Tasauf

Akidah Sufi dituduh Menyimpang dari Al Qur’an dan Sunnah

Redaksi Sufi menurunkan pledoinya atas kontroversi yang selama ini dituduhkan oleh para pemikir Muslim yang anti Tasawuf. Sejak zaman munculnya dunia Sufi dalam peradaban ilmu pengetahuan banyak kalangan yang menuding Tasawuf sebagai aktivitas yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Termasuk para pemikir dewasa ini, khususnya Abdurrahman Abdul Khaliq dalam bukunya Al-Fikrus Shufi, yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul, “Penyimpangan-Penyimpangan Tasawuf.” Buku ini tersebut sangat mendeskriditkan Tasawuf degan penuh emosional dan antipati, dan berpengaruh terhadap gerakan Islam radikal di berbagai negara Islam termasuk di Indonesia.

Karena itu Redaksi Sufi berusaha meluruskan tuduhan-tuduhan hipokrit tersebut dengan mengangkat kembali fakta, idea, akidah dan syari’ah yang sesungguhnya. Sehigga pemahaman yang dangkal itu berbuntut menjadi tuduhan yang sangat arogan dan membahayakan akidah mereka sendiri.

Di bawah ini akan kita muat secara bersambung hal-hal yang dipersoalkan oleh mereka, sehingga mereka anti tasawuf. Dan Redaksi Cahaya Sufi menurunkan jawaban-jawabannya:

Akidah Sufistik

Dalam bentuknya yang terakhir akidah tasawuf berbeda dengan Al-Qr’an dan Sunnah dari seluruh sisinya, disebabkan oleh sumber dan penerimaan akidah itu, yakni sumber pengetahuan keagamaan. Dalam Islam akidah ditetapkan hanya Al-Qur’an dan Sunnah, tetapi dalma tasawuf akidah ditetapkan melalui Ilham, wahyu yang dipercaya oleh para Wali. Hal ini berhubungan dengan Jin yang mereka namanakan dengan makhluk ruhani, atau mi’rajnya ruh ke langit. Lebur dalam Allah dan Injila’ (berkilauannya) cermin hati. Sehingga menurut pengakuan mereka, perkara ghaib tampak seluruhnya bagi wali Sufi melalui kasyf dan mengikatkan hati dengan Rasulullah SAW, karena dalam kepercayaan mereka ilmu-ilmu itu disandarkan pada Rasulullah atau dengan bertemu dengan Rasulullah dalam keadaan terjaga atau mimpi.

Ketika sumber-sumber itu terbilang banyaknya maka akidah itu sendiri berkembang, berubah-ubah, satu sama lainnya berbeda. Masing-masing menyatakan apa yang didapat dalam Kasyfnya, apa yang tertangkap dalam benaknya, apa yang dikatakan Rasulullah, atau diberikan malaikat atau yang ia lihat sendiri di Lauhul Mahfudz.

Mengenai Al-Qur’an dan Sunnah para Sufi memiliki penafsuran kebatinan yang terkadang mereka menamakannya tafsir Isyarat. Mereka percaya bahwa setiap huruf dalam Al-Qur’an memiliki makna yang tidak diketahui kecuali oleh Sufi yang mumpuni dan terbuka hatinya. Berdasarkan hal ini para Sufi memiliki keberagaman sendiri yang dalam tataran ushul dan cabangnya berbeda dari agama yang dibawa oleh Rasulullah.

Berikut ini ringkasan akidah sufi tentang Allah, Rasulullah, Para Wali, Syurga, Neraka, Fir’aun, dan Iblis. Begitu juga keyakinan tentang berbagai syariat.

Akidah mereka tentang Allah

Seorang Sufi meyakini Allah dengan akidahnya yang beraneka ragam. Diantaranya adalah Hulul (reingkarnasi) seperti mazhabnya Al-Hallaj dan juga Wihdatul Wujud yang mengajarkan ketidakterpisahan antara Khaliq dengan makhluk. Inilah akidah terakhir yang berkembang sejak abad ke III hingga kini. Akhirnya setiap tokoh dan Ulama akidah ini, mencatatnya dalam kitab, seperti Ibnu ‘Araby, Ibnu Sab’in, Al-Tilmasy, Abdul Karim al-Jily, Abdul Ghani an-Nablusy dan juga mayoritas pimpinan Thariqat Sufi kontemporer.

Akidah mereka tentang Rasulullah

Diantara mereka yang meyakini bahwa Rasulullah tidak mencapai martabat dan kondisi para Sufi. Rasulullah tidak mengetahui ilmu-ilmu para Sufi sebagaimana diutarakan oleh Busthamy, “Kami menyelami lautan yang para Nabi berhenti di pantainya.” Diantara mereka juga ada yang meyakini bahwa Muhammad adalah puncak jagad semesta ini. Dialah Allah yang bersemayam di Atas Arasy. Langit, bumi, ‘Arasy, Kursy, dan seluruh yang ada diciptakan dari Cahaya Muhammad. Dan Muhammadlah yang pertama maujud. Dialah yang bersemayam di atas Arasy Allah. Demikianlah akidah Ibnu Araby dan Sufi sesudahnya.

Akidah mereka tentang para Wali’

Kaum Sufi meyakini wali dengan beragam akidah pula. Diantara mereka ada yang mengutamakan wali daripada Nabi. Pada umumnya mereka menyamakan wali dengan Allah dalam setiap Sifatnya. Allah menciptakan, Menghidupkan, Mematikan, dan Berkuasa atas alam ini. Mereka dalam hal ini membagi golongan wali. Mereka adalah Ghauts yang memegang hukum alam ini, empat aqthab yang yang menguasai empat tiang alam ini dengan perintah ghauts, tujuh abdal, yang masing-masing mengatur satu dari tujuh benua dengan perintah ghauts, dan Nujaba’ yang meyebatr di setiap penjuru untuk mengatur ketentuan-ketentuan makhluk. Mereka juga memiliki dewan, majlis berkumpul di gua hira’ untuk menunggu takdir-takdir. Singkatnya para wali itu ‘alim, keramat, dan sempurna.

Pastinya, konsep demikian berbeda dengan konsep kewalian dalam Islam, yang berdasar pada kebragaman, ketaqwaan, amal shaleh, ibadah yang sempurna kepada Allah, dan sikap fakir atau butuh kepada Allah. Seorang Sufi tidak berkuasa sedikit pun terhadap dirinya sendiri terlebih terhadap orang lain. Firman Allah: “Katakanlah ‘Kami tidak berkuasa mendatangkan suatu kemudaratan kepadamu, juga tidak suatu kemanfaatan.’ (al-Jin 21).

Akidah mereka tentang Syurga dan Neraka

Seluruh Sufi meyakini bahwa mencari syurga adalah upaya yang banyak mengurangi kesempurnaan. Seorang Wali tidak boleh berusaha menuju dan mencari syurga. Sufi yang mencari syurga berarti kurang sempurna. Yang mereka cari hanyalah cinta, ketidakberdayaan di haribaan Allah, membuka tabir keghaiban dan berkuasa atas alam ini. Itulah syurga yag diyakini para Sufi.

Mereka juga meyakini bahwa menjauhi neraka tidak selayaknya dilakukan oleh Sufi yang sempurna. Karena rasa takut akan neraka akan seorang budak. Neraka bagi mereka tidak panas. Bahkan diantara Sufi ada yang bersombong diri, bahwa seandainya ia meludah di neraka, maka akan memadamkannya seperti yang dikatakan al-Busthamy. Adapun Sufi yang berakidah Wihdatul Wujud, diantara mereka ada yang berkeyakinan bahwa neraka bagi yang memasukinya itu nyaman dan nikmat, tidak kurang dari kenikmatan orang yang masuk syurga. Itulah akidah Ibnu Araby, seperti yang ia nyatakan dalam Fushusul Hikam.

Akidah mereka tentang Fir’aun dan Iblis Kebanyakan Sufi meyakini bahwa Iblis adalah hamba paling sempurna dan makhluk terbaik dalam hal akidah, karena mereka mempercayai Iblis, tidak bersujud kecuali kepada Allah. Begitu juga Fir’aun bagi mereka adalah orang yang paling baik Tauhidnya. Karena ia pernah berkata, “Akulah Tuhanmu yang tertinggi.” Disini Fir’aun mengetahui hakikat, karena setiap yang maujud itu adalah Allah. Dalam kepercayaan mereka, Fir’aun termasuk orang yang beriman dan masuk syurga.

Demikian tudingan mereka terhadap kaum Sufi. Dan di bawah ini adalah jawaban atas kesalahpahaman mereka, baik dari segi pemahaman terhadap wacana Sufi, maupun pendekatan pemahamannya, bahkan terhadap substansi penafsiran Al-Qur’an dan Sunnah.

Bersambung…

Sumber : sufinews.com

12 Comments

  • Ruslianto

    Qur’an-Suraah Al Furqaan ; 63-64 :
    “Dan hamba-hamba Allah Yang Maha Penyayang adalah orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati, dan jika orang-orang jahil menyapa mereka (dengan kata-kata yang tidak sopan), mereka mengucapkan (membalasnya dengan) kata-kata yang mengandung keselamatan.
    Dan orang-orang yang menghabiskan malamnya dengan sujud dan berdiri karena Tuhan mereka.”

    …….Jika al itihad, dan wahdatul wujud (kemanunggalan wujud) bukan termasuk unsur tasauf yang pokok——sebagaimana hal itu dapat dibukti- kan dalam sejarah kaum Sufi ; sejarah al Mahasiby, al Ghazali atau Rabi’ah al Adawiyah, dan selain mereka——“Tidak lain hanyalah” perjuangan untuk mencapai keredhaan Allah dan kesucian jiwa hingga dengan nya dapat mengenal Allah, ——Jika masalahnya demikian,……. maka sesungguhnya kami ber-itiqad bahwa Nabi Muhammad Saw adalah orang pertama sebagai teladan bagi kaum sufi Islam.

    • Arsad@yahoo.com

      Sufi dari zaman nabi sampai kini tetap ada. Nabi muhammad sebagai panutan ummat tentu lebih sufi dari sufi manapun yg pernah ada. Beliau juga lebih wali dari wali manapun yg pernah ada. Bukankah para sufi dan wali yg terdahulu belajar dari sahabat Nabi dan sahabat Nabi itu sendiri berguru krpada Nabi Muhammad SAW. Sufi melakukan sebagian dari ritual ibadah pendekatan diri kepada Allah dgn ketulusan yg utuh. Dia mencoba memahami keberadaan Allah dari berbagai sudut. dari pemahaman itu mereka menemukan satu titik lamaujuda illallah. Arti secara awamnya adalah” tidak ada yg ada ini kecuali wujud keberadaan Allah”. Dari pehaman ini melahirkan kepasrahan total hanya kepada Allah. Apapun kejadian yg diterima adalah kehendak Allah yg harus diterima dgn ihlas. Dia tidak melihat yg lain kecuali hanya Allah yg dilihat. Kekuatan milik Allah, kecintaan milik Allah, wajah milik Allah. Yag ada hanya satu bukan dua bukan tiga apalagi banyak. Kalo aqidah mereka seperti ini maka tidak ada alasan untuk mengatakan mereka sesat atau menyimpang dari Al-Quran. wallahu a’lam

  • Ruslianto53

    Dengan demikian (kala) itu Kota Mekah jatuh ke dalam kekuasaan kaum Muslimin tanpa perlawanan sama sekali. Patung dan berhala di sekeliling Ka’bah, mereka hancurkan seraya meneriakkan :
    ” ja-al-haqqu wa zahaqal-batilu innal-batila kana zahuqa ”
    Kebenaran telah datang dan yang batil telah lenyap, Sungguh , yang batil telah lenyap. (Suraah Al Isra’ 81).

  • Ruslianto

    Manusia “awam” jelas tidak akan “ngerti/paham” menerima Al Qur’an dengan hanya mempelajari buku-buku,kitab-kitab atau bahasa arab saja,atau hukum-hukum fikih atau syara’ yang hanya dapat mengatur cara hidup dan cara beribadah, secara zahir semata-mata, Oleh karena itu Al Qur’an di jadikan Allah sebagai ‘Nur’ ,..maka hanya dengan Nur Illahi sahajalah kita dapat sampai kepada Al Qur’an .
    Ibarat dengan matahari yang boleh “sampai” kepada matahari melain kan cahayanya sendiri.
    Qur’an yang dibaca oleh orang awam dengan mata kepala merupa kan kulit-nya saja, yang intinya jauh tersembunyi dan tersirat disebalik apa yang tersurat, Inti Al Qur’an (yang) inilah tidak dapat dicuri atau di sentuh oleh , orang-orang kafir,orang-orang musyrik dan yang “belum” disucikan sesuai dengan Firman Allah SWT; Suraah Al Waqiah ayat 77-81 :
    Sesungguhnya Al Qur’an ini adalah bacaan yang sangat mulia, dalam kitab yang terpelihara tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang di sucikan. Diturunkan dari Tuhan Semesta Alam. Maka apakah kamu menganggap remeh sahaja Al Qur’an ini ?
    Wahai Sobatku,…carilah Mursyid bagimu yang Kamil mukamil dan dari-Nya mendapat gransi, dapat mensucikan (ruh) kamu.

  • Ruslianto

    Allah SWT (Dalam Hadist Qudsi) berfirman : Tak dapat memuat zat-Ku, bumi dan langit-Ku, yang dapat ialah hati Mukmin Ku Yang lunak dan tenang.
    Allah SWT telah juga berfirman dalam suraah An Nur ayat-35 :
    Cahaya diatas cahaya, Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang Dia kehendaki.
    Nur itu diberinya pada manusia yang dikehendaki. Dari ayat Suraah Asy-Syuura ayat 52 :
    “Dan Kami jadikan dia (Al Qur’an) Nur, Kami tunjuki dengan dia sesiapa yang Kami kehendaki diantara hamba-hamba Kami”.

    Al Qur’an itu diberinya pada manusia yang dikehendaki. Yaitu Al Qur’an yang tidak berhuruf dan bersuara itu. Al Qur’an ini tidaklah boleh dikelirukan oleh kitab yang dicetak di atas kertas dan dibukukan yang boleh dibaca oleh siapa saja dan dimana saja. Malah ada orang-orang kafir Yahudi yang menafsirkan ayat-ayat “cetakan” tersebut.
    Jadi,.. Qur’an cetakan manusia itu dapat (saja) dibaca dan disentuh oleh siapapun juga, yang mau membaca dan menyentuh.
    Tetapi Al Qur’an yang “dituang” dalam dada Rasulullah, adalah hanya untuk tertentu dan terpilih (Lihat Firman diatas), sepertimana Nabi Muhammad SAW terpilih.
    Al Qur’an yang diwahyukan kedalam dada Rasulullah ini mempunyai tenaga kekuatan yang maha dasyat, Inilah yang dimaksud oleh Allah SWT, dengan firmanNYA di dalam Suraah Al Hasyir ayat 21 :
    “Andaikata Al Qur’an ini Kami turunkan di atas sebuah Gunung, akan kamu lihat gunung itu tunduk dan pecah berantakan demi takutnya kepada Allah. Perumpamaan itu Kami adakan agar manusia berfikir”.

    Al Qur’an inilah yang kesemuanya dicurahkan oleh Rasulullah sebelum Beliau wafat kedalam dada Saidina Abu Bakar, sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah :
    “Apa-apa yang Allah curahkan kedalam dadaku telah aku curahkan pula kedalam dada Abu Bakar”.

    Wahai Sobatku,…carilah Mursyid bagimu yang Kamil mukamil dan dari-Nya mendapat gransi, dapat mensucikan (ruh) kamu.
    Wass.

    • Ruslianto

      Maaf,..Sdr-Ku SM, baru ini dapat memenuhi permintaan Ikhwan alvirusli, tiga bulan komputer saya “ngadat”.
      Maaf,..Wasss.

  • agus alip

    assalamualaikum penulis yany dirahmati ALLAH sudi kiranya. penulis menjawab pertanyaan saya. siapakah mursid anda? dan dimana saya bisa menemuinya?dan apakah saya boleh berkenalan dengan penulis?

Tinggalkan Balasan ke RusliantoBatalkan balasan

Eksplorasi konten lain dari Sufi Muda

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca