Rasulullah

Tabarruk Dengan Makam Nabi SAW

Dawud ibn Salih berkata: “[khalifah] Marwan [ibn al-Hakam] suatu hari melihat seorang laki-laki menaruh wajahnya di atas makam Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Marwan menegurnya, “Kau tahu apa yang kau lakukan?” Ketika Marwan dampai di dekatnya, barulah dia sadar bahwa orang tersebut adalah Abu Ayyub al-Ansari [salah seorang sahabat besar dari golongan Ansar, penj.]. Sayyidina Abu Ayyub Al-Ansari radiyAllahu ‘anhu. berkata: “Ya, Aku datang kepada Nabi, bukan ke sebuah batu.”

[Hadits riwayat Ibn Hibban dalam Shahihnya, dan Ahmad (5:422), Tabrani dalam Mu’jamul Kabir (4:189) dan kitab Awsatnya menurut Haythami dalam al-Zawa’id (5:245), al-Hakim dalam kitab Mustadrak (4:515), Tabrani dan al-Hakim serta al-Dzahabi mengatakan shahih, dikutip pula oleh al-Subki dalam Syifa’ al-siqam (p. 126), Ibn Taymiyya dalam al-Muntaqa, dan Haythami dalam al-Zawaid (4:2)].

Mu’az bin Jabal dan Bilal juga datang ke makam Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam dan duduk mencucurkan air matanya, Bilal bahkan menggosokkan wajahnya ke makam Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam.

[Hadits riwayat Ibn Majah 2:1320, Ahmad, Tabrani, Subki, Ibn ‘Asakir dan Ibn Taymiyyah]

Hafiz al-Dzahabi menulis dalam compendium (kumpulan) syaikh-syaikhnya berjudul Mu’jam al-Syuyukh (1:73) dalam suatu pasal yang didedikasikan untuk syaikhnya Ahmad ibn ‘Abdul Mun’im al-Qazwini: “Ahmad ibn al-Mun’im meriwayatkan pada kami … [dengan rantai isnadnya] dari Ibn ‘Umar bahwa ia (Ibn ‘Umar) tidak menyukai menyentuh makam Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Ia (Ahmad ibn al-Mun’im) berkata: Dia (Ibn ‘Umar) tidak menyukai hal itu karena ia menganggapnya sebagai tidak hormat.

[Jadi sahabat Sayyidina ‘Abdullah ibn ‘Umar tidak menyukai menyentuh makam Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam, bukan karena itu adalah syirik, melainkan beliau menganggap perbuatan itu sebagai kurang adab.

Ahmad ibn Hanbal pernah ditanya tentang menyentuh makam Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dan menciumnya, dan beliau (Ahmad ibn Hanbal) tidak melihat sesuatu yang salah dengan hal itu. Anaknya Abd Allah meriwayatkan hal ini darinya. Jika kemudian ditanyakan, “Kenapa para shahabat tidak melakukan itu (mencium makam Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam)?” Dijawab: “Karena mereka melihat beliau sallAllahu ‘alayhi wasallam secara langsung dengan mata kepalanya saat beliau sallAllahu ‘alayhi wasallam masih hidup, menikmati keberadaannya secara langsung, mencium langsung tangannya, hampir bertengkar satu sama lain untuk memperebutkan sisa-sisa air wudhu’ beliau sallAllahu ‘alayhi wasallam, berbagi rambutnya yang suci pada hari Hajj, dan bahkan kalau beliau sallAllahu ‘alayhi wasallam meludah, tidak akan jatuh melainkan pada tangan seseorang yang akan mengusapkannya ke mukanya. Karena kita tidak memiliki keberuntungan besar untuk bisa menikmati hal-hal itu, kita mendatangi makam beliau sallAllahu ‘alayhi wasallam sebagai tanda komitmen, penghormatan, penerimaan, dan mencium. Tidakkah kau lihat apa yang Tsabit al-Bunani lakukan ketika ia mencium tangan Anas ibn Malik dan menaruhnya di wajahnya sambil berkata, “Ini adalah tangan yang menyentuh tangan Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam”?

Muslim tidaklah tergerak untuk melakukan ini semua melainkan karena cinta mereka yang dalam terhadap Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam, karena mereka diperintahkan untuk mencintai Allah dan Nabi-Nya melebihi mereka mencintai diri mereka sendiri, anak-anak mereka, seluruh manusia, harta mereka, dan bahkan surga dan taman-tamannya. Bahkan ada mukmin yang mencintai Abu Bakar dan ‘Umar melebihi cinta terhadap diri mereka sendiri… Tidakkah kau lihat bahwa para sahabat karena cinta mereka yang mendalam pada Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam pernah sampai bertanya pada beliau, “Apakah tidak semestinya kami bersujud padamu?” dan beliau sallAllahu ‘alayhi wasallam menjawab tidak, dan seandainya beliau sallAllahu ‘alayhi wasallam mengizinkan mereka, mereka akan bersujud pada beliau sebagai tanda penghormatan (respect and veneration) yang dalam, bukan sebagai tanda penyembahan (worship), seperti saudara-saudara Nabi Yusuf ‘alayhissalam bersujud pada Yusuf ‘alayhissalam. Sama pula, sujud atau penghormatan Muslim pada makam Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam adalah suatu niat untuk menghormati dan membesarkan beliau. Seseorang tidaklah divonis kafir karena itu sama sekali (laa yukaffaru aslan), tapi dia dianggap tidak taat (kepada jawaban Rasullullah sallAllahu ‘alayhi wasallam atas pertanyaan sahabatnya): karena itu biarlah dia diberitahu bahwa hal ini terlarang. Hal yang sama dengan kasus orang yang berdoa pada makam Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam.”

Anak Imam Ahmad, Abdullah berkata: “Aku bertanya pada ayahku tentang orang yang menyentuh dan mencium minbar Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam untuk memperoleh barokah, atau menyentuh makam Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Ia (Imam Ahmad) menjawab: “Tidak ada yang salah dengan itu.”  “‘Abd Allah juga bertanya kepada Imam Ahmad tentang orang yang menyentuh mimbar Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dan menciumnya untuk barokah, dan melakukan hal yang sama dengan makam Nabi dengan niat untuk membuatnya dekat ke Allah. Ia (Imam Ahmad) menjawab “Tidak ada yang salah dengan itu.” Ini diriwayatkan oleh ‘Abdullah ibn Ahmad ibn Hambal dalam bukunya yang berjudul al-‘Ilal fi ma’rifat al-rijal (2:492).

Telah pula disebut suatu riwayat pada zaman ‘Umar ketika musim kering, Bilal ibn Harits datang ke makam Nabi dan berkata. “Wahai utusan Allah, mintalah pada Allah untuk menurunkan hujan demi ummatmu.” Dan telah disebutkan pula sebelum ini bahwa ‘Aisyah memerintahkan agar atap di atas makam Nabi dibuka saat musim kering, hingga turun hujan.

‘Umar mengirim pesan ke ‘Aisyah, “Apakah engkau mengizinkanku untuk dikubur dengan dua sahabatku (Nabi saw dan Abu Bakr)?” Aisyah menjawab, “Ya, demi Allah,” walaupun adalah kebiasaanya jika seorang laki-laki dari kalangan sahabat datang meminta sesuatu padanya akan dia tolak.

[Hadits riwayat Bukhari].

Demikian, telah kita lihat praktik tabarruk para sahabat dengan maqam Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Dan telah pula diceritakan secara singkat bagaimana para Sultan Ottoman menjunjung tinggi kehormatan Makam Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Sayang sekali, hal-hal sunnah seperti ini saat ini justru dilarang oleh penguasa dua tanah haram di zaman ini. Seorang teman saya yang mencoba menyentuh pagar teralis makam Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam, alih-alih dihargai sebagai praktik tabarruk, malah justru langsung dikeroyok dan dipukuli oleh para petugas dari kementerian agama yang menganut faham reformasi yang baru muncul beberapa ratus tahun terakhir ini, semata karena perbuatan teman saya tersebut dianggap mereka sebagai syrik. Bahkan, rezim yang sama pernah pula dulu berusaha meratakan Makam Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam ini di tahun 1920-an. Alhamdulillah, usaha ini bisa dihentikan, setelah dengan izin Allah, para wakil Ummat Islam Ahlussunnah wal Jama’ah dari berbagai negara mengajukan protes keberatannya. Saat itu dari Indonesia, para Ulama’ Ahlussunnah wal Jama’ah ini diwakili oleh Komite Hijaz yang diketuai oleh Kyai Abdul Wahab Hasbullah. Komite Hijaz inilah yang kemudian menjadi cikal bakal organisasi Nahdatul Ulama’ sebagai wadah para Ulama’ tradisionalis Ahlussunnah wal Jama’ah.

Bagaimanakah ummat ini akan bangkit jika untuk menghormati Nabi-nya sendiri saja di makam beliau sallAllahu ‘alayhi wasallam, menjadi hal yang dilarang?

Semoga Allah Ta’ala segera mengubah kondisi ini, dan kita diberikan kembali kesempatan untuk menyatakan cinta dan penghormatan kita pada Nabi kita yang mulia, Sayyidina Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam. Insya Allah.

6 Comments

  • Adinata

    Selamat Sejahtera atas junjungan Nabi Muhammad SAW beserta seluruh keluarga, sahabat dan penerusnya yang Haq hingga akhir zaman.

  • elfan

    bayangkan jika Nabi Muhammad SAW wafatnya di Mekah, bukan di Madinah, bagaimanalah ramainya orang ingin berziarah ke makam beliau. akhirnya jamaah itu lebih berbondong-bondong ke makam darpada ke Ka’bah, Masjidil Haram untuk menunaikan hajinya.

    Inilah salah satu mukjizat kenapa Nabi Muhammad SAW harus hijrah dari Mekah ke Madinah, kota nabi. Karena itulah, dalam ajaran Islam kita dilarang -mengkramatkan- makam-makam, ya makam siapa saja.

Tinggalkan Balasan

Eksplorasi konten lain dari Sufi Muda

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca