Tasauf

Re-Inkarnasi Dalam Pandangan Sufi (Bag. 2)

20130501-012211.jpgSuatu hari, ada seorang murid guru saya kemasukan Wali Allah, tidak tanggung-tanggung yang masuk dalam diri dia mengaku sebagai Guru dari Guru saya. Sebagian besar murid-murid semua tunduk atas perintah si murid yang kemasukan salah seorang ahli silsilah. Ketika si murid yang sering kemasukan Wali itu datang menghadap Guru, dengan nada tegas Guru mengatakan, “Kalau ada yang mengaku-ngaku kemasukan Wali Allah, kemasukan Gurumu, kemasukan Syekh Abdul Qadir, kemasukan Wali Songo, itu bisa dipastikan dia sedang kemasukan SETAN karena tidak pernah Wali Allah itu masuk ke dalam diri seseorang”.

Kemudian Guru melanjutkan, “Nur Allah itu Maha Halus, ketika dia berada dalam tubuh seseorang maka tidak akan mengubah karakter dari orang tersebut bahkan terkadang orang yang disinggahi Nur Allah tidak mengetahui kalau dia sedang dilewati Nur Allah”.

Dari ucapan Guru saya itu akhirnya saya semakin yakin bahwa setan sangat halus tipu dayanya, menipu orang-orang yang ingin mendapatkan keramat, ingin sakti dan ingin dihargai oleh orang lain sehingga menawarkan tipun instan yang berbahaya. Tanpa harus zikir lama-lama, tanpa harus suluk dan ubdiyah bertahun-tahun langsung menjadi sakti, itulah tawaran Iblis beserta bala tentaranya yang sulit ditolak oleh manusia yang dalam dadanya penuh dengan nafsu.

Karena itulah di awal berguru sudah ditegaskan bahwa kalau tujuan berguru bukan karena Allah lebih baik berhenti karena tidak akan berhasil. Kalau niat berguru karena ingin terkenal, maka nanti ketika sedang belajar yang dicara adalah cara bagaimana menjadi terkenal sehingga tanpa sadar menyelengkan amanah Guru, menyelengkan amalan yang dikerjakannya untuk mendapatkan pujian dan sanjungan. Harus di ingat, orang yang sudah mempunyai Guru Mursyid kalau dia ingkar kepada Gurunya sangat mudah menjadi sakti karena wadahnya sudah besar, tinggal diganti Power saja dari Power Rasul menjadi Power Setan.

Kalau tujuan berguru ingin pangkat, dengan tegas Guru menolaknya karena khawatir setelah menjadi murid nanti yang dicari pangkat dan kedudukan. Bukan belajar menjadi murid yang baik akan tetapi bercita-cita menjadi Guru Mursyid, hal yang tabu dalam dunia tarekat.

Kalau tujuan berguru hanya untuk harta, maka dikhawatirkan dia akan gugur ketika Allah menguji dia dengan kemelaratan, hal yang memang harus dilewati oleh para pencari Tuhan. Atau dia akan lalai ketika Allah mellimpahkan harta yang banyak.

Karenanya, cara paling aman agar bisa selamat dalam menempuh jalan kepada-Nya adalah dengan “Ilahi Anta Maqsudi Waridhaka Mathlubi”, Tuhan. Hanya Engkau yang aku tuju dan Ridha mu saja yang aku inginkan.

Bersambung…

12 Comments

  • muhammad zain

    bisa minta tlg pada pembaca sekalian, adakah yang bisa menunjukkan kepada saya seorang guru mursid yang kammil mukammil di daerah kabupaten pasuruan jawa timur mohon infonya…matursuwun

    • kedo_kedosunuabadi@yahoo.com

      1. Pilih guru kamu yang mursyid, (dicerdikkan oleh Allah), bukan oleh yang lain-lain dengan mendapat izin Allah dan ridha-Nya.
      2. Ia adalah kamil lagi mukamil (sempurna lagi menyempurnakan) karena karunia Allah.
      3. Yang memberi bekas pengajarannya, (kalau ia mengajar atau berdo’a, maka berbekas pada murid, si murid berubah ke arah kebaikan).
      4. Masyhur ke sana ke mari. Kawan dan lawan mengatakan “Ia seorang Guru besar”.
      5. Tidak dapat dicela oleh orang yang berakal akan pengajarannya, yakni tidak dicela oleh al Qur’an dan al Hadist serta ilmu pengetahuan.
      6. Yang tidak kuat mengerjakan yang harus, umpamanya membuat hal-hal yang tidak murni halalnya.
      7. Tidak setengah kasih akan dunia, karena bulat hatinya. Ia kasih akan Allah, ia bergelora dalam dunia, bekerja keras untuk mengabdi kepada Allah SWT bukan untuk mencintai dunia.

  • Cyntia Nanda

    Guru mengatakan, “Kalau ada yang mengaku-ngaku kemasukan Wali Allah, kemasukan Gurumu, kemasukan Syekh Abdul Qadir, kemasukan Wali Songo, itu bisa dipastikan dia sedang kemasukan SETAN karena tidak pernah Wali Allah itu masuk ke dalam diri seseorang”.

    Kemudian Guru melanjutkan, “Nur Allah itu Maha Halus, ketika dia berada dalam tubuh seseorang maka tidak akan mengubah karakter dari orang tersebut bahkan terkadang orang yang disinggahi Nur Allah tidak mengetahui kalau dia sedang dilewati Nur Allah”.

    #Kalimat di atas menunnjukkan paradoks, yang pertama katanya Wali Allah tidak masuk ke dalam diri seseorang, tetapi yang kedua menyebut Nur Allah bisa singgah ke dalam diri manusia (meskipun secara halus). Bukankah Nur Allah yang dimaksud itu di antaranya adalah Ruh Para Wali?

    #Setiap manusia memiliki pengalaman spiritual sendiri, dan terntu bermacam-macam juga jalannya dalam bermakrifat. Jika seseorang dimasuki oleh orang sholeh, tentu tergantung maqom yang memasukinya…: karomah, maunah atau lainnya, sehingga berbeda tingkat kehalusan cahayanya. Oleh karena itu, ada yang seperti mengubah karekter yang dimasuki, karena masih kasar cahayanya.

    #Sebaiknya tidak mudah membuat kesimpulan yang akan memicu “fitnah”, baik kepada orang yang sedang disinggahi atau kepada setan sendiri….. 😀

    • SufiMuda

      saudari Cyntia
      Terimakasih atas tanggapannya, mohon maaf baru sekarang bisa saya tanggapi.

      Kedua ucapan Guru itu tidak paradoks, keduanya sinkron kecuali kita salah memahami.
      Nur Allah itu bukan ruh wali, itu dua unsur yang berbeda, Maha Suci Allah dari serupa dengan makluk.
      Semasa hidup Wali ALlah, Ruh nya disinggahi nur Allah, ibarat gelas dengan air, keduanya berbeda, dan tidak pernah bersekutu. Setelah Wali Allah meninggal dunia, ruh nya akan kembali kesisi Allah jadi tidak lagi kembali kedunia apalagi masuk ke dalam diri seseorang.
      Sedangkan Nur Allah atau Nur Muhammad akan ada dalam diri orang yang dikehandaki Allah (Baca an-Nur 35). Jadi harus dibedakan antara Muhammad bin Abdullah dan Nur Muhammad. Ketika ini tidak dipahami maka inilah awal kekeliruan pada sebagian besar orang.
      Kalau Nur Allah ada dalam diri seseorang, itu tidak mempengaruhi karakter, misalnya Syekh Abdul Qadir sebelum berguru ketika masih remaja dalam kesehariannya senang makan kurma setelah menjadi Guru Mursyid (pembawa wasilah atau nur Allah) tetap seperti itu sifatnya, tidak berubah.
      Yang kita bahas adalah orang yang mengaku kemasukan Syekh Abdul Qadir, awalnya tidak mengerti sedikitpun bahasa Arab tapi tiba-tiba berbahasa Arab, ini lah setan yang menyusup ke dalam diri manusia. Coba anda baca ulang dengan pelan tulisan saya biar lebih memahaminya.
      Insya Allah tulisan ini akan saya lanjutkan lagi dengan pembahasan tentang beda ruh Wali dengan Nur Allah.

      Saya senang kalau anda membaca terlebih dulu semua tulisan yang pernah saya tulis disini berhubungan dengan wasilah agar bisa lebih memahami.

      salam

      • Cyntia Nanda

        Subhanallah…..
        Terima kasih atas pencerahannya…. pemahaman saya selama ini berarti masih ada yang keliru.

        Jika boleh bertanya, lalu makhluk apa sesungguhnya yang pernah saya dengar sebagai ruh raja-raja penghuni kerajaan di gunung dan pantai? Apakah mereka termasuk dalam kategori nur?

        Semoga berkenan menjelaskan. Terima kasih banyak.

    • Ruslianto

      Maaf,.. Sdr.Amka – pertanyaan-pertanyaan anda insyaAllah terjawab jika membaca “semua” artikel/tulisan Bg.SM yg ada disini.
      Salam kenal untuk Sdr.Amka.
      Wass.

  • opiesalsabila

    assalamualaikum, , mohon maaf sy ingin bertanya ttg Nasab,,jika seseorang itu mempunyai Nasab yang bagus kita ambil contoh Sunan Kalijaga,,apakah sang Sunan itu akan menuntun nasabnya dan mengikuti sang garis Nasab serta bisa diajak dialog? terima kasih

Tinggalkan Balasan

Eksplorasi konten lain dari Sufi Muda

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca