Pemikiran

Beberapa Catatan Tentang SKB

Oleh : Ulil Absar Abdalla

Akhirnya, Senin (9/6) kemarin, keluar juga SKB mengenai Ahmadiyah. Dengan seluruh ambiguitas yang ada dalam teks surat itu, dokumen itu jelas-jelas merupakan pelanggaran yang telanjang atas konstitusi negara kita yang menjamin kebebasan beragama dan keyakinan.

Pihak pemerintah mengatakan bahwa SKB ini bukanlah tindakan pembubaran Ahmadiyah sebagai organisasi. Pernyataan ini hanya membuat masyarakat, terutama warga Ahmadiyah, dalam situasi ambigu yang membingungkan.

Secara formal, memang SKB ini tidak menyatakan pembubaran Ahmadiyah, tetapi di sana ada klausul yang sangat ambigu dan sekaligus berbahaya. Dalam item nomor dua, surat itu menyatakan bahwa sejak keluarnya dokumen itu seluruh penganut dan pengurus Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) diperingatkan untuk menghentikan seluruh kegiatan yang tidak sesuai dengan penafsiran agama Islam pada umumnya.

Redaksi SKB ini sangat buruk, ambivalen, dan bisa ditafsirkan macam-macam, sehingga membuka kemungkinan untuk ditarik secara semena-mena untuk memberangus kelompok-kelompok yang dianggap “sesat” menurut penafsiran agama Islam “pada umumnya”.

Apa yang dimaksudkan dengan “penafsiran Islam pada umumnya”? Ini istilah yang sangat aneh. Apakah yang dimaksud adalah penafsiran ala MUI? Apakah penafsiran MUI mewakili penafsiran seluruh umat atau umumnya umat Islam? Ataukah yang dimaksud adalah penafsiran NU dan Muhammadiyah?

Jika penganur JAI dilarang untuk menyelenggarakan kegiatan yang tak sesuai dengan penafsiran Islam pada umumnya itu, apakah mereka tak boleh lagi menyelenggarakan ibadah sehari-hari di masjid mereka? Apakah mereka tak boleh lagi mengadakan salat Jumat? Apakah mereka tak boleh lagi menyelenggarakan pendidikan di sekolah mereka?

Karena ambiguitas SKB ini, maka dokumen ini bisa dipakai secara serampangan untuk melarang kegiatan ibadah anggota Ahmadiyah.

Bagaimana mungkin di era reformasi ini sebuah kelompok didiskriminasi sedemikian kronisnya, persis seperti masyarakat Tionghoa dulunya pada zaman Orde Baru. Diskriminasi kali ini lebih buruk lagi karena diberikan justifikasi kegamaan.

SKB ini juga mengandung pasal yang sangat berbahaya karena melarang masyarakat untuk menafsirkan agama “secara menyimpang”. Sekali lagi, defenisi menyimpang di sini bisa disalah-gunakan untuk memukul kalangan yang selama ini banyak mengkritik penafsiran Islam fundamentalis. SKB ini telah meresmikan argumen kaum fundamentalis selama ini bahwa penafsiran Islam yang menyimpang dari pandangan kaum ortodoks adalah sama dengan penghinaan pada agama.

Dengan kata lain, negara kita telah menyediakan alasan legal kepada kaum fundamentalis dan radikal untuk melakukan “jihad” melawan kelompok-kelompok yang mereka anggap sesat hanya karena mengajukan tafsiran atas Islam yang berbeda dengan tafsiran mereka.

Saya sungguh tak percaya bahwa hal ini terjadi di Indonesia, negeri yang selama ini dikampanyekan ke luar negeri sebagai negeri Muslim moderat. Di mata saya, Indonesia kini telah jatuh ke tangan kaum fundamentalis, dan karena itu tak berhak lagi menyebut dirinya atau menjual citra ke dunia luar sebagai negeri Muslim moderat.

Saya melihat kehidupan kebangsaan kita di masa depan kian gelap, kian jauh dari harapan para pendiri negeri ini.

Saya khawatir Indonesia akan menjadi seperti negeri Pakistan yang kacau balau saat ini. Respon umat Islam dan pemerintah kita atas kasus Ahmadiyah persis seperti yang terjadi di Pakistan dahulu.

Dengan mobilisasi besar-besaran oleh kalangan fundamentalis, antara lain oleh Jamaat-i Islami, organisasi yang didirikan oleh Abul A’la al-Maududi, sang ideolog Islam fundamentalis itu, akhirnya pemerintah Pakistan menyatakan Ahmadiyah sebagai sekte non-Islam. Masalah Ahmadiyah tak selesai dengan dikeluarkannya sekte itu dari Islam.

Hingga sekarang, warga Ahmadiyah masih mengalami persekusi dan masalah kebebasan beragama yang sangat besar di Pakistan. Kasus Pakistan adalah contoh yang sangat baik di mana setelah dikeluarkan dari Islam pun, Ahmadiyah masih terus “dikuya-kuya” (bahasa Jawa, artinya: ditindas secara semena-mena). Kebencian kaum fundamentalis tak pernah mengenal batas.

SKB ini jelas tak memuaskan bagi kalangan fundamentalis di Indonesia. Mereka kemungkinan akan meminta pemerintah bertindak lebih jauh lagi untuk membubarkan Ahmadiyah. Mereka akan memakai pasal-pasal yang ambigu dalam SKB ini untuk mencapai tujuan mereka, yakni mengeluarkan Ahmadiyah dari Islam.

Jika mereka pada akhirnya berhasil mengeluarkan Ahmadiyah dari Islam pun, seperti terjadi di Pakistan, masalahnya juga tak akan selesai. Mereka akan terus memburu sekte yang mereka anggap sesat itu. Saya bertaruh, perburuan dan kebencian mereka tidak akan ada batasnya.

Referensi: http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=1350

3 Comments

  • ekal

    udah jelas-jelas nabi muhammad nabi yang terakhir, masa masih ada nabi lagi seh sesudah beliau??? emangnya sampeyan ngga tau ya???

  • adul

    Gus dur sih ga baca kitabnya ahmadiyah, coba baca dulu dijamin pasti marah-marah. Klo mau jelas baca kitabnya dulu.. baru ambil kesimpulan……
    Banyak jamaah ahmadiyah yg ga tau isi-isi kitabnya secara keseluruhan,,, jadi ikut-ikutan doang…….

    “Klo memang yakin ajarannya bener, harus brani dong walaupun nyawa taruhannya..jangan lari ketakutan minta bantuan sana sini” contoh tuh al halaj, siti jenar…

  • toekidjan

    kalo kita berpikir bahwa semua agama sama, agak keliru. demokrasi tanpa aturan adalah bar bar, aturan Islam adalah Al Qur’an dan Hadist, kalo pemahamannya di luar 2 kalimat syahadat, maka bukan Islam, kasus ahmadiyah, menjadi 3 kalimat syahadat, bentuk aja agama baru, dg nama baru, demokrasi adalah aturan manusia, tergantung keinginan kelompok, byk biasnya.. liberalisme mengaburkan aqidah itu sendiri

Tinggalkan Balasan ke adulBatalkan balasan

Eksplorasi konten lain dari Sufi Muda

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca