Tasauf

HIPEREALITAS

Kita tahu bahwa di dunia ini ada tas ber-merk yang dipakai oleh orang-orang yang menyebut dirinya “berkelas” dan harga sebuah tas itu sampai dengan 53 milyar. Sebuah tas hermes yang hanya bermodal kulit buaya dijual dengan harga 3 Milyar dan orang berebut untuk membeli. Saya sering guyon dengan kawan-kawan tentang hal ini. Syarat untuk bisa membeli tas itu adalah dua, Kaya dan Gila. Seorang yang kaya raya sekalipun tanpa ada “gila” dalam dirinya tidak akan membeli tas seharga itu apalagi kalau hanya bermodal gila, sudah pasti tas mahal itu tak terbeli. Seekor buaya besar paling dihargai 50 juta, lalu dari mana nilai Rp. 2.950.000.000,- sisanya? Orang membeli merek hermesnya, itu yang membuat orang menjadi tidak normal. Rasanya dengan 3 Milyar bukan hanya buaya sanggup kita beli, sekumpulan buaya dengan kolam dan penjaga buaya bisa kita beli.

Anda memesan segelas kopi di starbukcs dan membayarnya  Rp. 50.000 tanpa beba bahkan dengan bangga. Modal segelas kopi, gula+kopi+air panas tidak lebih Rp. 7.000,-, lalu dari mana angka Rp. 43.000 itu muncul? Anda membayar logo starbuks, sofa duduk dan suasananya, anda dipaksa untuk meyakini bahwa harga segelas kopi Rp. 50.000 per gelas.

Anda membeli baju kaos di Hardrock cafe, harga minimal Rp. 600.000, padahal kaos oblong itu kalau anda sablon, harga maksimal Cuma Rp.100.000, lalu darimana muncul angka Rp. 500.000 itu? Jawabannya sama, anda membeli logo Hardrock cafe.

Nilai sebuah tas, kopi dan kaos oblong itu tidak nyata, itu hanya di ciptakan oleh pebisnis. Fenomena ini yang disebut dengan Hiperalitas, istilah ini dipopulerkan oleh seorang filsuf asal Perancis bernama Jean Baudrillard. Menurut Baudrillard, kita hidup dalam dunia yang semakin kaya informasi dan semakin miskin makna. Hiperealitas juga membuat orang-orang merasa telah melakukan sesuatu padahal mereka tidak melakukan apa-apa. Kita seolah-olah empati dan peduli di media sosial hanya dengan sebuah hashtag. Padahal di dunia nyata, kita adalah sosok yang anti sosial. Berteman dengan banyak orang di facebook atau ratusan follower di twitter membuat kita merasa orang-orang ingin mengetahui kehidupan kita.

Ketika convid-19 datang, semua berubah total seolah dunia di reset ulang. Tadinya orang tiap hari nongkrong di kafe atau di mall sekarang hanya berdiam diri di rumah dan hidupnya baik-baik saja. Kehidupan sebelum convid-19 datang telah menjebak manusia kepada hiperealitas. Saat ini banyak orang menjadi sadar bahwa kehidupan mereka selama ini tidak nyata. Kerja 8 jam sehari selama 5 hari dalam seminggu hanya untuk memenuhi gaya hidup semu, tanpa makna laksana mengejar bayang.

Islam dalam hal ini tasawuf memberikan tuntunan kepada manusia agar bisa hidup menjadi normal. Pengamal tarekat sudah terbiasa minimal dalam setahun 10 hari dia “Lockdown”, mengasingkan diri dari keriuhan dunia sehingga setelah keluar dari suluk menjadi sadar kembali tujuan dia diciptakan oleh Tuhan. Keluar dari suluk memberikan energi baru, energi ilahiah yang selama ini digerus oleh energi syetaniah.

Hiperealitas paling parah biasanya menghinggapi orang-orang beragama dengan semu, hanya sampai ke tahap kulit saja. Beragama hanya sebatas pakaian dan ibadah formal. Mungkin Tuhan memberi teguran lewat ditutupnya Mekkah sehingga ibadah haji dan umrah di tiadakan untuk sementara. Inilah kesempatan segenap ummat Islam merenungi, apa tujuan dia mengejar ibadah haji dan umrah selama ini? Benar-benar untuk mendekatkan diri pada-Nya atau hanya sebagai penaik status sosial?

Salah satu hal yang harus di syukuri dengan kondisi sekarang, covid-19 ini adalah sembuhnya manusia dari penyakit hiperealitas.

sMoga tulisan singkat ini bermanfaat…

4 Comments

Tinggalkan Balasan

Eksplorasi konten lain dari Sufi Muda

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca