Nasehat,  Tasauf

Terserah Pada-Mu ya Allah…

Sufimuda LogoSuatu hari Guru berkata, “Sebagian besar manusia berdoa agar diberi kekayaan duniawi, sebagian kecil orang-orang yang fokus kepada ibadah berdoa agar diberikan kekayaan akhirat, sedangkan aku tidak berdoa apa-apa tentang itu, aku terserah apa kehendak Allah”.

Di lain kesempatan Beliau berkata, “Orang awam mohon kepada Allah agar dijauhkan dari Bala, sedangkan bagi sebagian Wali/Nabi justru meminta bala atau cobaan dari Allah karena bagi mereka cobaan adalah bentuk dari perhatian dan kasih sayang Allah, sedangkan aku.. terserah kehendak Allah semata, diberi nikmat aku syukuri, diberi cobaan aku syukuri, bagi ku keduanya sama-sama berasal dari Allah Yang Maha Baik”.

Guru sedang berbicara tentang hakikat pasrah, hakikat dari La Haula Wala Quwwata Illa Billah, tiada daya upaya melainkan kekuatan Allah semata. Allah lebih mengetahui apa yang terbaik untuk kita, manusia hasil ciptaan-Nya dibandingkan siapapun, bahkan dibandingkan manusia paling cerdas siapapun. Manusia hanya diberi kemampuan oleh Allah untuk menggali hal-hal bersifat lahiriah, maka lahirlah berbagai cabang ilmu dengan tujuan agar manusia menjadi lebih baik, dalam menjalani kehidupan di dunia ini.

Pasrah dengan putus asa adalah dua hal yang berbeda, pasrah lahir dari keyakinan penuh kepada Allah karena dia sangat mengenal Allah, sangat yakin akan kebaikan Allah kepadanya maka dia serahkan semua kepada Allah sedangkan putus asa lahir dari bisikan setan dalam dada manusia, wujud protes dari keadaan yang tidak dikehendakinya. Seorang pecinta atau hamba yang baik akan selalu memanjatkan syukur terhadap apa yang diberikan bahkan terhadap apa yang tidak dimilikinya. Dalam hal ini Guru Sufi Junaidi al-Bahgdadi berkata, “Orang yang bersyukur adalah orang yang bersyukur atas apa yang ada, dan orang yang sangat bersyukur adalah orang yang bersyukur atas apa yang tidak ada”. Beliau juga berkata, “Bersyukur adalah bahwa engkau tidak memandang layak menerima nikmat”.

Hal ini yang selalu diingatkan oleh Guru kepada saya, bahwa karunia apapun diberikan Allah bukan karena derajat kita tapi karena kasih sayang Allah semata. Ketika Guru menaikkan derajat murid, menjadi petugas atau khalifahnya maka berulang kali Guru mengingatkan, sebenarnya kalian belum layak duduk di posisi itu, ibarat pepatah tak ada rotan akar pun jadi, tak ada akar tali pisang pun jadi, “Hai tali pisang, sadarlah selalu!”.

Kembali kepada meminta, ketika anda bermohon kepada Allah meminta sesuatu, kemudian berulang kali meminta, menunggu dengan sabar maka akhirnya lahirlah sikap putus asa, anda kemudian menyebutnya “aku pasrah saja”, padahal itu adalah wujud dari putus asa. Bagaimana anda bisa menyebut itu sebagai kepasrahan kalau anda sebelumnya meminta kepada Sang Maha Raja. Hamba yang baik tidak pernah meminta apapun, lapar dan kenyang diserahkan kepada Tuannya, senang dan susah sesuai kehendak Tuannya, kalau kesusahan membuat Sang Maha Raja Senang, maka dia pun senang dengan kondisinya. Pasrah ibarat bayi dalam gendongan Ibunya, tidak berkehendak sama sekali.

Pasrah lahir dari rasa cinta yang mendalam dan bergelora kepada kekasih, tidak pernah meminta apa-apa dari Sang Kekasih karena perjumpaan adalah pencerahan, perpisahan merupakan rindu tanpa atas. Bertemu dan berpisah tidak mempengaruhi kondisi rohaninya, keduanya mempunyai nilai sama. Ketika terpisah secara ragawi maka rohani terbang menuju kekasih, ketika berjumpa secara ragawi maka rohani tetap berjumpa, jauh dan dekat tidak mempengaruhi bagi para pecinta.

Para pecinta yang sedang mabuk tidak akan pernah bertanya tentang benar salah, susah senang, jauh dekat bahkan kematian pun tidak menjadi bahan perhatiannya, tidak mengalihkan pandangannya dari Sang Kekasih.

Cinta kepada Sang Kekasih ini telah digambarkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam bentuk doa Nabi Daud as. Beliau bersabda: “Di antara doa Nabi Daud ’alihis-salaam ialah: “Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepadaMu cintaMu dan cinta orang-orang yang mencintaiMu dan aku memohon kepadaMu perbuatan yang dapat mengantarku kepada cintaMu. Ya Allah, jadikanlah cintaMu lebih kucintai daripada diriku dan keluargaku serta air dingin.” Dan bila Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam mengingat Nabi Daud ’alihis-salaam beliau menggelarinya sebaik-baik manusia dalam beribadah kepada Allah.” (HR Tirmidzi )

Pasrah yang merupakan buah dari cinta dan rindu kepada Allah melahirkan sikap kehati-hatian dalam bertindak, dunia sufi menyebutnya sebagai Wara’ melakukan apapun hanya atas izin Allah semata. Selalu ada rasa takut kehilangan dalam dirinya, takut kalau ucapan dan tindakannya tidak di ridhai oleh Allah, Sang Kakasih.

Saya diajarkan oleh Guru untuk selalu mengucapkan astarafirullah dalam hati, bermohon ampun berulang kali setiap akan berdakwah atau menyampaikan firman Allah atau hadist Nabi, mohon agar Allah memberikan bimbingan. Bisa jadi ketika kita menyampaikan sesuatu tanpa diiringi mohon ampun dan mengharap bimbingan, setan menyusup kedalam hati, maka walaupun firman Allah dibacakan dengan merdu, pada hakikatnya tidak ada Allah disana, yang ada hanya setan yang menyusup dalam hati orang-orang yang mendengar, ini yang di khawatirkan oleh para Wali Allah. Seperti halnya sikap hati-hati dari Rabi’ah al-Adawiyah dalam doanya, “Aku mohon ampun kepada Allah oleh perkataanku yang kurang benar, aku mohon ampun, ya Allah”. Rasulullah SAW yang merupakan teladan kita selalu mohon ampun kepada Allah setiap saat, ”Demi Allah, sesungguhnya aku memohon ampun dan bertaubat kepada Allah dalam sehari lebih dari 70 kali.” (HR. Bukhari)

Sahabat, tulisan ini saya tulis Jum’at malam (Malam ini) setelah shalat Isya tadi, tidak lain sebagai nasehat untuk saya pribadi agar tetap mendapat bimbingan dari Allah, mudah-mudahan juga menjadi nasehat untuk sahabat sekalian. Saya selalu berdoa kepada Allah, agar silaturahmi kita lewat tulisan ini menjadi berkah dan rahmat bagi kita semua, semoga Allah mempertemukan kita dalam kasih dan sayang-Nya, amin ya Rabbal ‘Alamin!

25 Comments

  • farid sudibyo

    subhanallah …………benar adanya bang sufi muda, sebagai seorang mukmin dan hambanya …..yg insya allah , Allah swt mengakui kita bukan kita yg mengaku-ngaku sebagai hambanya. dengan segala nikmat yg telah diberikan rasanya tidak pantas kita meminta apapun dari Nya. Kita harus selalu beribadah dan meminta agar kita senantiasa dibimbing agar selalu besertanya. Biarlah urusan kita Allah yang menyelesaikannya…..amin…amin..amin …yarobalalamin. salam bang sufi muda smg Allah selalu memberikan hidayah kepada Bang Sufi agar bisa menulis dan mencerahkan para pecinta Allah SWT.

  • Ruslianto

    Ass. Yth.Ab.Sufi Muda
    Ini artikel bagus,… sudi kiranya Abangda SM “mengupas” lebih menungkik agak “dalam” (lagi ?),… malam ini membaca artikel tsb, teringat Guru Saya; tentang makna La Haula Wala Quwwata Illa Billah, yang banyak orang sedikit keliru mengartikan, yg ibarat pasrah karena tiada daya ,…. (padahal ia telah babak belur) dihantam kezholiman, sperti Yahudi di Palestina dan di wilayah Myanmar dsb,… La Haula Wala Quwwata Illa Billah (yg sebenarnya itu), menurut Beliau; … adalah kepasrahan (lumpuh) tiada daya saat berhadapan dengan Allah SWT (berada di Alam Illahiyah).

    Kedua ; Tentang hubungan “istighfar” dengan sebuah permohonan,.. contoh : (Al Qur’an) Salah satu do’a Nabi Sulaiman a.s, Pada Saat meminta agar diberikan sebuah kerajaan yg tiada tandingan di jagat ini,…. (Beliau istighfar ter-lebih dahulu baru “bermohon”

    Ketiga ; Tentang hubungan “Menyaksikan Kekeramatan” dengan sebuah permohonan,… contoh : (Kisah dlm Qur’an) : di saat Nabi Zakaria a.s masuk ke daerah “mihrab” (tempat suluknya) Maryam (Bundanya Nabi Isa a.s) heran melihat Maryam mendapat makanan dan buah-buahan yang tidak ada pada musimnya di saat itu terhidang,… Nabi Zakaria a.s pun tertegun dan “segera” berdo’a meminta keturunan,.. padahal (ia) tau,.. bahwa isterinya “mandul” dan telah sama-sama uzur, dan do’a ini dikabulkan Allah SWT. Lahir-lah Nabi Yahya a.s (adalah Nabi urutan ke-23), sedangkan Nabi Isa a.s adalah Nabi urutan ke-24.

    Dengan sgala hormat,.. Bd.Sufi dan dgn sinnyal yg jernih dimalam penuh berkah ini, kiranya Abgda,..dpt memenuhinya dgn ridho Guru , ridho Nabi, dan ridho Allah SWT. trimaksih. SE-MOGA BERmanfaat.
    Wass.

    • SufiMuda

      Wa’alaikum salam
      Terimakasih Bang Ruslianto atas uraiannya yg membuat tulisan di atas lebih berwarna…
      Insya Allah, tentang kekeliruan pemahaman sebagian besar ummat akan pasrah akan sy buat tulisan lanjutan.
      Kekeliruan setelah memutuskan dgn sumber power maka ummat Islam menjadi lumpuh tidak berdaya menghadapi kekuatan duniawi yg teknologinya memang dikuasai mereka.
      Darah air mata keluar tidak mengubah hal tsb, menunggu rahmat turun padahal Allah sedang menunggu kita menjuluk rahmat tersebut, akhirnya saling tunggu menunggu, kehancuran pun semakin parah…
      mudah2an kita selalu diberi petunjuk dan di tuntun selalu…

  • rina

    Assalamualaikum Wr Wb,

    Abang Sufi Muda, saya Rina – murid Ayahanda Guru Kadirun Yahya (Arco)
    apakah saya boleh / bisa bertemu / berkenalan dengan Abang ?
    Saya ingin bisa share langsung..
    Saya biasanya ke surau hari Senin dan Minggu pagi (ziarah)
    Salam kenal,
    Rina

  • Abdul Najib Al Ihsany

    Amiin ya Robbal Alamiin…

    Mohon maaf Sufi Muda….saya pendatang baru, masih awam dalam ilmu hakikat, ingin menemukan guru rohani yang bisa membimbing kami menuju keselamatan dunia akhirat….mohon pencerahannya….

    Jazakalllohu khoir
    Wassalamualaikum Wr. Wb
    Najib

  • Wilden

    Tulisan ini bagi saya sangat lembut dan menuntun saya untuk lembut pula. Allah Maha Halus (Ya Latip). Smoga hati kita menjadi semakin halus/lembut dalam menyikapi kehidupan yang semakin gersang. Tulisan ini memberi pencerahan untuk pasrah. Kepasrahan yang hanya karena Allah saja. Terserah padaMU ya Allah. Engkau lebih mengetahui yang lahir maupun yang bathin atas semua kebaikan bagi semua mahlukMU.

  • abank

    assalamualaikum wr wb.
    mantap abangda.!!
    semoga rahmat allah dankesehatan terlimpah kpd abangada selalu.
    terkadang saat kita membahas dg orang yg blm faham ttg hakekat ada rasa takut dlm hati.
    takut nenyampaikan sesuatu karena diri pribadi tidak tahu apakah hal itu pantas disampaikan ato tidak.
    apakah rasa takut (merasa lancang)itu adalah wajar?
    walaupun saya tahu bahwa saya bisa menjaga diri dr batas2 yg boleh dan tidak boleh disampaikan.
    karena guru pernah menyampaikan
    jangan kau sembarangan menabur emas di jalanan semua orang akan berebutan.

    mohon penjelasannya abangda.
    wassalaam.

    • SufiMuda

      Wa’alaikum salam…
      Karena ilmu ini milik Allah, maka tanyakan langsung kepada Allah apakah boleh disampaikan atau tidak, mana yang boleh mana yang tidak. Tentu untuk bisa mengetahui izin-Nya ini harus di alam Muraqabah. Jadi dalam menyampaikan ilmu bukan kehendak diri kita apalagi ego diri, nanti yang menerima dan membaca kacau semua. Tapi kalau izin-Nya, maka Dia sendiri yang menjaga.
      Seperti yang sering saya sampaikan, Hakikat tidak bisa di tulis, tapi dirasakan. Apa yang saya tulis hanya bisa dipahami oleh orang yang telah pernah merasakan,,
      Demikian..

  • Cucu Supriadin

    Ass. Wr Wr Kang Sufimuda, saya gak bosan2 baca tulisan ini. mhn ijin utk di copi faste di file pribadi agar lebih menghayati. Saya msih awam ttg Islam kang. Terima kasih, Alhamdulillah.
    Wass

Tinggalkan Balasan ke SardiBatalkan balasan

Eksplorasi konten lain dari Sufi Muda

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca