Sesuai Kapasitas

Meskipun Ibnu Arabi dicintai oleh semua Sufi, mempunyai banyak pengikut pribadi dan menjalankan fungsi teladan kehidupan, tidak diragukan ia merupakan suatu ancaman bagi kalangan formalis. Seperti al-Ghazali, kekuatan intelektualnya lebih unggul dari semua orang sezamannya yang lebih konvensional (di bidang pemikiran). Alih-alih menggunakan berbagai kemampuan ini untuk mengukir satu tempat dalam skolastisisme, ia menyatakan — seperti banyak Sufi lainnya — bahwa jika seseorang memiliki intelek yang kuat, fungsi terakhirnya adalah memperlihatkan bahwa intelektualitas hanyalah suatu sarana pengantar kepada sesuatu yang lain. Sikap ini bukan suatu kesombongan — apalagi kalau kita benar-benar bertemu dengan orang semacam ini dan mengetahui kerendahan hatinya.
Banyak orang bersimpati kepadanya, tetapi tidak berani mendukungnya, sebab mereka bekerja pada tataran formal, sementara ia bekerja pada tataran rahasia. Seorang alim yang terhormat menurut riwayat mengatakan, “Aku sama sekali tidak meragukan bahwa Muhyiddin (Ibnu Arabi) adalah seorang pembohong besar. Ia adalah pemuka kalangan ahli bid’ah dan seorang Sufi yang tidak tahu malu.” Akan tetapi seorang teolog besar, Kamaluddin Zamlaqani menegaskan, “Betapa bodohnya mereka yang menentang Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi! Pernyataannya yang sublim dan tulisannya yang bernilai itu terlalu tinggi bagi pemahaman mereka.”
Dalam sebuah kesempatan yang masyhur, guru pembaharu Syekh Izuddin ibnu Abdussalam sedang memimpin sekelompok murid mempelajari fiqih. Selama berlangsung suatu diskusi, pertanyaan tentang definisi bid’ah muncul. Seorang murid menyebut Ibnu Arabi sebagai contoh utama. Sang guru tidak menyanggah penegasan ini. Kemudian ketika makan malam dengan guru ini, Salahuddin yang pada masa selanjutnya menjadi Syekh al-Islam, bertanya kepadanya, siapakah alim paling terkemuka pada masanya:
“Ia menjawab, ‘Menurut Anda siapa? Teruslah makan.’ Aku menyadari bahwa ia tahu. Aku berhenti makan dan menekannya untuk menjawab pertanyaanku dengan menyebut nama Allah. Ia tersenyum dan berkata, ‘Syekh Muhyiddin Ibnu Arabi.’ Untuk sesaat aku terkejut sehingga tidak bisa berkata-kata. Syekh itu bertanya kepadaku tentang keadaanku saat itu. Kujawab, ‘Aku heran, sebab pada pagi ini seseorang mengatakan bahwa ia adalah ahli bid’ah. Pada saat itu, Anda justru tidak menyanggahnya. Sekarang Anda menyebut Muhyiddin sebagai Wali al-Quthb di Zaman Ini, manusia teragung yang pernah hidup, guru dunia’.”
“Ia mengatakan, ‘Kala itu aku berada di tengah-tengah pertemuan para ulama, para fuqaha’.”
Syekh Izuddin sebagaimana juga Imam Al-Ghazali adalah dua tokoh yang begitu lelah bergelut dalam ilmu formal (syariat) dan tidak mendapatkan ketenangan kemudian naik kepada ilmu hakikat di bawah bimbingan Guru Mursyid mereka, disana lah keduanya menemukan kesempurnaan ilmu. Rasa syukur atas pencapaian itu diwujudkan dalam sikap bijaksana dalam menyikapi segala hal. Mereka tahu bahwa ilmu itu berlapis dan setiap orang akan memandang sesuatu sesuai dengan kapasitasnya.
Semakin tinggi tingkat intelektual seseorang maka akan semakin bijaksana dan selalu melihat dalam sudut pandang berbeda, sesuai kepasitas masing-masing. Sekelompok mahasiswa di Malang ingin menghalangi acara seminar tentang teknologi Al-Qur’an Prof. Dr. S.S. Kadirun Yahya, MA. M.Sc tahun 1994 karena dianggap berbeda dengan apa yang mereka ketahui. Sebelum melakukan aksinya, mereka meminta pendapat Prof. Nurcholish Madjid. Ucapan Prof. Nurcholish Madjid membuat para tokoh mahasiswa tidak melanjutkan aksinya. “Prof Kadirun Yahya itu ilmunya jauh di atas saya, jangan kalian halangi acara seminar itu karena ilmu kalian belum sanggup menjangkaunya”.
Jika intelektual bukanlah akhir perjalanan tapi sarana menuju ke hal lain, maka diperlukan kerendahan hati untuk meningkatkan kepasitas agar bisa sampai ke hal yang lain tersebut…


One Comment
Pingback: