Pemikiran

Tuhan Milik Siapa? (1)

Tuhan milikSejarah memberikan catatan kepada kita bahwa pertumpahan darah yang paling banyak terjadi di dunia disebabkan karena memperebutkan Tuhan, Agama dan Kebenaran. Keyakinan  kuat atau fanatisme terhadap agama satu sisi memberikan hal yang positif, membuat manusia mengikuti aturan sehingga dengan keteraturan itu menyebabkan hubungan manusia dengan manusia menjadi harmonis begitu juga hubungan manusia dengan alam. Di sisi lain, ketaatan dalam agama tanpa di iringi semangat toleransi dan pengetahuan yang mendalam terhadap agamanya dan agama lain akan memberikan ruang kebencian yang ketika dijadikan alat politik oleh sekompok orang akan menjadi racun berbahaya dalam masyarakat.

Pertumpahan darah, hilangnya jutaan nyawa dan harta benda yang timbul dari fanatisme agama hampir semua bermuara kepada politik baik permusuhan antara agama maupun permusuhan di dalam penganut agama yang sama. 3 Karya Karen Amstrong Holy War : The Crussade and Their Impact on Today’s world, The Battle for God : A history of Fundamentalism dan A History of God: The 4.000-Year Quest of Judaism, Christianity and Islam memberikan gambaran kepada kita bahwa pertumpahan darah bagi penganut agama sejarahnya setua sejarah manusia itu sendiri.

Mungkin di dunia ini hanya Karen Amstrong yang berani dan terpikir untuk menulis sejarah Tuhan, sosok yang Tak Tersentuh, sesuatu yang Tak Terfikirkan. Saya pertama sekali membaca buku A History of God tahun 2000, disaat saya sedang dimabuk Tasawuf dan yang membuat saya tertarik untuk membacanya karena judulnya yang menggoda. Buku Karen Amstrong tentang sejarah Nabi Muhammad juga sangat enak dibaca, berbeda dengan karya-karya sejenis yang sudah pernah di tulis.

Setiap pemeluk agama manapun meyakini bahwa Tuhan itu milik mereka dan manusia diluar agama mereka tidak mendapat tempat di sisi Tuhan. Satu sisi keyakinan itu diperlukan agar manusia semangat dalam beribadah namun disisi lain terkadang memberikan efek buruk bagi pemeluknya dengan memaksa orang-orang diluar agamanya untuk mengakui Tuhan yang disembahnya. Melakukan tindakan pemaksaan kepada orang diluar agamanya seolah-olah dia telah mendapat mandat langsung dari Tuhan merupakan efek dari yang saya sebutkan di atas.

Di dalam Islam sendiri, kemudian muncul kelompok-kelompok fanatik yang dari gaya mereka bertindak seolah-olah seluruh tindakannya sudah disetujui Tuhan. Membakar rumah ibadah agama lain, membunuh tokoh agama dan tindakan-tindakan tercela lain yang dibungkus dengan istilah keren berbau agama, yaitu Nahi Mungkar. Tindakan Lebay ini bukan hanya di dalam Islam, tapi juga dalam agama lain karena setiap agama mempunyai kelompok garis keras yang memahami agama dengan kaku. Jadi bukan karena agamanya tapi karena penganut agama tersebut yang memahami agama secara keliru.

Memaksakan agama yang kita yakini kepada orang yang berbeda agama bukan hanya tidak alamiah tapi juga bertentangan dengan konsep Tuhan yang universal dan Esa yang kita yakini. Disinilah letak rancu pemahaman kita terhadap Tuhan, satu sisi kita meyakini bahwa diseluruh jagad raya hanya ada satu Tuhan, tapi disisi lain kita memberika ruang seolah-olah ada Tuhan lain yang harus dimusnahkan agar orang-orang yang menyembah Tuhan lain tersebut tunduk kepada Tuhan kita.

Bersambung….

4 Comments

  • arkana

    bang SM;
    salah satu judul buku Karen Amstrong yang Abang sebutkan di atas itu menarik perhatian saya, Holy War : The Crussade and Their Impact on Today’s world.
    Saya belum pernah baca buku itu. Tapi mengenai Crusade/ Perang Salib, saya pernah menonton film dokumenter tentang Robin Hood di NatGeo.
    Di film itu dijelaskan bahwa latar belakang terjadinya Perang Salib itu karena orang Eropa kuatir dengan kekuasaan kerajaan Persia yang sudah mendekati wilayah Eropa dan akan mengekspansinya.
    Bala tentara Persia kala itu bukan tandingan negara/ kerajaan manapun di Eropa. Sehingga bisa dipastikan jika Persia menyerang, maka satu per satu wilayah kerajaan di Eropa akan jatuh dan dikuasai Persia.
    Situasi sebaliknya, negara-negara di Eropa saat itu sangat tidak akur dan saling berperang di antara mereka sendiri. Oleh karena itu satu-satunya cara untuk menghadang Persia adalah dengan mempersatukan semua negara di Eropa mau berangkat perang melawan Persia.
    Caranya adalah memprovokasi orang-orang fanatis dengan agama nya (saat itu sebagian besar masyarakat Eropa masih fanatik) agar mau dimobilisasi ke Jerusalem untuk membela agamanya dan membebaskan tanah suci itu. Propaganda itu berhasil. Peranan Paus dan gereja katolik saat itu sangat dominan.
    Sayang film itu tidak menjelaskan siapa sebenarnya aktor intelektual atau tokoh dibalik layar pencetus Perang Salib. Yang pasti bukan dari kalangan gereja katolik saat itu, karena gereja pun adalah pihak yang juga tertipu dan masuk dalam propaganda nya.

    Bang SM, jika di masa itu Tuhan dan agama sudah dijadikan komoditas untuk mencapai tujuan tertentu, apakah Karen amstrong juga berpendapat demikian di dalam buku nya itu?

Tinggalkan Balasan ke ardelianurBatalkan balasan

Eksplorasi konten lain dari Sufi Muda

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca