Tasauf

MELAWAN EGO (Bag 1)

Kisah manusia melawan ego nya untuk menemukan kebenaran dan pencerahan sedemikian panjang sama panjangnya dengan sejarah manusia itu sendiri. Telah di mulai oleh Adam, Insan Pertama mengenal Tuhan, mendapat pelajaran langsung dari Allah kemudian dirinya jatuh karena tidak mampu melawan ego nya sendiri, berhasrat memakan buah khuldi sehingga terusir dari surga (simbol kebahagiaan sejati). Kisah Adam kenapa dimuat di dalam al-Qur’an karena kejadian itu pasti terulang kembali di generasi berikut sampai dengan dunia ini selesai untuk menjadi ikhtibar (pelajaran) bagi segenap manusia.

Adam telah mencapai puncak pencerahan yang dikisahkan dalam al-Qur’an begitu dekat dengan Allah sehingga Allah sendiri yang mengajarkan Adam segala pengetahuan. Kemudian Adam terusir dan jatuh dirinya kepada ego rendah, menjauh dari rahmat dan kasih sayang Allah. Butuh waktu dan pengorbanan panjang bagi Adam untuk bisa kembali ke posisi semula yaitu senantiasa berserta dengan Allah.

Manusia pun membutuhkan waktu lama untuk bisa mencapai tahap di mana dia senantiasa beserta dengan Allah yang disimbolkan sebagai surga. Nabi Muhammad SAW sebagai manusia pilihan pun membutuhkan waktu sampai Allah mengangkat Beliau menjadi utusan-Nya di usia 40 tahun, setelah puluhan tahun waktu berjuangan melawan ego sendiri dibawah bimbingan Sang Mursyid (Jibril as).

Maka ulama tasawuf sepakat bahwa hakikat Mursyid atau Sang Pembimbing itu bukanlah sosok manusia yang kita liat dalam wujud Guru. Beliau itu hanya membawa cahaya Ilahi dan yang membimbing para murid itu tidak lain adalah Allah langsung. Itulah hakikat pengertian langsung berguru kepada Allah SWT. Allah akan mengajarkan manusia tentang ilmu secara langsung sebagaimana Allah juga mengajarkan secara langsung Adam terhadap ilmu khusus yang malaikat pun tidak mengetahuinya.

Begitu khusus ilmu Tasawuf yang dipraktekkan lewat Tarekat sehingga di zaman Nabi disebut sebagai Thariqatussiriah (Jalan Rahasia). Khusus Tasawuf yang berhubungan langsung dengan Allah, ilmu ini tidak bisa diwakilkan kepada manusia, harus Dia sendiri yang mengajarkan ke hati hamba-Nya (Laduni) lewat utusan-Nya dan lewat khalifah-khalifah Rasulullah yang sambung menyambung sampai akhir zaman.

Jika Tasawuf hanya sekedar dikaji atau ditelaah dan dibaca hanya akan menjadi sebuah ilmu yang nanti tidak bisa memberikan manfaat apa-apa hanya sekedar menjadi bahan bacaan. Tujuan utama tasawuf untuk melati ego sendiri memenangkan dirinya malah ego itu yang menang dan tujuan hakiki untuk senantiasa beserta Allah (Ihsan) tidak tercapai.

Itulah sebabnya Tasawuf harus dibawah bimbingan Sang Guru yang memang sudah ahli di bidangnya, mampu membimbing rohani murid dalam segala kondisi dan dalam segala dimensi baik dalam kesadaran maupun dalam ketidaksadaran. Sang Guru tidak selalu orang yang intelektual, Profesor atau seorang yang terkenal karena Allah memilih hamba-Nya sesuai kehendak-Nya.

Siapa manusia di dunia ini yang paling pandai sekaligus paling mulia? Ya Nabi kita Muhamamd SAW dan kita semua tahu Beliau tidak bisa tulis baca. Bagaimana seorang buta huruf bisa menjadi seorang yang sangat hebat karena Beliau memang utusan-Nya mendapat ilmu langsung dari sisi-Nya dalam jumlah tak terbatas.

Maka berguru kepada Pembimbing Rohani itu sangat berbeda dengan berguru kepada Guru biasa baik Guru formal maupun tidak formal. Konsep berguru kepada Guru Rohani itu sudah dibuat oleh Rasulullah SAW dan dipraktekkan oleh sahabat Nabi yaitu “KAMI DENGAR DAN KAMI PATUHI”. Semakian tidak bertanya semakin akan cepat memahaminya karena ilmu itu tidak diberikan kepada akal yang bersifat lemah namun diberikan kepada Qalbu yang mampu menerima cahaya-Nya.

Imam Asy-Sya’rani adalah seorang yang sudah hapal al-Qur’an sejak kecil, hapal ribuan hadist, membaca seluruh kitab-kitab dizamannya bahkan Beliau sendiri adalah pengarang kitab. Ketika ingin berguru kepada Mursyid yang bernama Ali Al-Khawas (Seorang Buta Huruf), syarat utama yang diberikan oleh Gurunya adalah menjual seluruh kitab yang dimiliki. “Juallah seluruh kitab mu dan sedekahkah semua uangnya”. Berat bagi Imam Asy-Sya’rani melakukan namun dipatuhi, itulah awal Beliau mendapat pencerahan dari Allah lewat bimbingan dari Gurunya. Suatu hari Imam Asy-Sya’rani berada di sungai di belakang rumah Gurunya, disitu dilihat sungai itu berubah menjadi tafsir Qur’an dan seluruh kitab-kita Ulama terdahulu nampak dilihat dengan jelas. Barulah Beliau tersadar bahwa hakikat ilmu itu bukan dari membaca tapi diberikan langsung oleh Allah SWT.

Sunan Kalijaga tidak akan mendapat pencerahan kalau Beliau tidak melakukan sebuah tugas sepele yaitu menjaga tongkat Gurunya sampai berbulan-bulan. Kepatuhan itulah membuat ego nya tunduk dan Beliau dibimbing setahap demi setahap sampai mencapai tahap menjadi seorang kekasih Allah.

Syekh Abdul Qadir Jailani dalam kisahnya menjadi wali bukan karena rajin ibadah atau rajin zikir. Suatu malam Beliau yang tinggal bersama Gurunya tidak berani mengetuk pintu khawatir Gurunya terganggu sehingga Beliau tidur di depan pintu dalam udara sangat dingin sampai menjelang subuh. Ketika Gurunya membuka pintu kaget melihat Abdul Qadir di depan pintu tidur dalam kondisi kedinginan. “Abdul Qadir, kenapa kamu tidak masuk kedalam?”. Beliau menjawab, “Guru, aku khawatir kalau masuk nanti membangunkan engkau tidur”. Gurunya berkata, “Engkau menjadi Pemimpin Para Wali”.

Ego yang kita sebut hawa nafsu atau Al-Ghazali menyebut sebagai Jiwa Rendah senantiasa menarik kita kebawah, kepada neraka. Untuk itu dibutuhkan ikhtiar atau mujahadah dengan sungguh-sungguh agar kita bisa melewati itu semua. Jika kita membuka surat An-Nas, bisikan setan itu telah ada di dada manusia sejak lahir. Setelah setan dalam diri itu bisa terusir maka kita menjadi al-Insan (manusia yang telah mengenal Allah). Jadi perdebatan antara agama dan sains itu selesai jika kita memahami bahwa Adam itu bukan manusia tapi manusia pertama yang mengenal Allah. Adam lah manusia pertama yang bermakrifat kepada Allah. Manusia yang tidak mengenal Allah maka dia tidak dihitung sebagai Insan tapi hanya sebagai manusia pada umumnya sebagai makhluk.

Bersambung…

4 Comments

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: