dalam Ihya’ ‘Ulum al-Din.

Teori penyebab kemunduran Islam yang sudah diterima secara umum ini, termasuk karena faktor kolonialisme dan lambatnya ummat Islam meradaptasi dengan dunia modern, telah menjadi keyakinan para sarjana muslim sebagai faktor penyebab utama kemunduran dunia Islam.

Namun  Ahmet T. Kuru, seorang guru besar Ilmu Politik dan Direktur Pusat Studi Islam dan Arab di San Diego University dalam buku berjudul “Islam, Otoritarianisme, dan Ketertinggalan: Perbandingan Lintas Zaman dan Kawasan di Dunia Muslim” mengemukakan pendapat yang benar-benar baru. Penyebab utama kemunduran dunia Islam adalah  “Persekutuan antara ulama dan negara!.

Kita tahu bersama bahwa pada abad 8 sampai abad ke-11, dunia muslim mengalami masa keemasannya dalam bidang filsafat dan pembangunan sosio-ekonomi. Menurut Kuru, masa keemasan dunia Islam diraih karena peran ulama dan kaum intelektual yang menjaga jarak dengan kekuasaan. Banyak dari kaum Intelektual muslim waktu itu, lebih dari 70% ulama dan keluarganya bekerja dalam bidang perniagaan. Sebab kedekatan dengan kaum pedagang mampu menjaga independensi dan kemerdekaan berpikir kaum intelektual.

Independensi kaum Intelektual sangat diperlukan guna mencegah monopoli tafsir yang disebabkan oleh tangan penguasa. Kuru, menyatakan: “Keragaman pandangan agama dan filsafat di bawah Dinasti Umayah dan Abbasiah, memiliki kesempatan yang terbatas untuk mensakralkan otoritas mereka. Mereka tidak pernah berhasil mengklaim posisi suci untuk pemerintahan mereka. Tidak seperti Eropa, di mana raja diklaim sebagai dewa dan memerintah atas nama Tuhan.” Wawancara Tirto.id (7/5)

“Pada pertengahan abad ke-11, khalifah Abbasiah, mendeklarasikan aliran Sunni. Mereka mengumumkan bahwa Mu’tazilah, filsuf muslim rasional adalah kafir. Kaum Syiah, terutama Syiah Ismailiyah adalah kafir. Dan muslim yang tidak taat adalah kafir. Deklarasi ini berarti pembentukan ortodoksi Sunni. Hal ini menjadi alat represi politik untuk menghukum pandangan yang bersebrangan. Oposisi. Oleh karenanya, menjadi filsuf dianggap rendahan. Orang mulai merasa takut disebut filsuf setelah abad ke-12. Sikap anti intelektual ini berlanjut hingga sekarang.”

Kuru, mengajukan argumentasi alternatif dalam bukunya, yaitu: kaum Muslim hari ini memerlukan kaum intelektual dan borjuasi untuk mendapatkan kembali dinamisme saintifik dan sosio-ekonomi. Dan kelas-kelas itu harus menghadapi serta mengkritisi otoritas persekutuan ulama-negara. Untuk mengimbangi tingkat demokrasi dan pembangunan Barat, Muslim tak harus meniru model Barat sepenuhnya.  Muslim punya sejarah sendiri sebagai sumber ilham dan contoh untuk kebangkitan kembali dinamika sains dan ekonomi

Kuru pula menambahkan, tidak ada cara lain untuk mengembalikan kejayaan dunia Islam  kecuali dengan membangun masyarakat yang terbuka, demokratis, dan ekonomi yang kompetitif. Kita perlu berpikiran terbuka, menjunjung tinggi keragaman, kreatif, kompetitif, toleran. Ortodoksi menghancurkan heterodoksi adalah hal yang keliru. Jika kaum muslim mesti memilih, jalan prgraesif atau melestarikan tradisi, mereka harus mengingat bahwa tradisi mereka, sejarah mereka amat kaya dengan gagasan yang bisa dipakai untuk membentuk masyarakat demokratis dan sistem meritokratik. (Sumber : Kompasiana)

Nampaknya memang hubungan mesra antara ulama (fiqih) dan negara terjadi hampir di seluruh dunia Islam tidak terkecuali di Indonesia. Negara memiliki kepentingan untuk mengontrol masyarakat lewat ulama. Masyarakat Islam sudah dimanjakan oleh “fatwa” dan ulama pun sudah semakin ketagihan di dalam berfatwa sehingga hal-hal yang tidak pentingpun di fatwakan.

Jika penyebab kemunduran Islam karena persekutuan ulama-negara, sudah saatnya hal ini harus di akhiri, semua orang ditempatkan di tempat yang tepat secara profesional. Masih banyak ulama yang mandiri tanpa harus hidup dari persekutuan ini, mereka dengan ikhlas membimbing ummat, mereka memiliki sumber ekonomi yang mandiri.

Negara yang maju dan modern, dimana masyarakatnya hidup terbuka dan diperlakukan secara adil serta makmur juga  tidak memerlukan stempel apapun dari ulama agar kehidupan di masyarakat berjalan baik.

Semoga tulisan ini bermanfaat…

3 Comments

  • veyz

    Tulisan yang sangat bagus. Saya baca dengan seksama dari awal hingga akhir.
    Membuka jendela bagi para penbacanya. Terima kasih banyak ustadz.
    Opini Saya :
    Sedikit terdengar sekularisme ya.
    Seakan-akan Nabi SAW tidak pernah bernegara, seakan-akan pengikut Nabi SAW tidak pernah cawe-cawe “positif” pada negara, seakan-akan negara tidak pernah membutuhkan tuntunan Ulama’.
    Sebenarnya tidak ada salahnya Ulama’ yang bernegara. Adapun fatwa-fatwa yang terkesan menyimpang dari para pendahulunya dan lebih memenangkan pesanan pemerintah itu bisa kita tinjau dari banyak perspektif. Kyai/Ulama sudah pasti tahu bagaimana mereka harus memfatwakan suatu hukum. Lebih memprioritaskan ashlah fal ashlah dan a’am minal khosh. Dan perlu kita ketahui hukum-hukum yang bersifat furu’iyah itu sangat fleksibel, menyesuaikan masa, tempat dan kondisi suatu negara. Bisa jadi Beliau-beliau lebih berpengetahuan, Bahkan dikarenakan mereka ikut andil dalam Negara, mereka memiliki banyak ma’lumat tentang keadaan Negara dan penduduknya, sehingga bisa menimbang-nimbang hukum apa yang lebih maslahat untuk diterapkan di Negara kita.
    Banyak sekali Ulama yang bernegara. Seperti Imam Abu Yusuf murid dari Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, Qodi Husein, Qodi ‘Iyadh. Dll.
    Mereka semua tidak terdikte oleh pemerintahan. Fatwa-fatwanya banyak yang tidak sesuai dengan fatwa mufti sebelumnya atau catatan-catatan dalam karya tulisnya. Itu menunjukan fatwa itu menyesuaikan tempat, masa dan kondisi daerah setempat.

    Matursuwun.

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: