Tasauf

Setelah Shalat Subuh (10)

Nabi Muhammad SAW tidak meninggalkan harta warisan kepada ummat tetapi Beliau mewariskan kepada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai pedoman ummat Islam sampai akhir zaman. Al-Qur’an sendiri terdiri dari unsur zahir dan unsur bathin dimana untuk mengambil salah satu atau keduanya harus memiliki rumus sama seperti rumus dipakai oleh Nabi dan para Sahabat Beliau agar memperoleh hasil yang sama pula.

Disamping Al-Qur’an sebagai warisan, Nabi juga mewariskan orang-orang pandai yang disebut ulama sebagai pembawa warisan tersebut untuk menjelaskan kepada ummat tentang al-Qur’an agar kandungan isi al-Qur’an disampaikan secara benar kepada ummat. Maka dalam hadist Beliau disebutkan bahwa ulama adalah pewaris Nabi.

Ulama yang mempelajari al-Qur’an, menghapal kemudian menafsirkan kandungan isinya kita sebut ulama zahir. Atas jasa mereka kita mengenal berbagai cabang ilmu termasuk fiqih yang merupakan hasil ijtihad ulama terhadap kandungan isi Al-Qur’an dan Hadist Nabi. Sementara disisi lain ada ulama bathin yang mewarisi Nur Al-Qur’an yang merupakan getaran tak terhingga dari sisi-Nya, diberikan kepada Nabi dan diwarisi kepada sahabat utama kemudian secara estafet tanpa terputus diwariskan kepada ulama berikut sampai di akhir zaman. Ulama bathin yang kita sebut sebagai Wali Allah itu juga mereka terlebih dahulu belajar al-Qur’an secara zahir di awalnya, seperti contoh Syekh Abdul Qadir Jailani dan Abu Yazid Al-Bisthami yang telah menghapal al-Qur’an dari sejak kanak-kanak.

Bahwasanya al-Qur’an ini satu ujungnya di tangan Allah dan satu lagi di tangan kamu, maka peganglah kuat akan dia”! (Hadist Qudsi)

Al-Qur’an yang hakiki tentu saja tidak berhuruf dan tidak bersuara yang memiliki getaran maha dahsyat dan bisa memusnahkan kemungkaran di hati manusia, inilah warisan sangat bernilai dan berharga serta langka yang harus didapatkan segenap ummat sehingga bisa menjadi penuntun ruhaninya dalam menuju kehadirat Allah SWT.

Nabi sebagai pembawa wahyu ilahi juga memiliki unsur zahir dan unsur bathin. Secara zahir Nabi adalah anak Abdullah yang lahir di Arab 14 abad lampau sedangkan unsur bathin Beliau adalah Nur Muhammad yang merupakan pancaran dari Nur Allah yang abadi sepanjang zaman. Disaat Muhammad bin Abdullah wafat maka Nur Muhammad inilah yang bisa didekati oleh segenap ummat, siapaun dia  asal mengetahui rukun dan syaratnya.

Muhammad bathin inilah yang kita sebuat selalu dalam ibadah, dalam bacaan shalat, dalam shalawat, azan dan berdoa agar memperoleh hubungan kontak dengan Allah SWT, bahkan seluruh doa manusia akan tertolak jika tidak mendapatkan kontak dengan Rasulullah SAW.

Tidak Ku Kabulkan doa seseorang tanpa shalawat atas Rasul-Ku, Doanya tergantung di awang-awang” (H.R Abu Daud dan An-Nasyai).

Shawalat yang membuat doa tersambung kepada Allah SWT tentu saja tidak sekedar sebuah ucapan semata akan tetapi rohani yang berdoa menemukan chanel atau frekwensi yang bersambung kepada Rasulullah SAW lewat Guru Mursyid dan dengan sambungan itulah segala ibadah akan tersambung kepada Allah SWT.

Sebagian ummat Islam yang belum paham menolak wasilah sebagaimana kami jelaskan di atas karena menganggap manusia dijadikan sebagai perantara dengan Allah. Maha Suci Allah dari segala sifat ketergantungan terhadap makhluk apalagi dijadikan perantara. Kalau kita memahami wasilah adalah bagian dari cahaya-Nya maka kita akan menjadi paham bahwa wasilah bukan perantara akan tetapi hubungan langsung antara hamba dengan Allah.

Anda bisa memandang matahari karena ada cahaya matahari yang merambat dengan jarak tertentu dan tanpa ada cahaya matahari seluruh manusia tidak bisa melihat matahari. Cahaya matahari bukanlah perantara antara manusia dengan matahari akan tetapi itu hubungan langsung antara manusia dengan matahari. Matahari yang terlihat lewat sinarnya tersebut adalah benar-benar matahari. Sama juga kita melihat bintang yang jauhnya ribuan tahun perjalanan cahaya. Cahaya yang merambat dan sampai kepada kita setelah ribuan tahun tersebut adalah berasal dari bintang itu sendiri. Andai di bintang terjauh tersebut ada kehidupan dan disana kita saksikan pembunuhan, maka kejadian yang kita saksikan detik ini sebenarnya adalah peristiwa ribuan tahun lalu, pembunuhan itu terjadi ribuan tahun lalu yang baru kita saksikan sekarang karena cahaya merambat dalam waktu begitu lama.

Seluruh ahli teknologi sepakat bahwa untuk bisa terjadi siaran langsung sebuah televisi adalah wajib menggunakan satelit sebagai penghubung, tanpa satelit maka siaran televisi tidak akan terjadi. Jarak ribuan mil dari pusat siaran bisa disaksikan dirumah berkat adanya satelit sebagai penghubung. Siaran itu disebut siaran langsung bukan siaran perantara satelit. Fungsi satelit dalam hal ini hanya sebagai pengantar siaran saja, membawa segala unsur yang diperlukan dari siaran agar sampai kepada televisi dirumah. Jika di studio televisi terjadi dialog disiarkan secara langsung maka dalam hitungan detik itu juga kita bisa menyaksikan hal yang sama, persis seperti yang terjadi di studio pusat televisi.

Penjelesan ini untuk memudahkan kita memahami wasilah, sebagai penghubung segenap manusia dengan Allah SWT, dari jarak tak terhingga dari sisi-Nya akan terasa dalam hitungan detik lebih dekat dari urat leher. Wasilah bukanlah manusia, bukan Nabi apalagi Wali Allah. Wasilah adalah Nurun ala Nurin yang berasal dari sisi-Nya, para Nabi, para Wali dan Para Ulama Pewaris Nabi hanya sebagai pembawa wasilah bukan wasilah itu sendiri.

Karena pembawa wasilah yang merupakan cahaya Allah, Cahaya firman-Nya Yang Maha Hidup maka para ulama tersebut menjadi ikutan manusia untuk mendapatkan cahaya itu, sebagai tuntunan dan bimbingannya dari dunia sampai akhirat sebagai firman Allah dalam Surat Al-Qashash ayat 20 :

“Dan kami kehendaki dengan nikmat kami kepada hamba-hamba Kami, dimuka bumi lalu Kami jadikan mereka ikutan dan orang penerima warisan”.

Sebagaimana Nabi sebagai pembawa wasilah, ulama pewaris Nabi kemudian meneruskan wasilah tersebut secara sambung menyambung sampai akhir zaman. Inilah merupakan karunia besar dari sisi Allah kepada ummat manusia sebagaimana firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 69 :

“Mereka itulah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah seperti para Nabi-nabi, Siddiqin (Ulama), Syuhada, dan Shalihin (Ulama).”

Allah SWT menegaskan lagi kedudukan mereka dalam surat al-An Am ayat 7 :

“Mereka itulah orang yang telah diberi Allah petunjuk, maka ikutilah Dia dengan petunjuk itu”.

6 Comments

Tinggalkan Balasan ke AS SBatalkan balasan

Eksplorasi konten lain dari Sufi Muda

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca