Tasauf

Setelah Shalat Subuh (8)

Hakikat dengan ilmu hakikat adalah dua hal berbeda, yang satu berhubungan dengan “rasa” dan Maqam (kedudukan rohani) sedangkan satu lagi berupa pelajaran. Pengalaman tokoh sufi ditulis dalam banyak kitab di dunia ini tidak akan bisa mewakili hakikat yang sesungguhnya, itu hanyalah ilmu memudahkan orang untuk mengenal hakikat. Sama hal nya ilmu tentang masakan tidak akan membuat lidah kita merasakan nikmatnya makanan sampai kita memakannya.

Karena hakikat adalah rasa maka untuk mendapatkannya tidak lewat membaca atau mengkaji akan tetapi dengan cara mempraktekkan dzikir dengan metodelogi tarekat, dibawah bimbingan Guru ahli baik lewat dzikir pribadi maupun dzikir berjamaah (tawajuh). Hakikat hanya bisa dirasakan ketika Nur Muhammad mengalir dengan tanpa hambatan dari sisi Rasulullah SAW kemudian tersalur lewat para Guru Mursyid sampai kepada Guru terakhir dan sampai kepada si murid.

Ketika saluran itu tersumbat atau mengecil sangat kecil bahkan terputus, maka sebanyak apapun mujahadah dilakukan oleh si murid tidak akan bisa merasakan hakikat sebenarnya. Disinilah pentingnya mencari Guru yang benar-benar seorang Wali Allah, yang rohaninya senantiasa bersambung kepada Allah SWT.

Para ahli tasawuf merumuskan bahwa hakikat sendiri mempunyai 3 tingkatan :

Hakikat Pertama, tersikapnya hijab antara si hamba dengan sesuatu yang diimaninya sebagai Allah, sifat-sifatNya, keagunganNya, kesempurnaan-Nya, Hakikat kenabian, kesempurnaan-kesempurnaan para Nabi teristimewa Nabi Muhamamad SAW. Terbuka hijab ini menyebabkan si hamba melihat semua itu dengan jelas dan NYATA.

Orang yang berada pada tahap hakikat pertama adalah orang-orang yang telah tersikap tabir penghalang antara dirinya dengan Allah SWT dengan 7 tanda-tanda yang dialami :

  1. Zuhud Dalam Dunia
  2. Mabuk Ketuhanan
  3. Kelinglungan (dzhuhal).
  4. Tergoncang
  5. Sangat Rindu dan Cinta Kepada Allah
  6. Disertai terbuka sesuatu rahasia (yang dikehendaki Allah) dari alam atas dan alam bawah.
  7. Mengetahui kejadian-kejadian masa lalu dan masa depan.

Orang-orang yang berada di Hakikat Tahap ini bisa kita lihat dikalangan para Ahlul Suffah, sahabat yang tinggal bersama Nabi yang sangat mencintai Nabi, Ahlul Suffah inilah Generasi Sufi Pertama yang langsung dididik oleh Nabi SAW.

Rasulullah SAW bertanya kepada Haritsah bin Malik al-Anshari, “Wahai Haristah, apa kabarmu pagi ini?”

Haritsah menjawab, “Pagi ini aku benar-benar menjadi seorang mukmin”

Rasulullah berkata lagi, “Sesungguhnya setiap perkataan itu memiliki hakikat. Apa Hakikat keimananmu itu

Haritsah menjawab, “Jiwaku berpaling dari dunia. Bagiku, batu dan emas dari dunia ini sama saja. Karena itulah aku tidak tidur di malam hari dan menahan haus di siang hari. Aku seolah-olah melihat singasana Tuhanku demikian tampak. AKu seolah-olah melihat ahli surga saling mengunjungi. Dan aku seolah-olah mendengar jerit ahli neraka”.

Kemudian Rasulullah berkata lagi, “Aku tahu, maka tetaplah pada jalan ini”.

Dalam riwayat lain Nabi SAW bersabda, “Barangsiapa ingin melihat orang yang qalbunya telah disinari cahaya oleh Allah, maka lihatlah Haritsah bin Malik”. (HR Ath-Thabrani).

Nabi Bersabda, “Diantara ummat ku ada yang diajak bicara oleh Tuhan, Umar salah satunya”

Hakikat Kedua, kekosongan diri (takhali) dari berbagai akhlak yang kotor serta memenuhi dengan sifat-sifat yang diridhai da akhlak yang terpuji (Tahalli), sehingga dia benar-benar kokoh padanya sifat-sifat baik dan terpuji tersebut (Akhlakul kharimah).

Hakikat Ketiga, kemudahan menjalankan amal shalih sehingga tidak diperoleh rasa berat dan rasa sukar. Bahkan ketika dia hendak meninggalkan amal shalih itu, jiwanya tidak rela dan tidak patuh. Kelapangan dada dalam Islam benar-benar sempurna pada dirinya. Jiwanya benar-benar tentram dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi segala laranganNya. Ketundukan sejati benar-benar sempurna melekat pada dirinya, sehinga dia SEPERTI MALAIKAT DALAM RUPA MANUSIA.

3 tingkatan hakikat yang ditulis dalam berbagai kitab tasawuf ini tentu saja tidak didapat lewat membaca apalagi menduga-duga setelah membaca. Bagaimana anda bisa memaknai “Kelinglungan”, atau “mabuk ketuhanan” kalau anda sama sekali belum pernah mengalaminya.

sMoga tulisan yang saya tulis setelah shalat subuh untuk menyambung tulisan-tulisan terdahulu dengan judul yang sama kiranya bermanfaat bagi kita semua.

Amin Amin Amin Ya Rabbal ‘Alamin

4 Comments

  • AS S

    Subhanallah lailahaillallah Allahuakbar Lailahaillallah muhammadarasulullah sholallahu’alaihiwassalam. Alhamdulillah.. terimakasih buya “di suatu kesempatan saya dan sahabat yang lebih tua umurnya bercerita tentang buya atau ulama tarekat di daerah kami dengan berbagai bentuk kasih sayang dan kebesaran Allah swt yang terlimpah.. sampai akhirnya sahabat saya bicara “cukup satu guru saja..! Guru seperti apalagi yang dicari..?” Saya tercenung buya.. Beliau pun terdiam dengan pandangan harap untuk saya.. perkataan itu selalu terngiang di otak ini, sampai saya berpikir memang harus saya ke surau tempat kami mengaji saja tidak usah ke surau yang lain.. Sampai PR itu terjawab atas rahmat dan hidayah Allah swt setelah satu tahun lebih, waktunya saya tidak ingat buya.. Saya menangis buya.. Dalam tangis itu ada senyum.. Terima kasih ya Allah swt.. Alhamdulillah ya Allah swt.. Ampuni saya yang hina ini, yang lemah ini ya Allah swt.

    “Guruku.. Gurumu juga..”

Tinggalkan Balasan ke Malik angonBatalkan balasan

Eksplorasi konten lain dari Sufi Muda

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca