Tasauf

ZUHUD YANG SEBENARNYA

Sulthanul Aulia Ahli Silsilah ke-36 yang

mendapat gelar “Master Dunia Akhirat” mengatakan:

Hanya orang bodoh dan orang gila yang tidak ingin kaya

Syahdan, ada seorang syaikh yang hidup sederhana. Dia makan sekedar kebutuhan untuk bertahan-hidup saja. Karena profesinya nelayan, pagi-pagi dia memancing ikan. Setelah mendapat banyak ikan, dia membelah ikan-ikan itu menjadi dua: batang tubuh ikan itu dibagi-bagikan kepada tetangganya, sementara kepalanya dia kumpulkan untuk dimasak sendiri. Karena terbiasa makan kepala ikan itulah sehingga ia diberi julukan syaikh kepala ikan. Dia seorang sufi yang memiliki banyak murid.

Salah seorang muridnya hendak pergi ke Mursia, sebuah daerah di Spanyol. Kebetulan syaikh kepala ikan ini mempunyai seorang guru sufi besar disana (Syaikh Al-Akbar). “Tolong kamu mampir ke kediaman guruku di Mursia, dan mintakan nasihat untukku,” pesan syaikh kepada muridnya. Si muridpun pergi untuk berdagang. Setibanya di Mursia, dia mencari-cari rumah Syaikh Al-Akbar itu. Dia membayangkan akan bertemu dengan seorang tua, sederhana, dan miskin. Tapi ternyata orang menunjukkannya pada sebuah rumah besar dan luas. Dia tidak percaya, mana ada seorang sufi besar tinggal di sebuah bangunan yang mewah dan mentereng, penuh dengan pelayan-pelayan dan sajian-sajian buah-buahan yang lezat. Dia terheran-heran: “Guru saya hidup dengan begitu sederhana, sementara orang ini sangat mewah. Bukankah dia gurunya guru saya?” Dia pun masuk dan menyatakan maksud kedatangannya. Dia menyampaikan salam gurunya dan memintakan nasihat untuknya. Syaikh pun bertutur, “Bilang sama dia, jangan terlalu memikirkan dunia.” Si murid tambah heran dan sedikit marah, tidak mengerti. Syaikh ini hidup sedemikian kaya, dimintai nasihat oleh orang miskin malah menyuruh jangan memikirkan dunia. Akhirnya dengan kesal ia pulang.

Saat gurunya mendengar nasihat yang diperoleh melalui muridnya dia hanya tersenyum dan sedikit sedih si murid mengernyitkan kening tambah tidak paham. Apa maksud nasihat itu? Guru itu menjawab “Syaikh Akbar itu benar. Menjalani hidup tasawuf itu bukan berarti harus hidup miskin. Yang penting hati kita tidak terikat oleh harta kekayaan yang kita miliki dan tetap terpaut dengan Allah SWT. Bila jadi orang miskin harta, tapi hatinya terus memikirkan dunia. Saya sendiri ketika makan kepala ikan, masih sering membayangkan bagaimana makannya daging ikan yang sebenarnya?

Kisah ini menunjukkan dua hal: menjadi orang kaya itu tidak mesti jauh dari kehidupan sufi dan menjadi orang miskin tidak otomatis mendekatkan orang pada kehidupan sufistik. Syaikh Al-Akbar yang disebut diatas adalah Muhyiddin Ibn ‘Arabi, salah satu sufi besar dan cemerlang dalam sejarah perkembangan tasawuf.

Sulthanul Aulia Ahli Silsilah ke-36 yang mendapat gelar “Master Dunia Akhirat” mengatakan: “Hanya orang bodoh dan orang gila yang tidak ingin kaya”. Beliau selalu menganjurkan  murid-muridnya agar selalu berusaha, jangan malu dalam mencari nafkah asalkan halal dan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadist serta aturan-aturan negara. Agar bisa berhasil harus mencoba sampai 7 jenis usaha, Beliau mengistilahkan 7 sumber mata air. Beliau berusaha mengubah pandangan keliru terhadap tasawuf, bertasawuf tidak identik dengan kemiskinan, tapi justru dengan bertasawuf mengubah orang bodoh menjadi pandai, orang miskin menjadi kaya namun hatinya tetap bisa terus berzikir memuja Allah SWT.

Syaikh Nasiruddin Ubaidullah Al Ahrary As Samarqandi bin Mahmud bin Sihabuddin QS Salah satu Wali Qutub yang amat kaya. Kekayaannya pernah menutup hutang-hutang kerajaan Samarqan, membantu kerajaan Mugol India keluar dari krisis keuangan. Setiap tahun berzakat 60.000 ton gandum.

Seorang sufi lain mengatakan, kehidupan tasawuf adalah membiarkan tanganmu sibuk mengurusi dunia dan membiarkan hatimu sibuk mengingat Allah SWT.

Iman Ghazali mengatakan, jiwa harus merawat tubuh sebagaimana orang mau naik haji harus merawat untanya. Tapi kalau ia sibuk dan menghabiskan waktunya untuk merawat unta itu, memberi makan dan menghiasinya, maka kafilah (rombongan) akan meninggalkan ia. Dan ia akan mati di gurun pasir. Artinya, kita bukan tidak boleh merawat yang bersifat fisik, tapi yang tidak boleh adalah kita tenggelam didalamnya. Imam Al-Ghazali bertanya ”apakah uang itu membuat mu gelisah? Orang yang terganggu oleh uang belumlah menjadi seorang sufi”. Jadi persoalannya bukan kita tidak boleh mempunyai uang. Justru, bagaimana kita mempunyai uang cukup, tapi pada saat yang sama hati kita tidak terganggu dengan harta yang kita miliki.

Menurut Ibn ‘Arabi, dunia ini adalah tempat kita diberi pelajaran dan harus menjalani ujian. Ambillah yang kurang dari pada yang lebih didalamnya. Puaslah apa yang kamu miliki, betapapun yang kamu miliki itu kurang dari pada yang lain. Tapi dunia itu tidak buruk. Sebaliknya, ia ladang bagi hari akhirat. Apa yang kamu tanam didunia ini, akan kamu panen di akhirat nanti. Dunia adalah jalan menuju kebahagiaan puncak, dan karena itu baik, layak di puji dan dielu-elukan untuk kehidupan akhirat. Yang buruk, lanjut ‘Arabi, adalah jika apa yang kamu perbuat untuk duniamu itu menyebabkan kamu buta terhadap kebenaran oleh nafsumu dan ambisi terhadap dunia.

Nabi Muhammad SAW. Suatu kali ditanya, apa arti keduniawian itu? Rasulullah menjawab, “Segala sesuatu yang menyebabkan kamu mengabaikan dan melupakan Tuhanmu”. Kegiatan-kegiatan duniawi tidaklah buruk pada dirinya sendiri, tapi keburukannya terletak pada yang membuat lupa kepada Allah SWT.

Disamping Ibn ‘Arabi, konon banyak sufi yang hidup makmur. Fariduddin Al-Atthar, yang terkenal mengarang Al-Manthiq Al-Thair (Musyawarah Burung-Burung) itu, di gelari dengan al-Atthar karena perkerjaannya menjual minyak wangi. Junaid Al-Baghdadi dikenal sebagai al-Qawariri, penjual barang pecah belah. Kemudian Al- Hallaj al-Khazzaz, pemintal kapas: dia mencari nafkah dengan memintal kapas. Adalagi Sari as-Saqati, penjual rempah-rempah. Dan banyak lagi yang lain. Ini hanya gambaran bahwa sufi tidak harus menjauhi dunia.

Abu Zaid mengatakan bahwa seorang sufi yang sempurna bukanlah zahid yang tenggelam dalam perenungan tauhid. Bukan seorang wali yang menolak muamalat dengan orang lain. Sufi sejati adalah mereka yang berkiprah di masyarakat. Makan dan tidur bersama mereka. Membeli dan menjual di pasar. Mereka punya peran sosial, tapi tetap ingat kepada Allah SWT. Dalam setiap saat. Inilah hakikat zuhud yang sebenarnya.

 

 

64 Comments

  • insan

    Untuk apa semuanya ?? jangan rebutan…karena bukan milik mu, kita atau saya…semua milik-Nya yang tiada Hingga.

  • cerminhati

    siapa sesungguhnya ahli silsilah ke-36 itu bang sufi muda tua. trima kasih. kok sepengatahuan dan saya dengar kok ada beberapa gitu? tolong siapa yang tahu jawab.

  • juni

    sufi itu “teu hayang teu embung” dikasih ga nolak juga tidak mau menerima.. apapun adanya semua berasal dari ALLOH..

    bingung .. itu yang ngasih gelar (MASTER ) siapa yah PRESIDEN apa AULIYA… kalo dari AULIYA… AULIYA yang ngasih gelar siapa.. dari mana dia tau dia AULIYA..
    ngahade teman ..
    ATI ATI TEMAN jangan sampai terjerumus pada NAFSUL KHOFII.. karena nafsu khofii itu berjalan seiring dengan jalan IBADAH.. dan tidak mencerminkan seorang sufi.. seorang jati diri sufi sejati adalah memakai pakaian KEHINAAN, KEFAQIRAN, BUTUH, dan TAK BERDAYA KEPADA ALLAH..
    gelar itu sebaliknya…..

  • Jenggot

    Amit bang Sm ikut nimbrung,urusan Mursyd biarkan menjadi urusan Allah kemudian Nabi Muhammad Saw kemudian para Penerusnya ,tidak peduli 36,37,38 adalah sama karena inti sari dari Mursyd adalah Rosulullah, Tugas Murid adalah hanya tinggal mematuhi dan menjalankan dengan sungguh sungguh. Dan satu hal yang harusmenjadi catatan menurut Imam Syafii Walau pun org itu bisa terbang Bisa jalan diair syariatnya salah sesat ia

  • Ruslianto

    Ass.
    Tumbuh dan berkembangnya kajian tassawuf adalah disebabkan karena orang senantiasa secara tekun dan berkekalan mengerjakan amal ibadah, mendekatkan hati kepada Allah SWT dan berpaling dari kemegahan, dgn tidak menaruh perhatian (sangat) terhadap dunia. Mereka zuhud dari dunia, meninggalkan apa yg tidak berguna sekalipun halal dan baik, menghindarkan diri dari kesenangan duniawi dan kemewahan-kemewahan lainnya.

    Sayidina Abu Bakar r.a berkata : “Duniaku hanya seluas tempat dudukku”.
    Alangkah sempitnya luas dunia (ini) kalau ditinjau dari kacamata tassawuf. Namun memang demikian kenyataannya cobalah renungkan dan kita ber-tafakur, saat kita melakukan i’tikaf , duduk diatas sajadah, bukankah dunia kita hanya seluas sajadah dan kelambu kita ??
    Karena jelaslah pada waktu beribadat “itu” kita tdk mengingat hal-hal keduniaan ke akhiratan selain Allah SWT.

    Abu Yazid Al-Bustami ketika ditanya orang tentang arti zuhud beliau menjawab : “Tidak punya apa-apa, dan tidak dipunya apa-apa”, maka jelaslah bahwa ketika “sedang” mengerjakan sholat dan duduk diatas sajadah berada didalam kelambu sambil beramal , kita memang tidak punya apa-apa dan tidak pula dipunyai oleh apa-apa selain Allah SWT.

    Mereka-mereka itu ber-uzlah, yakni menyisihkan diri dari pergaulan dengan masyarakat ramai, dan melakukan khalwat (bersunyi diri) untuk semata-mata ber-ibadat, mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla . Perbuatan yang demikian itu, telah dilakukan seluruh para Nabi, para sahabat Nabi sejak zaman dahulu dan (sekarang) oleh Pengamal Tareqat.

    Wass, demikian sMoga bermanfaat.

  • hadi

    subhanawllah trmksh ski tlisn nya mmbuat hti mnjdi tenang’ & smngt unk lbh baik lgi dlm khdupan’ sya hdi mau izin bleh kah kalu tulisan2 abang ini sya’slain ke dlam buku agar bsa lbih sring mmbaca….trksh wslm

  • Nik

    Sufi itu bukan direka reka.Sufi itu suci dan cintai Allah.Penentuan capaian itu adalah takdir Allah yang mengerak gerikan mereka akan berada dijalan sufi setelah mendapat marifat-marifat yang khusus dalam keilmuan sufi dan wali.

    Maka imam al Ghazali sudah,kaya,berjawatan tinggi dan punya sekolah dan murid namun belum marifat,kasaf dan belum tahun makna pengalaman sufi sebenar.Lalu ia menuntut ilmu daripada seorang guru sufi penjaja susu.Kemudian bertahan setahun kemdian sudah tidak sanggup lagi untuk diam tanpa kelana sufi mengambil pengalamn mistik .Maka ia pergi selama 11 tahun keluar dari baghdad ke Palestin dan syria.Pulang kemudian setelah selesai pencapaian peringkat fanabilah dan bakabillah dan sedikit kasaf sahaja.Kemudian semasa ditempat asal bersama keluarga dan hartanya ia mendapat keilmuan selebihnya.

    Semasa kelana sufi itu tentulah ia tiada berwang dan tiada pula berharap kenyang dan hiburan lain kecuali Allah .Maka itulah zaman ekstrem.Kalau tidak ekstrem sufi tentu sukar capai.Atoilah pun saudagar yang kaya i,ia kelana sufi selama 3 tahun dengan jalan sufi fakir.Apabikla tamat ia kembali kepada keadaan kehartaan dan keluarganya jua. Maka kalau seseorang itu miskin asalnya,bolehkanh habis kelana sufi dia menjadi kembali kepada kaya?.walaupun ia tidak menolak kaya.

    Bagaimana kaum sufi yang hakiki bedzakan cintai Allah dan jangan melampau cinta duniawi ,kalau belum kelana sufi dan kenal diri serta marifatullah hakik. Orang miskin mahupun kaya mana mungkin cintalah tanpa kenal jumpa dan berkata-kata dengan Allah.Mana mungkin ia tidak lalai sepanjang masa dari Allah kalau iatiada pengalaman disisi Allah dalam pengalaman mistiknya.

    Inilah masa dierlukan.kesufian dalam kelana sufi itu mempercepatkan suci diri dan suci muinda dan jiwa untuk menumpu kepada riadah khas yang dip[erturunkan oleh amir sufi.Kemudiannya orang yang pernah kelana sufi dan berjaya fanabillah dan baqabillah tahu bahgaimana lalai kepada Allah.Tahu bagaimana mencintai Allah dengan wajar.Kaya atau tidak setelah berjaya dalam kelana sufi adalah tiada mengapa.Sebab gangguan besar tebalnya hijab adalah dunia.Bila tiada dunia semasa kelana sufi maka lebih nipis hijabnya.

    Yang penting,jangan tamak walaupun kaya.yang penting ada waktu memberi sedekah jua alaupun kaya.Memang dunia akan ikut buntut kaum sufi dan wali.Maka kaya itu dunia. Walaupn sufi tidak mengendahkan kaya tapi kaya menurut buntut wali dan sufi itu juga.Maka jangan pedulikan kaya mengekori anda sampai anda jadi rakus dan tamak harta.Berniaga pun tiada masalah.Namun ingatlah berniaga itu jangan jadi peniaga yang khianat.kadang-kadang sufi ada perniagaan tapi orang lain menguruskannya bagi pihak keluarganya.Sufi itu hanya melihat saja.bukan menguruskannya dengan serious. Muga faham dimanakah kita perlu sufi,iaitu semasa rekrut.Selepas rekrut itu terpulang mengikut keadaan.Nabi Musa,yusof,Daud dan sulaiman pun kaya.ramai nabi yang keadaan miskin. namun semuanya sufi jua.Bagaimana mereka menghadapi Allah,dengan lemah dan takut,dengan lapar dengan kegusaran tidak selamat hidupnya.Bukan dengan harta,makan ,kereta kuda,rumah istana masa menghadap Allah tetapi dalam rasa seperti tel;or dihujung tanduk aksinya.Itulsh keadaan degree sufi dan lemah seoirang ahli penuntut sufi. Wassalam

  • Nik

    Salam ?semasa kelana sufi adalah memerlukan kehidupan sufi.Setelah jayanya capai kasaf dan buka hijab dalam kelana sufi,maka boleh pulang kepangkuanm kampong halaman dan keluarga..Tak timbul soal bakar harta-harta agar miskin.Sahabat nabi pun ramai yang mempunayai ladang dan ternakan .namun ia kuat sedekah,hingga hari-hari berada dalam miskin dan kurang makanan dan wang.Ia adalah teknikal semasa menuntut ilmu.Zuhud itu kurangkan beban dunia secara total tapi harta tidak hilang.

  • Lukman

    Alhamdulillah…
    Ahirnya ketemu juga dengan yg saya cari selama ini, Pak Sufi muda minta petunjuknya agar runut membaca artikel di sini sebaiknya urutannya seperti apa.

Tinggalkan Balasan ke LukmanBatalkan balasan

Eksplorasi konten lain dari Sufi Muda

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca