Nasehat

TIDAK SEMUA PERTANYAAN MU HARUS KU JAWAB…

tanya1Tulisan ini saya buat untuk menjelaskan status di Facebook yang saya update tadi pagi. Statusnya seperti ini :

Imam syafii berkata, “Kalau engkau menjumpai ada orang yg menjawab semua pertanyaan yg diajukan  maka yakinlah itu adalah orang bodoh“. Imam Syafi’I juga menceritakan bahwa Imam malik ketika diajukan 50 pertanyaan tentang agama, beliau hanya menjawab 10 pertanyaan selebihnya Beliau menjawab dengan “Saya tidak tahu”.

Menarik untuk ditelaah, ulama sekelas Imam Syafi’I yang luas pengetahuan agamanya dan pendiri sebuah mazhab yang besar pengikutnya mengatakan seperti itu. Saya mencoba menafsirkan apa yang beliau sampaikan, tentu saja ini bukan tafsiran yang paling benar. “Kalau engkau menjumpai ada orang yg menjawab semua pertanyaan yg diajukan  maka yakinlah itu adalah orang bodoh” bukan berarti Imam Syafi’I melarang seseorang menjawab pertanyaan orang lain. Beliau menyampaikan nasehat agar kita berhati-hati dalam menyampaikan jawaban terutama persoalan agama.

Di zaman sekarang orang sangat mudah menafsirkan agama, menjawab pertanyaan-pertanyaan orang dengan dalil al-Qur’an dan Hadist tapi dengan penafsiran dia sendiri tanpa merujuk pendapat para pendahulu dan dia meyakini itu sebagai kebenaran tunggal. Di TV misalnya ketika membahas tentang agama, seorang ustad dengan gampang menjawab pertanyaan orang tanpa berfikir sejenak dan adakalanya jawaban yang diberikan salah.

Ucapan Imam Syafi’I itu sebagai nasehat kepada kita untuk tidak selalu harus tampil sebagai orang pintar agar mendapat pujian orang. Kita harus terbiasa rendah hati, di saat tertentu harus berani menjawab, “Saya Tidak Tahu” terhadap pertanyaan yang kita sendiri ragu dengan jawaban yang akan diberikan.

Mengikuti akhlak Imam Malik yang pengetahuan tentang agama tidak diragukan lagi, Beliau terbiasa dengan jawaban “Saya Tidak Tahu” dan Beliau nyaman dengan jawaban tersebut. Bisa jadi pertanyaan yang diajukan kepada Imam Malik adalah hal-hal yang berhubungan dengan hakikat yang Beliau sendiri tidak berani menjawabnya, khawatir jawaban Beliau salah.

Di dalam Tarekat, seorang murid di ajarkan untuk bertanya dalam hati terhadap apa yang tidak diketahui, kemudian dia berdzikir memohon jawaban dari Allah SWT. Biasanya aka nada jawaban, baik berupa bisikan, langsung dari Gurunya atau dari orang lain. Itulah jawaban yang sebenarnya dia perlukan. Sering kali kita bertanya tentang sesuatu yang tidak kita perlukan.

Di awal saya berguru, sebagai orang yang telah terbiasa dengan syariat dan sangat awam tentang tarekat, banyak sekali pertanyaan yang muncul dalam kepala saya. Saya menganggap orang tarekat itu adalah orang bodoh yang tidak paham tentang agama, minim dalil-dalil dan tidak berfikir kritis. Lama hati saya bombing, antara meneruskan berguru atau keluar dari tarekat. Syukur Alhamdulillah, karunia dari Allah SWT membuka hijab yang paling halus dalam diri saya yaitu hijab ilmu, merasa pandai tetapi sebenarnya bodoh.

Di awal berguru, banyak pertanyaan yang saya ajukan langsung kepada Guru, Beliau hanya menjawab sedikit, selebihnya Beliau menjawab, “Saya Tidak Tahu”. Saya tersadar bahwa cara saya berguru salah adalah ketika Beliau menjawab pertanyaan salah dengan mengutip ucapan dari Imam al-Ghazali, “Tidak semua pertanyaanmu harus ku jawab, biarlah engkau akan tahu sendiri”.

Bersambung…

9 Comments

  • iodi

    iya saya merasakan hal itu selama medalami tasawuf, pelan-pelan pertanyaan2 dalam diri terbuka dengan sendirinya dan saya malah senyum-senyum sendiri, betapa bodohnya diri ini ketika ternyata pertanyaan-pertanyaan itu terjawab dengan sendirinya. 🙂

  • Ruslianto

    Ass.
    hm,..benar juga. akhirnya semua pertanyaan-pertanyaan saya coba salurkan (ditata) dalam sanubari yg dalam penuh tatakrama dan adab,… ternyata,.. alhamdulillah, (teringat doeloe) pada suatu kesempatan, saat Beliau memberikan fatwa-nya,…tergambar senyumnya yang khas,..dan menjawab pertanyaan (dalam hati) saya dan dijawab langsung dalam fatwa Beliau secara lisan. dan selesai /pulang kala itu saya pun senyum-senyum sendiri, dan pernah ditegur oleh seseorang ; “kok senyum-senyum bang?” saya jawab, “pertanyaan saya dijawab Ayahanda Guru”,…
    Dalam hati saya kala itu, mungkin “pertanyaan” nya masih dalam level “boleh” dijawab, karena level boleh dijawab-pun ada jenisnya juga,.. ada level yg wajib pula memakai metode “ayat najwa,..” Lihat Al Qur’an Suraah Al-Mujadillah ayat 12,…. Yang pertama memanfaat suraah An Najwa (ini) adalah Sayyidina Ali bin Abi Thalib,..Beliau 10 X bertanya dan 10 X pula bersedekah.
    Nah, ini yg menarik,..ada “masukkan” dari Bang Sufi Muda, jika bertanya dengan sekali duduk 6 jam, Insya Allah Mursyid,.menjawab. Benar-kan Bang ? tolong tekhniknya Bang SM. ,..jika boleh?
    Wass.

    • SufiMuda

      Wa’alaikum salam.
      “Sebelum berbisik kepada Rasul maka dahulukan sedekah…”.
      sedekah itu bertingkat:
      Sedekah harta (uang dll)
      Sedekah amalan (dzikir)
      Sedekah badan (ubudiah, merawat surau dll)
      Sedekah Nyawa (puasa).

      Kalau pertanyaan bersifat sangat khusus tentu harus di iringin dgn sedekah khusus juga.

      Amalan zikir 6 jam ini merujuk kepada peristiwa israk mikraj, proses nya 6 jam.
      Artinya kalau ingin bermunajat, ber mikraj, menanyakan sesuatu yg sangat penting, harus mengikuti proses itu, 6 jam.
      Jenis zikir nya spt yg di ajarkan Guru, cuma jumlahnya di perbanyak sehingga dzikir nya jadi lama.

      Dzikir 6 jam di iringi dgn puasa hasilnya akan beda.
      Sedekah nyawa, kalau nyawa diberikan maka Tuhan akan menggantikan dgn nyawa yg baru yg lebih baik 🙂
      Demikian

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: