TUHAN
TUHAN
Soe Tjen Marching**
”Kalau Tuhan benar-benar ada, maka sudah seharusnya dia dimusnahkan,” kata seorang filsuf Rusia Mikhail Bakunin. Tuhan yang menyerang Jemaah Ahmadiyah dan Tuhan yang saya pelajari di bangku sekolah membuat saya mengamini Bakunin. Tuhan, yang harus ditulis dengan huruf besar sebagai tanda keagungan-Nya. Tuhan yang lelaki, atau paling tidak yang mempunyai kekuasaan patriarki, dan yang membuat mulut bocah saya terbungkam ketika hendak melontarkan pertanyaan “mengapa perempuan tidak bisa menjadi pastor?”
Namun, mengapa manusia mempercayai Tuhan yang seperti ini? Ketercengangan, kebingungan dan keresahan manusia akan alam terkadang menuntunnya untuk mencari “Yang Maha Kuasa. Karena itulah, manusia sempat menyembah gunung, matahari atau cahaya apa saja dari langit. Karena bagi mereka, Tuhan tidak lain dan tidak bukan adalah Yang paling ditakuti”. Kepercayaan pada yang maha kuasa memang sering didasarkan pada ke-egoisan.
Karena manusia ingin diselamatkan, diberkahi dan diberi rejeki yang melimpah dari yang disembah, mereka bahkan mencoba menyogok Tuhan dengan sesaji. Tidaklah heran bagi manusia seperti ini, Tuhan adalah diktator yang selalu menuntut. Tuhan yang pencemburu, yang begitu murka ketika manusia melupakanNya. Keberadaan Tuhan seperti ini begitu tergantung pada manusia. Dengan kata lain, dia serupa dengan manusia yang menyembahNya: sebuah keberadaan yang menuntut dan tidak mandiri. Yang tak rela diduakan. Yang selalu tergantung pada elu-eluan penyembahnya. Tuhan dengan krisis identitas.
Dan tidaklah heran, bila Tuhan semacam ini dapat ditemukan dalam sosok pemerintah otoriter: pada Firaun Mesir yang mengaku sebagai utusan Tuhan, dalam sosok Kaisar Jepang yang menjadi wakil Yang Maha Tinggi, atau pada pemerintah Kerajaan Inggris kuno. Bahkan juga dalam pejabat tinggi negara kita yang memaksa para warganya untuk menulis agama mereka “kepercayaan mereka pada Tuhan”. Dan dalam keroyokan yang mengamuk, merusak dan menyerang insan-insan yang tak mempercayai Tuhan tertentu.
Tuhan seperti ini menjadi simbol patriarki, yang melahirkan dualisme tajam: Yang Kuasa dan pengikutNya. Namun, ambisi manusia untuk memuja terkadang sama besarnya dengan ambisinya untuk dipuja. Karena itulah, Tuhan dan pengikutnya seringkali menjadi cermin yang memantulkan persona yang sama. Dan karena itu pula, si pengikut dapat berlaku seperti Tuhan mereka: penghukum yang tak kenal ampun. Bahkan lebih parah, karena dalam si pengikut, apa yang abstrak dan menjadi metafor, dapat menjadi nyata dalam tindakan mereka. Apa yang menjadi kata, tiba-tiba menjadi kekejaman yang mengakibatkan tangis dan membawa.mangsa.
Penggambaran Tuhan sebagai Yang Maha Tinggi, Yang Maha Esa, seakan tidak lain adalah cara manusia untuk menjadi narsis. Karena gambaran seperti inilah yang memberi kesempatan manusia untuk memahkotai diri mereka sendiri dengan gambaran yang begitu melambung dan dilambungkan.
Kemarahan para pengeroyok terkadang disebabkan oleh kekecewaan narsis mereka. Ketika Tuhan mereka digambarkan berbeda, ketika kelompok lain menawarkan interpretasi yang berlawanan dari ide mereka, ketika manusia layaknya Musdah Mulia (yang membela LGBT) atau Ahmadiyah yang mempunyai pandangan “baru” tentang Tuhan, ego pengeroyok inilah yang telah tersakiti. Karena pada saat itu, para narsis ini tiba-tiba menghadapi kenyataan bahwa harapan mereka tak akan pernah sampai. Narsis yang tidak siap untuk merombak keyakinan mereka atau paling tidak mendengar keyakinan yang lain. Namun, narsis yang marah karena kekecewaan. Karena Tuhan mereka tidaklah selalu benar, besar, dan kekar..
Inilah salah satu alasan yang membuat atheis meninggalkan Tuhan. Bagi banyak atheis, hanyalah dalam sains-lah kebenaran dapat diungkap. Dengan bukti dan akal. Namun, sains sendiripun seringkali relatif dan dapat disanggah: Teori Newton dipatahkan oleh Einstein yang menawarkan teori relativitas. Teori Einstein ditentang lagi oleh Neils Bohr yang menyatakan bahwa teori Einstein tidak cukup relative karena Einstein luput mengindahkan karakter kuantum mekanik yang tak pernah konstan, dan yang selalu terpengaruh oleh subyektifitas sang peneliti. Neils Bohr-pun disanggah lagi oleh Everett, dan seterusnya dan seterusnya. Memang, dalam pencariannya akan kebenaran, manusia tak pernah dapat menemukan jawaban akhir yang pasti.
Dan bukankah pencarian akan Tuhan dapat dibandingkan dengan pencarian dalam sains? Karena keduanya menyiratkan pertanyaan-pertanya an akan keberadaan, kehidupan dan asal galaksi kita, dan asal kita sebagai manusia.
Karena bila kita berani untuk mencari dan mencari lagi akan kebenaran, kita akan ditarik pada labirin yang berlapis dan tiada habisnya. Dalam pusaran-pusaran teori, tanya, jawab dan kebimbabangan, yang di dalamnya selalu ada jurang begitu dalam yang belum pernah kita lihat. Yang tak akan dapat kita kunjungi. Namun, hal inilah yang terkadang membuat saya terus mencari dan mencari.
Pada suatu renungannya akan Tuhan, Einstein menyatakan bahwa ada suatu âkeindahan yang tiada taraâ, yang tak pernah dapat kita mengerti. Sesuatu yang membuat kita tersentuh dan beriman. Dan karena ketidak-mengertian inilah, Einstein terus mencari.
Memang, ketidak sabaran akan jawaban yang serba cepat, keinginan untuk mengambil jalan pintas dan ambisi akan kekuasaanlah yang dapat menuntun manusia untuk merumuskan Tuhan yang satu, yang kaku. Walaupun di dunia ini, terdapat bermacam-macam Tuhan. Beberapa teks bahkan sempat menyebut lebih dari 200 tuhan dalam sejarah dunia.
Dan di dunia yang serba dinamik, yang terus bergerak dan menari dalam segala getarannya, bagaimana Tuhan dapat menjadi begitu statik: berhenti dan terpaku dalam suatu zona tempat dan waktu? Dalam sebuah dogma yang membuahkan amarah? Tuhan yang dilahirkan oleh dogma adalah Tuhan yang mati. Tuhan yang dapat dibunuh oleh para atheis. Tuhan yang telah saya bunuh.
Karena seharusnya, pencarian akan Tuhan selalu membawa kita pada ketidak-tahuan. Pada pertanyaan. Dan terkadang, kebingungan. Karena itu, kita harus siap tidak saja untuk menemukan “keindahan yang tiada tara”, namun juga kekecewaan. Karena pencarian akan Tuhan adalah tidak lain dan tidak bukan pencarian akan esensi kita, keberadaan kita. Esensi kita yang tak terlihat namun ada. Esensi yang begitu dekat, namun tak dapat dimengerti. Karena itulah Chuan Tzu berkata: “Kita berkata “aku”, namun tahukah kita siapa dan apa artinya “aku”?”.
Dan segala kebingungan, segala tanya, di antara yang ada dan tanpa, saya dapat berkata: Saya tidak percaya akan Tuhan. Namun saya percaya akan tuhan. tuhan yang tak berkelamin, yang tak semena-mena, yang tak maha tinggi dan yang tak maha Esa. Dalam tuhan yang seperti ini, saya dapat bertakwa.
**Soe Tjen Marching, penulis buku The Discrepancy between the Public and the Private Selves of Indonesian Women diterbitkan oleh the Edwin Mellen Press)
From: S Marching smarching@yahoo.com Date: Fri, 9 May 2008 11:32:57 -0700 (PDT) Subject: <JIL> Artikel – “Tuhan”.
Ini artikel saya “God” tapi sudah saya terjemahkan dalam bahasa Indonesia
4 Comments
BANDITJAHIL
Salam kenal Sufimuda
Saya tidak percaya akan Tuhan. Namun saya percaya akan tuhan? maksudnya gimana tu
bukankah NUR TUHAN sudah ada dalam diri manusia?
sufimuda
Salam kenal juga, wah namanya seram ya, sebenarnya kalau udah bandit udah pasti jahil t ha5, selamat datang di forum sufimuda, forum kebebasan ber tasauf, kebebasan bertuhan, forum untuk menguji keilmuan, forum untuk menghilangkan ketakutan untuk bertanya tentang hal2 gaib,
Dari tulisannya, Soe Tjen ingin mengajak kita berfikir kritis, mencoba mendefinisikan kembali makna Tuhan yang selama ini teramat kaku, namun semua yang ditulisnya adalah gambaran keputus-asaan terhadap kebenaran Tuhan yang selama ini monopoli oleh satu golongan saja, satu golongan yang merasa sebagai tangan-Nya, satu golongan yang berdiri dibarisan depan untuk membela agama-Nya, untuk membela Tuhan, memang amat menggelikan, Tuhan kok dibela, tapi itulah kenyataannya kawan.
Di tanah air ini semua kebrutalan dilakukan atas nama Tuhan, memperkosa orang luar Islam (kafir) dengan meneriakkan Allahhuakbar, berbuat bejat kok panggil2 Allah 🙂
Mesjid ahmadiyah dibakar dengan berteriak Allah hu Akbar juga, apa dimesjid itu bukan Allah yang disembah, yang lucu nya, Hidayat Nur Wahid (Ketua MPR) bilang gini : “Tuhan ahmadiyah berbeda dengan Tuhan kita orang Islam”
ha99, ayo ketawa lama2, emangnya Tuhan banyak?! katanya orang BerTAUHID, tapi ucapannya kok justru Musyrik (meyakini ada tuhan lain selain Allah)
tentang artikel di atas, menurut sufimuda, Soe Tjen bukan tidak mempercayai Tuhan, tapi dia tidak percaya “TUHAN” yang diposisikan oleh semua agama didunia ini, dia ingin tuhan dalam persepsi dia, tuhan dalam huruf kecil, tuhan yang mudah didekati, tidak semena-mena, dia ingin tuhan lebih dekat dengan dia cuma karena mencari pake akal maka jadilah artikel di atas 🙂
Saya menyimpulkan karena dia berlum berjumpa dengan Tuhan yang sebenarnya, Tuhan yang digambarkan selama ini oleh kalangan fundamentalis sungguh amat jauh dari gambaran Tuhan sebenarnya,
bagi orang Sufi…
Tuhan adalah sahabat untuk berbagi cerita
Tuhan adalah Kekasih untuk menumpahkan cinta
Tuhan adalah Guru yang memberikan pencerahan
Tuhan adalah Maha Raja yang disembah
Tuhan adalah TUhan ….
BANDITJAHIL
waduh… saya jadi keki ni ngomongin TUHAN
tuhan aja lah…
padimuda
Kata Tuhan: Aku seperti sangka hambaKu sajalah.
hehehe…
Mau kenal sama Tuhan tentunya harus kenal dulu yang dekat sama Tuhan. Kalau tidak ya cuma sok kenal sok dekat. Cuma Merasa. Sayang kan kalau kita di dunia tidak sempat kenal Tuhan. Lebih baik kenal Tuhan Dunia-Akhirat, sebab Dialah pemilik keduanya. Kalau sudah kenal dengan yang Punya, ada masalah apapun tinggal laporan. Seperti artikel: KAKEK TUA DAN WALI ALLAH