Tasauf

Rahasia Tetaplah Rahasia

Ketika saya membuat membuat blog ini menulis tentang tasawuf/tarekat tidak sedikit orang menentang baik dikalangan pengamal tarekat maupun orang yang memang menentang tarekat. Orang yang menentang tarekat dan tasawuf menyerang lewat dalil-dalil dengan begitu yakinnya mengklaim bahwa tasawuf adalah ilmu bid’ah yang tidak pernah diajarkan Rasulullah saw. Perdebatan panjangpun terjadi lewat komentar, email, YM dan ketika saya membuat akun Facebook, perdebatan itu berlangsung. Itulah awal-awal saya memulai blog ini dan pada akhirnya secara perlahan perdebatan itupun berkurang dan mulai terbangun sikap saling menghargai walaupun mereka tidak tetap tidak menyukai tarekat.

Saya bisa memahami perasaan orang-orang yang menentang tarekat, karena saya juga awalnya adalah orang yang sangat menentang tarekat, menentang dengan segudang dalil. Rasanya belum puas kalau belum menyampaikan dakwah kepada pengamal tarekat yang menurut saya adalah orang-orang bid’ah yang melakukan ibadah diluar apa yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Sikap menentang itu berubah total setelah saya bertahun-tahun berguru kepada Masternya Tarekat, berguru kepada Guru Mursyid yang benar-benar ahli di bidang tarekat dan tasawuf, akhirnya saya menyadari betapa saya merasa pandai dan ahli padahal saya tidak memahami sama sekali tentang tarekat. Saya mendapat informasi tarekat dari orang-orang yang membenci tarekat, buku-buku yang memang dibuat agar tarekat dibenci oleh seluruh ummat Islam.

Tahun 2008 dan 2009 adalah tahun dimana saya begitu rajin memposting hal-hal yang berhubungan dengan tarekat baik  tulisan sendiri maupun kutipan dari karya orang lain dan juga copy paste dari blog atau web lain. Dengan memposting info tentang tasawuf memberikan saya semangat dalam berguru, memperluas persahabatan dengan orang-orang yang mempunyai pemahanan yang sama.

Dikalangan pengamal tarekat sendiri tidak kurang kritik ditujukan kepada sufimuda. Sebagian menentang karena menganggap sufimuda dengan terang-terangan membuka hakikat yang selama ini menjadi rahasia dan dikawatirkan akan menimbulkan fitnah. Di kawatirkan orang awam yang salah mengartikan kata-kata hakikat dan akan menjadi senjata makan tuan. Lalu pertanyaan yang harus dijawab adalah apa sebenarnya hakikat? Apakah yang disampaikan lewat tulisan itu masih disebut hakikat atau itu hanya tulisan yang tidak ada hubungan sama sekali dengan hakikat.

Sebenarnya tidak ada larangan dalam Agama untuk menyampaikan sebuah ilmu asal cara menyampaikan bisa dimengerti oleh si penerima. Rasulullah saw memberikan nasehat, “Sampaikan sesuatu menurut kadar si penerima”. Sebenarnya apa yang saya tulis (saat ini sudah 300 tulisan) di sufimuda bukanlah hakikat apalagi makrifat. Saya hanya menulis sesuatu yang memang boleh di tulis dan disebarkan. Apa yang ditulis di dalam kitab-kitab tasawuf klasik jauh lebih mendalam dan berani bahkan akan dianggap aneh oleh orang-orang yang tidak pernah mendalami tasawuf sama sekali.

Setiap Guru Sufi memberikan aturan dan larangan yang berbeda kepada muridnya. Syekh Bahauddin Naqsyabandi semasa Beliau hidup melarang para murid untuk mencatat ucapan dan nasehat Beliau termasuk melarang murid-murid Beliau menulis riwayat hidup dan sejarah berguru Beliau. Beliau beranggapan biarlah ajaran-ajaran Beliau itu tersimpan di hati para murid dan kemudian diteruskan dihati kegenarasi selanjutnya tanpa dirusak oleh tulisan yang kadang kala berbeda dengan makna sebenarnya. Berbeda dengan Syekh Abdul Qadir Jailani, seluruh ucapan dan petuah Beliau secara harian ditulis oleh para murid dan kemudian dibukukan dengan tujuan agar apa yang beliau sampaikan bisa diterima oleh orang-orang yang tidak pernah berjumpa dengan Beliau. Kedua prinsip Syekh Besar tersebut menjadi dalil dan alasan yang sama-sama benar.

Guru saya melarang para muridnya menulis tentang kaji-kaji dalam tarekat mulai dari kaji dasar sampai dengan khalifah. Kenapa? Karena di kawatirkan dibaca oleh orang awam dan mempraktekkan tanpa Guru Mursyid yang membuat orang akan tersesat karena setan akan sangat mudah menyusup di setiap amalan yang di amalkan tanpa izin. Sementara Syekh lain termasuk Syekh Jalaluddin dengan terang-terangan menulis seluruh kaji dalam suluk dari Ismu Dzat sampai dengan Dzikir Tahlil dan beberapa kitab lain termasuk bahan referensi di Universitas menulis semua kaji-kaji dan amalan di dalam Tarekat. Syekh Muhammmad Amin Al-Kurdi dalam kitabnya Tanwir al-Qulub fi Mu’amalah ‘Allam al-Ghuyub yang menjadi rujukan para pengamal Tarekat di seluruh dunia membahas secara luas tentang hadap dan tata cara suluk tetapi disana tidak ditulis jenis-jenis amalan karena di kawatirkan akan diamalkan oleh orang yang tidak memiliki Mursyid.

Apa yang dialami oleh orang-orang yang telah tenggelam dalam Hakikat akan menjadi rahasia sepanjang hidupnya dan tetap akan menjadi rahasia selamanya sebab kalau diungkapkan maka itu bukan lagi sebuah rahasia. Menariknya ilmu hakikat adalah walaupun diungkapkan secara terang-terangan maka itu tetap menjadi sebuah rahasia bagi orang yang belum mencapai kesana. Al-Qur’an mengungkapkan secara terang-terangan bahkan sangat jelas membahas tentang hakikat Tuhan, tapi apakah semua orang yang membaca Al-Qur’an mencapai tahap makrifat? Jawabannya tidak karena Ayat-ayat Al-Qur’an penuh dengan symbol yang hanya bisa dimengerti oleh orang yang telah terbuka hijabnya.

Begitu terang-terangan Rasulullah SAW lewat hadist Beliau menjelaskan tentang hakikat, bahkan sangat terang, tapi karena umumnya yang membaca tidak terbuka hijab, ucapan Nabi yang demikian terbuka malah ditasfirkan secara keliru oleh akal manusia yang memang tidak sampai pemahaman disana akhirnya rahasia tersebut tetap menjadi rahasia.

Beberapa ucapan sahabat yang menggambarkan betapa rahasianya Ilmu Hakikat itu antara lain ucapan Abu Hurairah, “…Apabila aku ceritakan niscaya Halal darahku”, apabila hakikat itu diceritakan dengan bahasa salah maka nyawa sebagai taruhan. Atau ucapan saidina Husaen ra, “Apabila aku jelaskan hakikat itu kepada kalian niscaya kalian akan menuduh aku sebagai penyembah berhala”. Orang yang telah mencapai kaji disana akan tersenyum membaca ucapan dari saidina Husein, dan andai hakikat itu dibuka di zaman sekarang pasti orang akan menuduh yang sama yaitu dianggap orang yang mengamalkan hakikat itu sebagai penyembah berhala.

Sungguh luar biasa Allah melindungi ilmu-ilmu berharga tersebut demikian  rahasianya, ditempatkan di dalam qalbu para hamba-Nya sehingga tidak seorangpun bisa mengambilnya. Allah telah melindungi ilmu-ilmu berharga tersebut dengan hijab (penghalang) cahaya sehingga manusia tidak akan melihat karena begitu terangnya cahaya tersebut. Rahasia itu hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang telah bermandikan cahaya, larut dalam Dzat-Nya sehingga apa yang menjadi rahasia tidak lagi menjadi rahasia.

Apa yang saya sampaikan disini bukanlah hakikat, tapi tulisan-tulisan untuk memberikan semangat kepada kita semua untuk mencari kebenaran, mencari pembimbing yang menuntun dan membimbing kita semua kepada Allah. Dengan mendapat bimbingan kepada Allah sehingga kita tidak lagi tersesat dibelantara jalan tanpa arah dan dengan tenang kembali kepada asal kita masing-masing.

Rahasia tetaplah rahasia dan tetap akan menjadi rahasia sepanjang masa kecuali orang-orang yang telah berada dalam rahasia tersebut. Rahasia tersebut hanya bisa terbuka lewat Qalbu kepada Qalbu, ditransfer dengan teknik khusus yang diajarkan Rasulullah saw kepada para sahabat dan dari para sahabat kepada sekalian Guru Mursyid sampai saat sekarang ini. Rahasia itu tidak akan pernah bisa ditembus kecuali oleh orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah SWT. Semoga Allah yang Maha Pemurah selalu berkenan membuka hijab-Nya sehingga kita bisa memandang keindahan wajah-Nya dari dunia sampai akhirat., Amin ya Rabbal ‘Alamin!

86 Comments

  • Hary_pare@yahoo.co.id

    Tetap dan selalu saya ikutin belajar dan belajar di BLOG SUFIMUDA.semoga saya bisa lebih dan lebih mendekatkan diri kepada ALLOH SWT.Amin ya Robbal’alamin

  • kukuh

    Hanya orang-orang yang dikehendaki Allah yang bisa memahami jalan ini kang
    “(81):28. (yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus.
    (81):29. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam

    salam

    • SufiMuda

      Islam terdiri dari Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat. Agar bisa memahami Islam secara menyeluruh harus memahami ke 4 pilar tersebut sehingga tidak seperti orang buta menilai gajah.
      Tarekat sudah pasti berada dalam Islam, harap di pahami dengan benar.

      • wawan (@Buyung94)

        TUHAN ku adalah yang bisa menghidupkan tulang belulang yang telah hancur luluh…..jadi apabila dia berkata KUN.
        APAKAH KAMU MELIHAT orang yang tlah mati kami hidupkan lagi dan berjalan di antara kamu……?APAKAH KAMU MELIHAT kami berikan cahaya pada mereka itu….?

    • ais

      bang sufimuda..orang-orang awam diluar sana ilmunya gak akan sampai ke tarekat,hakikat apalagi makrifat,bisa-bisa sufimuda dianggap gila dah.
      sebab kenapa begitu?,itulah akibat dari cara mereka yang mentafsir alquran.
      masa alquran ditafsir (dikira-kira), sehingga mereka-mereka menjadi yang sufimuda katakan “seperti orang buta yang menilai gajah”

          • dian setiadi

            Mungkin belum semua saya membaca tulisan-tulisan yang disajikan sufi muda, dan mungkin dari tulisan sufi muda saya mengerti dan insyaallah saya tahu guru sufi muda, kemarin hari Minggu saya berkunjung ke tampat surau sufi2 muda (Parung) maksudnya ingin tahu lokasi dan sholat ashar disana tapi tidak memungkinkan sholat disana karena sepi dan sunyi, mungkin karena disana tempat u/ bermujahada kepada-NYA sehingga terlihat sepi, sunyi dan lengang. Saya hanya ingin bersilahturahmi kepada sufi muda (penulis diblog ini). bahwa apa-apa yang sufi muda tulis benar-benar merubah cara berpikir dan bertindak saya dalam beribadah mencari keridhoan-NYA. hal inilah yg membuat saya ingin bersilahturahmi …….jika berkenan mohon untuk dapat meng-EMAIL…terima kasih … salam … salam … salam…

          • rakhman

            Kita harus pandai2 membuat tulisan,,,
            ada istilah ” Jangan engkau kalungkan Mutiara di leher Babi ” karena tidak ada guna dan manfaatnya kalau sesuatu yang indah ditempatkan bukan pada tempatnya,,,sama dengan ilmu,,, tidak ada guna jika yang membaca belum mengerti apa yang dibaca,,,
            Buat Sufimuda,,,Teruslah berjihat lewat tulisan di blog ini,,,sampai Allah SWT memberi Salam kepada kita,,, Sudah sampai waktunya kita pulang,,,meninggalkan dunia yang Fana ini,,,dengan Ridho Allah SWT dan Syafa’at Rosululloh SAW,,,Amien Ya Robbal Alamien..!

  • sadili ahmad

    Assalamu’alaikum wr wb

    Bang sufi muda gimana caranya agar sy tetap yakin pd thariqah sehingga tdk putus asa karena seandainya perjalanan sy selama satu tahun atau lebih belum juga mersakan hakikat. Dan kira2 ditahun berapakah keyakinan akan thariqah itu mantap tertanam didalam hati.
    Terima kasih sebelumnya

        • arkana

          sesederhana itu ya, hakekat?
          kadang saya merasa hidup ini proses mencari dan mengenal kembali Tuhan. apakah pada akhir nya akan happy ending, itu tidak penting. yang lebih penting proses nya itu…jalan sufi adalah proses

          • SufiMuda

            “Bermula dari akhir” itulah sejatinya ilmu hakikat.
            Proses itu penting tapi yang lebih penting adalah hasilnya.
            Berjumpa dengan Allah ketika manusia hidup di dunia itu bukan hasil, bukan ending tapi bagian dari proses.
            Tetap bisa memandang wajah-Nya ketika akhir hayat itu yang paling pentinh.
            Rasul menyebutnya “Husnul Khatimah” atau happy ending.

            • arkana

              kalo bisa seperti yg anda bilang ini: “…Berjumpa dengan Allah ketika manusia hidup di dunia itu bukan hasil, bukan ending tapi bagian dari proses….” Wow…!!!

              berarti kelak di hari akhir, kita akan tau mau menghadap siapa…

    • SufiMuda

      Wa’alaikum salam wr. wb
      Keyakinan tidak datang dengan sendirinya, itu merupakan proses. Teruskan Berguru nanti akan tiba waktunya merasakan itu semua.
      Perbanyak zikir.
      demikian

      • Ayah Nafis

        Assalammu’alaikum SufiMuda,
        Trims atas pencerahan2 nya.
        Saya baru tahu sangat sedikit sekali tentang tasawuf/hakikat/ma’rifat. Namun hati ini sudah merasa sejuk, rasa resah gundah gulana dan dahaga selama 19 tahun terasa terobati ketika bertemu dengan seorang teman yang tidak sengaja pembicaraan kita bermuara pada hakikat dan ma’rifat.
        Dan saat itulah hati ini berkata, ternyata selama ini, rasa itu dan pengetahuan itulah yang saya cari, yang saya sendiri belum pernah tahu dan sama sekali tidak pernah berfikir ke arah sana.
        Hingga setiap langkah, setiap nafas seringkali merasa dekat, merasa Dia ada selalu bersama. Karena Dia berada di Arsy (yang sangat dekat dengan kita).
        Tapi sampai saat ini saya belum menemukan seorang mursyd, ada beberapa tempat yang rencana nya akan saya datangi, dan semoga bisa bertemu dengan mursyd yang saya cari.
        Tapi ada satu hal tanggapan2 diatas yang masih membuat saya bingung, tentang bertemu Allah.
        Mohon pencerahannya. Apakah maksudnya bertemu dengan mata bathin?
        Karena bukankah kita hanya bisa berjumpa/melihatnya ketika kita sudah meninggal dunia ?
        Terima kasih

  • Winarto

    As. WRWB. Bang sufi muda terimakasih atas tulisan2 bang sufi muda yang selalu dikirimkan ke e mail saya. Saya ingin sekali dibimbing seorang mursid tapi saat ini saya hanya berdoa diketemukan seorang mursid. Mohon ijin untuk sedikit cerita “kemabukan “.
    Lima tahun yang lalu (menjelang ultah 30 th ) Ada yang menyebutku ” sedang mabok ” selama 1 bulan tidak sadar ( hilang kesadaran ).
    “Orang awam menyebut saya orang stres”,
    salah seorang torekhoh saya sedang mendapatkan ilmu ‘
    Seorang ahli kebatinan ” sukma ku berada disuatu gubug yang tinggi yang hanya berisi orang yang berpakaian serba putih dan menyebut nama Allah swt/ berdzikir ) dan dijaga ketat oleh sekelompok pasukan yang tidak dapat di terobos”
    Seorang ihwan mengatakan ” saya sendiri dicegat seseorang yang mengaku malaikat allah untuk balik karena ini urusannya dengan allah, allah sendiri akan mengembalikan ”
    Alur ceritanya secara garis besar :
    – sekitar 1 bulan saya menurut orang lebih banyak diam jadi banyak bicara
    – sehabis sholat malam saya mencari seseorang gurungaji ( dalam tarikah ) yang saya sendiri tidak kenal.
    – Sesampai dirumah itu saya tidak sadar( saya tidak tahu mimpi atau benar terjadi ) saya takut bertemu dengan orang yang saya cari yang saya anggap sebagai kanjeng nabi Muhammad SAW. Setelah saya diberi segelas air putih oleh istrinya saya tenang dan dijelaskan bahwa yang saya lihat itu bukan nabi tapi sama seperti saya hamba allah.
    Saya diperlihatkan bagaimana hamba allah memanggil dia kembali kepadanya (
    – sepulang dari rumah tersebut saya pingsan
    – Istriku bingung dan menceritakan ke saudaraku di kampung ( saya langsung dijemput pulang oleh keluarga )
    ( benar-benar tidak sadar selama kurang lebih 1 bulan ( 2 minggu dirumah sakit )
    – dalam ketidaksadaran saya kerjaan saya sholat, dzikir, membersihkan masjid,mushola karena saya tidak pernah tidur jika tidak diberi obat tidur( saya tidak mengenali anak istri dan orang tua saya ) tingkah laku dan ucapan saya tidak bisa dihentikan kecuali ibu kandungku sendiri ”
    – dalam masa peralihan baru saya dijelaskan apa yang terjadi melalui mimpi2 saya yang bersambung seperti : bagai mana mizannya allah nantinya akan diperlakukan, proses perjalanan ruh dari dicabut sampai dialam penantian menunggu dibangkitkan. Bagaimana allah menutup tingkatan – tingkatan ketaqwan hambanya, sehingga yang bisa melihat mereka yang bermaqom diatasnya”
    – yang terakhir saya diperlihatkan proses hidup saya dari kecil sampai usia waktu itu ( 30 th).
    Setelah itu saya kembali hidup normal seperti sekarang. ( itu kemabukan terbesar dalam kehidupan saya, sewaktu muda beberapa kali mengalami kemabukan yang masih dalam kesadaran ).
    Sekian Maaf hanya garis besar , Waslamualaikuk wr.wb
    Atas kejadian tersebut saya jarang bersilaturrahmi dengan pembimbing saya karena saya menjaga psikologi istri dan keluarga yang trauma atas kejadian tersebut. Saya hanya berserahdiri kepada allah mohon diketemukan seorang yang dapat membimbing ku menuju derajat yang lebih tinggi disisi Allah.

  • kukuh

    Punten kang Sufi Muda ikut sharing dr blog sebelah

    http://suluk.wordpress.com/category/renungan/page/8/
    Gelisah Dalam Kehidupan
    Herry Mardian, Yayasan Paramartha.

    [TANYA] Mas, mengapa sampai dengan sekarang saya masih merasa galau dengan diri saya sendiri (seingat saya saya mulai bertanya-tanya tentang diri saya sejak SD sampai dengan sekarang, kurang lebih 15 th), apalagi setelah saya baca kalimat “Siapa yang mengetahui dirinya, dia akan mengetahui Tuhannya”. Saya sangat berharap dengan balasannya. Terima kasih atas perhatiannya.

    : : : : : : :

    Sahabat, seringkah anda dihampiri pertanyaan-pertanyaan seperti ‘untuk apa semua ini? Apakah makna hidup saya? Kenapa hidup saya terasa datar saja, berputar-putar dari hari ke hari? Hanya pergantian episode senang dan sedih? Mengapa saya seperti dikuasai oleh kehidupan saya?’ pun mulai muncul di hati anda.

    Sebenarnya, Allah setiap saat ‘memanggil-manggil’ kita untuk kembali kepada-Nya. Dengan cara apa saja. Dia, dengan kasih sayang-Nya, terkadang membuat suasana kehidupan seorang anak manusia sedemikian rupa sehingga kalbunya dibuat-Nya ‘menoleh’ kepada Allah. Hanya saja, teramat sedikit orang yang mendengarkan, atau berusaha mendengarkan, panggilan-Nya ini.

    Allah terkadang membuat kita terus menerus gelisah, atau terus menerus mempertanyakan ‘Siapa diri saya ini sebenarnya? Apa tujuan saya? Apa makna kehidupan saya?,’ dan sebagainya. Bukankah kegalauan semacam ini adalah sebuah seruan, panggilan supaya kita mencari kesejatian? Mencari kebenaran? Mencari ‘Al-Haqq’? Allah, percayalah, akan selalu menurunkan pancingan-pancingan pada manusia untuk mencari-Nya.

    Dalam hal ini, Allah amatlah pengasih. Apakah seseorang percaya kepada-Nya atau tidak, beragama atau tidak, Dia tidak pandang bulu. Apakah seseorang membaca kitab-Nya atau tidak, percaya pada para utusan-Nya ataupun tidak, semua orang pernah dipanggil-Nya dengan cara seperti ini. Setiap orang pasti dipanggil-Nya seperti ini untuk mencari kesejatian, untuk mencari hakikat kehidupan.

    Bentuk ‘pancingan’ semacam ini pula yang dialami oleh para pencari, maupun para Nabi. Nabi Ibrahim yang gelisah dan mencari tempat mengabdi (ilah), yang diabadikan dalam QS 6:74-79. Juga kita lihat Nabi Musa, misalnya. Setelah hanyut di sungai nil, dia dibesarkan oleh salah seorang maha raja yang terbesar sepanjang sejarah, Sethi I. Hidup dalam kemewahan, kecukupan, hanya bersenang-senang. Tapi dia selalu ‘galau’ ketika melihat di sekelilingnya, bangsa Bani Israil, yang ketika itu menjadi warga mesir kelas rendahan, sebagai budak. Dia yang hidup dengan ayah tirinya Sethi I, tentunya setiap hari melihat sisi kemanusiaan ayahnya, normal saja. Dia mungkin hanya sedikit heran mengapa masyarakat mesir mau menyembah ayah tirinya itu.

    Hanya saja, kadang kemewahan, kenyamanan, mengubur harta kita yang sangat berharga itu: potensi kita untuk mencari siapakah diri kita sebenarnya. Kita disibukkan oleh pekerjaan, dibuai oleh kesibukan, mengejar kesuksesan kerja, atau ditipu oleh dalih mengejar karir atau sekolah, atau nyaman bersama keluarga. Sangat sering, ketika hal ini terjadi, pertanyaan-pertanyaan esensial seperti itu, yaitu potensi pencarian kebenaran yang kita bawa sejak lahir, yang ketika kanak-kanak sangat nyata, terkubur dan terlupakan begitu saja seiring waktu kita menjadi semakin dewasa. Padahal, itu adalah ‘potensi mencari Allah’ yang Dia bekali untuk kita ketika lahir. Bukan berarti kita harus meninggalkan semua itu, bukan sama sekali. Tapi, jangan biarkan semua itu menenggelamkan potensi pencarian kebenaran yang telah Allah turunkan pada kita semenjak lahir.

    Ketika kita tenggelam dalam dunia seperti itu, kita bahkan tidak menyadari bahwa kehidupan kita berputar-putar saja dari hari ke hari. Sekolah, mengejar karir, pergi pagi pulang sore, terima gaji, menikah, membesarkan anak, menyekolahkan anak, pensiun, dan seterusnya setiap hari, selama bertahun-tahun. Apakah hanya itu? Bukankah kita tanpa sadar telah terjebak kepada pusaran kehidupan yang terus berputar-putar saja, tanpa makna? Celakanya, kita mencetak anak-anak kita untuk mengikuti pola yang sama dengan kita. Pada saatnya nanti, mungkin hidup mereka pun akan mengulangi putaran-putaran tanpa makna yang pernah kita tempuh.

    Sangat jarang orang yang potensi pencariannya akan Allah belum terkubur. Dalam hal ini, jika kita masih saja gelisah mencari makna kehidupan, maka kegelisahan kita merupakan hal yang perlu disyukuri.

    Berapa orang, sahabat, yang masih mau mendengarkan kegelisahannya sendiri? Padahal kegelisahannya itu merupakan rembesan dari jiwa yang menjerit tidak ingin terkubur dalam kehidupan dunia. Dia ‘menjerit’ ingin mencari Al-Haqq, dan ‘rembesannya’ kadang naik ke permukaan dalam bentuk kegelisahan.

    Sayang, sebagian orang segera membantai kegelisahannya, potensi pencarian kebenarannya ini, justru pada saat ketika ia timbul; karena secara psikologis hal ini memang terasa tidak nyaman. Maka untuk melupakannya, ia semakin menenggelamkan diri lebih dalam lagi dalam pekerjaannya, kesibukannya, bersenang-senang, atau berdalih menutupi kegelisahannya dengan berusaha lebih lagi mencintai istri dan anak, atau keluarga, menenggelamkan diri dalam keasyikan hobi… dan sebagainya.

    Atau, membantainya dengan kesenangan spiritual sesaat, seperti datang ke pengajian bukan dengan niat mencari-Nya tapi hanya untuk melenyapkan kegelisahannya, seperti obat sakit kepala saja: ketika sakit kepala, cari obat. Kegelisahan hilang, dia pun pergi lagi..

    Atau juga dengan mengindoktrinasi dirinya: “Manusia diciptakan untuk beribadah!! Segala jawaban telah ada di Qur’an!!” Oke, tapi ibadah yang seperti apa? Bisakah kita benar-benar beribadah, tanpa mengetahui maknanya? Atau lebih jauh lagi, mampukah ia menjangkau makna Qur’an?

    Beranikah kita jujur pada diri kita sendiri: Jika qur’an benar, mengapa kegelisahannya tidak hilang? Mengapa qur’an seperti kitab suci yang tidak teratur susunannya? Mengapa ayatnya kadang melompat-lompat, dari satu topik ke yang lainnya secara mendadak? Jika kita beriman, apakah iman itu? Apakah takwa itu? Apakah Lauhul Mahfudz? Apakah Ad-diin? Apakah Shiratal Mustaqim? Jalan yang lurus yang bagaimana? Mengapa qur’an terasa abstrak dan tak terjangkau makna sebenarnya? Ini sebenarnya pertanyaan-pertanyaan jujur, dan sama sekali bukan menghakimi qur’an.

    Kadang orang terus saja mengindoktrinasi dirinya sendiri, padahal qur’an sendiri menyatakan bahwa tidak ada yang mampu menjangkaunya selain orang-orang yang disucikan/ Al-mutahharuun, (QS 56:77-79).

    [Q.S. 56] “Sesungguhnya Al Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia (77). Pada kitab yang terpelihara (78). Dan tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan/ Al-muthahharuun (79).”

    Apakah dia berani yakin bahwa dia adalah seorang yang telah disucikan, sehingga makna qur’an telah terbentang begitu jelas dihadapannya? Jika demikian, apa implikasi pernyataan : “Semua jawaban telah ada di Qur’an” baginya? Apakah ia akan terus saja membohongi diri dengan membaca terjemahan qur’an dan memaksakan diri meyakini bahwa ia telah mendapatkan maknanya?

    Jeritan jiwanya tersebut ia timbun dengan segala cara. Ia tidak ingin mendengarkannya. Hal ini, sudah barang tentu akan membuat seseorang semakin terperangkap saja dalam rutinitasnya, dan semakin terkuburlah potensi pencariannya akan kebenaran. Padahal seharusnya ‘jeritan jiwa’ tersebut didengarkan. Jika anak kita menangis karena lapar, apakah kita akan pergi bersenang-senang untuk melupakannya, dan berharap anak kita akan berhenti menangis dengan sendirinya? Bukankah seharusnya kita mencari tahu, kenapa anak kita menangis?

    Kembali kepada kisah Musa as. Demikian pula Musa, ia pun, sebagaimana kita semua, sejak kecil dibekali pertanyaan-pertanyaan dari dalam dirinya. Dibekali kegelisahan pencarian kebenaran. Bibit-bibitnya ada. Allah, untuk menumbuhkan bibit-bibit pencariannya itu supaya tidak terkubur dalam kemewahan kehidupan istana, menyiramnya dengan kebingungan yang lebih besar lagi.

    Ia dipaksaNya menelan kenyataan bahwa ayahnya pernah membantai jutaan bayi lelaki Bani Israil. Ia dipaksaNya menelan kenyataan bahwa ayahnya menganggap Bani Israil adalah warga kelas dua yang rendah, bodoh, dan memang patut diperbudak. Puncaknya, ia dipaksaNya menelan kenyataan bahwa dirinya sendiri ternyata merupakan seorang anak Bani Israil, keturunan warga budak kelas dua, yang dipungut dari sungai Nil. Pada saat ini, pada diri seorang Pangeran Musa lenyaplah sudah harga dirinya. Hancur semua masa lalunya. Dia seorang tanpa sejarah diri sekarang. Ditambah lagi ia telah membunuh seorang lelaki, maka larilah ia terlunta-lunta, menggelandang di padang pasir, mempertanyakan siapa dirinya sebenarnya.

    Justru, pada saat inilah ia berangkat dengan pertanyaan terpenting bagi seorang pejalan suluk, yang telah tumbuh disiram subur oleh Allah dengan air kegalauan: “Siapa diriku sebenarnya?”.

    Pertanyaan ini telah tumbuh kokoh dalam diri Musa as., dan sebagaimana kita semua mengetahui kisah lanjutannya, di ujung padang pasir Madyan ada seorang pembimbing untuk menempuh jalan menuju Allah ta’ala, yaitu Nabi Syu’aib as, yang lalu menyuruh anaknya untuk menjemput Musa dan membawa Musa kepadanya.

    Di bawah bimbingannya, Musa dididik menempuh jalan taubat, supaya “arafa nafsahu”, untuk “arif akan nafs (jiwa)-nya sendiri”. Dan dengan bimbingan Syu’aib akhirnya ia mengerti dengan sebenar-benarnya (ia telah ‘arif), bahwa dirinya diciptakan Allah sebagai seorang Rasul bagi bangsa Bani Israil, bukan sebagai seorang pangeran Mesir. Ia menemukan kembali misi hidupnya, tugas kelahirannya yang untuk apa Allah telah menciptakannya. Ia telah menemukan untuk apa dia diciptakan, yang disabdakan oleh Rasulullah SAW:

    “Setiap orang dimudahkan untuk mengerjakan apa yang telah Dia ciptakan untuk itu.” (Shahih Bukhari no. 2026)

    Maka dari itu, sahabat-sahabat, jika ada diantara anda yang mungkin ingin sekali bertemu seorang guru sejati, atau seorang mursyid yang Haqq untuk minta bimbingannya, maka terlebih dahulu anda harus benar-benar mencari Allah, mencari kebenaran, mencari Al-Haqq. Pertanyaan “Siapakan aku? Untuk apa aku diciptakan?” harus benar-benar telah tumbuh dalam diri kita (dan itu pun bukan menjadi jaminan bahwa perjalanannya akan berhasil). Anda memang telah benar-benar butuh jawaban dari pertanyaan-pertanyaan itu. Jika tidak demikian, atau jika belum merasa benar-benar membutuhkan, percayalah, tidak akan ada seorang mursyid sejati yang akan mengutus anak-anaknya untuk menjemput anda.

    “Man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu”, bukan semata-mata artinya “siapa yang mengenal dirinya, maka mengenal Tuhannya.” Kata ” ‘Arafa”, juga “Ma’rifat,” berasal dari kata ‘arif, yang bermakna ‘sepenuhnya memahami’, ‘mengetahui kebenarannya dengan sebenar-benarnya’; dan bukan sekedar mengetahui. dan nafsahu berasal dari kata ‘nafs’, salah satu dari tiga unsur yang membentuk manusia (Jasad, nafs, dan ruh).

    Jadi, kurang lebih maknanya adalah “barangsiapa yang ‘arif (sebenar-benarnya telah mengetahui) akan nafs-nya, maka akan ‘arif pula akan Rabbnya”. Jalan untuk mengenal kebenaran hakiki, mengenal Allah, hanyalah dengan mengenal nafs terlebih dahulu.

    Setelah arif akan nafs kita sendiri, lalu ‘arif akan Rabb kita, maka setelah itu kita baru bisa memulai melangkah di atas ‘Ad-diin’.

    ‘Arif akan Rabb, atau dalam bahasa Arab disebut ‘Ma’rifatullah’ (meng- ‘arifi Allah dengan sebenar-benarnya), sebenarnya barulah –awal– perjalanan, bukan tujuan akhir perjalanan sebagaimana dipahami kebanyakan orang. Salah seorang sahabat Rasul selalu mengatakan kalimatnya yang terkenal: “Awaluddiina ma’rifatullah”, Awalnya diin adalah ma’rifat (meng-’arif-i) Allah. []

  • suhedi ed

    Yaa…… betul rahasia tetap rahasia kalau manusia yang mengungkapkannya maka jatuhlah kepada bid’ah, akan tetapi bila Allah yang mengungkapkannya kepada pribadi yang sedang mencari KEBENARAN maka larutlah Dia dengan rahasia tersebut

  • M Safrudin

    Mau jadi arifbillah / wali allah / kekasih allah ? ………. syaratnya, betul sekali PANDAI-PANDAILAH MENYIMPAN/MENJAGA ILMU SANGAT RAHASIA ATAU HAL YANG SANGAT RAHASIA TENTANG TUHAN YANG TELAH KITA DAPATKAN bisa dibuka hanya kepada AHLINYA……

  • didik

    demi Alloh tulisan sufi muda benar adanya. disinilah….sebenarnya awal mula kita dapat menikmati hidup yang sesungguhnya….secara syariat….begini…..dan jika saya salah ketik….ini terjadi karena pikiran saya ……yang memang penuh dengan kesalahan. …..begini…

    kenapa sihhh orang di luar sana pada ribut……membicarakan ahli sufi. Kadang juga menghakimi soal kebaikan dan keburukan orang lain. Paling enak di pahami gini aja….manusia terdiri dari pikiran……dan hati……1. pikiran ini bekal untuk menempuh kehidupan didunia. ( termasuk urusan makan, sandang, tempat tinggal. kemudian belajar…..sampai dengan bagaimana cari uang. kemudian terus nikah . dan punya anak…( lebih gampang di cerna…untuk kehidupan dunia….)..>>> ………..<<<

    dan hati……ini adalah bekal kita untuk menempuh jalan ke ….ilmu Alloh. ( termasuk didalamnya mulai baca sahadat,sholat, puasa, zakat. berangkat haji bila sudah mampu). Dengan kata lain yang sudah kenal adalah Ikhlas. ……<>

    jadi untuk belajar hidup…kita mau tidak mau…sempat atau tidak sempat…kita harus tahu siapa diri ini….tugas kita lahir ini untuk apa…..dan kemudian kemana.>>…

    nah dari sinilah kemudian orang belajar…..ikhlas….( membuang sifat benci,,,sombong,..angkuh,….iri,,,dengki,….marah….segala urusan penyakit hati. termasuk didalamnya sifat ingin di puji oleh manusia,…= riya.

    dan ini hanya pembelajaran saja……dan harus di praktekkan. dari sinilah….nanti akan menemukan sendiri…..ini saya singkat saja……masalah nya disini juga ,,,masih menempuh banyak ujian,,,,,yaa harta,,,kedudukan…wanita….dan masih banyak lagi. intinya,,,jangan menghakimi….seseorang dengan hujatan apapun…kecuali yang baik saja. Praktekkan…hal diatas…sampai…beberapa tahun. nikmati saja…jangan di ambil beban…..nah nanti akan ketemu sendiri…..untuk apa kita dilahirkan,……Kalau sudah tahu…yaa…..terus saja istiqomah….sampai azal menjemput kita, alias kita diambil kembali oleh Alloh……dengan bahasa biasa adalah meninggalkan Dunia ini..

  • Ruslianto

    Al Qur’an Suraah Al An’Am ayat 32 :
    Wa mal hayaatud dun-yaa illa la’ibuwwa lahw(un), wa lad darul aakhiratu khairul lillaziina yattaquun(a), afala ta’qilun.

    Dan tiadalah kehidupan dunia ini selain dari main-main dan senda gurau belaka, Dan sesungguhnya tempat tinggal kehidupan di akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahami ?

  • anjar

    Rahasia tetaplah rahasia bagi yang belum menemukan arti rahasia
    Namun tidak ada rahasia lagi bagi yang telah dibukakan pintu rahasianya
    Umpama mencari jarum ditumpukan jerami, apabila mengetahui lokasi tepatnya maka akan mudah ketemu apalagi dibantu magnet pencari logam
    Beda dengan yang mencari mobil tapi lupa parkirnya………… apalagi karcisnya hilang …………he…..he….he…….

  • ki ageng mbote

    Alloh tdk pernah merahasiakan ilmunya, hanya orang yg tdk mau mencarilah yg tdk pernah mengetahuinya. dan dialah diakhir hayat nanti yang rugi.

  • Kiki

    Assalamu ‘alaikum wr.wb.
    Ayah saya adalah seorang guru besar marifat.. Tp beliau sdh wafat pada Ramadhan 2011 yg lalu. Yg sangat saya sayangkan, kenapa disaat beliau sdh tidak ada barulah hati ini terpanggil untk mendalami apa itu syariat, tarekat, hakikat, dan marifat. Yg mana kata2 ini dulu sering skali sy dgr disaat ayah saya lagi sharing dgn murid2nya.. Yg beliau tinggalkan lumayan banyak buku2 ttg tasawuf, sufi, dan marifat, tp sy benar2 bingung harus berguru pada siapa. Krn skrg sy adalah mahasiswa perantauan.. Semoga blog ini bisa menjadi sarana buat sy..

  • AMKA

    Tak baik kiranya, memberi jawaban bak diri kita seorang mursyid. Dia yang berhak, kita hanya murid. Mohon maaf, ada baiknya saudara (sufi muda) kirim berhadiah dulu (baca 513) untuk guru dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan abang-abang kita dalam artikel ini. Syukron. AMKA

    • SufiMuda

      Terimakasih saudara Hamka atas silaturahminya.
      Sepengetahuan saya, Guru Mursyid tidak pernah menanggapi pertanyaan2 apalagi dalam bentuk tulisan. Murid bertanya dalam hati dan Guru menjawab lewat hati, itu Guru Mursyid sejati.
      Sedangkan kita murid berdiskusi tentang tarekat dan tasawuf lewat berbagai forum zahir termasuk internet.
      Saya tidak pernah mau menjawab pertanyaan atau menulis apapun kecuali menunggu izin dari-Nya lewat Muraqabah.
      Saya niatkan yang menulis dan menjawab semua pertanyaan adalah DIA bukan saya

      Demikian

      Salam

  • Ruslianto

    Perbedaan Ma’rifah dan Gila (1)

    Abu Haul al-Maghribi berkata : “Ketika itu, diriku sedang berada di masjid Baitul Maqdis, duduk duduk bersanding dengan seorang yg sholeh diteras masjid. Tiba-tiba aku dengar suara gemuruh sekelompok anak-anak berteriak: “Gilaa,…gilaa’……gilaa… diiringi suara riuh tertawa ”
    Selang beberapa saat, aku lihat seseorang berjalan setengah lari di depan masjid, dikejar-kejar oleh mereka sambil dilempari batu. Lelaki itu berucap: “Ya Allah, istirahatkanlah diriku ini dari negeri yang fana ini,..”
    Dan ia segera masuk ke dalam masjid.

    “Kata-katamu adalah mutira yang pantas keluar dari seorang arif. Dari manakah sumber ucapanmu itu ??”, tanyaku sambil menghampirinya.
    “Barangsiapa mengikhlaskan diri dalam berbakti kepada Allah, sudah barang tentu Dia akan mempusakai mutiara-mutiara hikmah, Dan Dia membentang jalan dan menguatkan untuk memeliharanya” , jawab lelaki itu.
    Setelah ia menjawab pertanyaanku, kemudia dia berkata: “Dan, aku bukan orang gila. Aku gelisah, kalbuku dirundung kerinduan, ..kerinduan kepada Allah”. Kemudian ia menyenandungkan syi’ir :

    Ku tinggal kantuk,..
    Pada sisi Allah
    Yang menganugerahkan bermacam nikmat
    Puspa ragam karunia
    Dan, kuusir kantuk
    Karena keasyikan mujahadah pada-Nya
    Ku habiskan waktu
    Dengan mabuk kepayang
    Lupa dari semua orang
    Tuk kusembunyikan rahasia bathin
    Padahal, tak pernah dapat tertutupi
    Dan,ketika aku lihat cinta
    Mahabbahku jelas Nampak
    Ku robek sosok diriku yangt hakiki
    Kemudian, aku ucapkan “ya…ya…”
    Manakah diriku yang mana dianggap gila
    Hanya kerrinduan sungguh mendendam
    Yang membuat diriku begitu
    Manakah diriku yang mana dikira sakit
    Sungguh diriku
    Tak pernah dijangkiti penyakit
    Itu hanya rasa cinta
    Cintayang sangat mendalam,……….
    Wahai Dzat pencurah karunia
    Dengan santunan-Mu
    Jangan Engkau jauhi diriku
    Wahai Dzat pencipta dendang ruh
    Dekatkan, dekatkan dan dekatkan
    Diriku selalu dalam ridho-Mu
    Kepada-Mu.

  • Ruslianto

    Perbedaan Ma’rifah dan Gila (2)

    Sesaat setelah mendengar dendang syi’ir itu, Abu Haul al-Maghribi berkata : “Wahai sahabat, salahkah orang yang menganggap dirimu gila,..?? Ketika itu lelaki menatap tajam kepada Abu Haul, dan menangis. Bercucuran air mata, membuat parit-parit kecil di pipi, Kemudian berkata : “Tidakkah Tuan bertanya kepadaku tentang orang arif, bagaimana mereka dapat sampai dan berjumpa dengan –Nya??” ,
    jawab Abu Haul: “Tentu saja”.

    “Mereka menyucikan bathin semata-mata hanya karena Allah, Mereka ridha dan puas dengan bagian rizki dari sisi-Nya. Mengembara di bumi dengan mengenakan pakaian mahabah, berselendangkan kejujuran, berselimutkan rasa takut kepada-Nya. Mereka jual kemewahan dan keindahan dunia ini dengan harga alam yang abadi. Mereka reguk mahligai ketakwaan kepada Allah dan berpacu di medan ibadah, menyingsingkan lengan baju terjun karena jihad dan menjemput kedudukan dengan mujahadah, sekalipun penuh kepenatan dan kepayahan, sehingga bertemu dengan Allah. Setiap tutur kata yang keluar dari mulut, hanyalah pujian kepada Allah. Manakala mereka-mereka itu hadir di tengah khalayak ramai, tidak dikenal, Manakala menghilang, tidak dicari. Kematian mereka tidak disaksikan dan tidak diketahui manusia banyak “,..kata lelaki itu.

    Abu Haul al-Maghribi terlena dalam buaian kata-kata lelaki itu, sehingga lupa terhadap kehidupan dunia. Sesaat kemudian, lelaki itu beranjak dari tempatnya, meninggalkan masjid. Sementara Abu Haul terpaku dan terpana seorang diri dengan hati penuh iba,.. Berlalulah kisah itu,… dan tinggal mutiara-mutiara hikmah yang tercecer dalam hati setiap insan yang menghayati dan mengamalkan.

    Wass; sMoga bermanfaat.

  • qahira aprizon

    assalamu’alaikum… salam kenal saya aprizon dari lampung kotaagung. saya sangat mendukung sekali tentang artikel anda saudara… rahasia tetaplah rahasia… tidak bisa di jelaskan secara rasio maupun dengan kata kata… tapi jelas penglihatan itu oleh latif yang rahasia di atas rahasia

  • akhmad

    Assalaamu’alaikuum”Rahasia teteplah Rahasia” dn tentang ini aku sngt spendapat dgn sufimuda”Rahasia teteplah Rahasia” . “Insan itu rahasiaku dn aku rahasianya”.. Jd memang benar jika kt berada diluar rahasia itu (tidak merasakannya) tentu itu akan dianggap rahasia..=tidak akan pernah bisa memahami,,,»>Tp jk kita berada didalam rahasia itu(merasakannya) sendiri..tentu itu bukan rahasia bagi kita karna kita berada dalam rahasia itu sendiri… Maksudnya sperti yg dbilang sufi muda bagi orang awam itu rahasia ttpi bagi sdh mnyelam klautan rahasianya itu bukan rahasia,,, jd tetap terjaga rahasia didalam rahasianya,,, dgn kata lain “Rahasia tetaplah Rahasia”

  • PAK BELALANG SAPU JAGAT

    Assalamu’alaikum warohmatullah,,

    saya tertarik dengan kalimat :
    “Rahasia itu tidak akan pernah bisa ditembus kecuali oleh orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah SWT”

    Petunjuk Rahasia itu hanya diperuntukkan bagi orang-orang tertentu saja, walau di buka secara gamblangpun, tetap tidak akan bisa menembus-Nya, bila bukan Allah SWT itu sendiri yang membukakan Petunjuk Jalan Rahasia itu kepada hamba pilihan-Nya,

    bukankah begitu maksudnya om sufi yang sudah menunggu di ujung jalan,, 🙂

Tinggalkan Balasan ke rakhmanBatalkan balasan

Eksplorasi konten lain dari Sufi Muda

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca