Pemikiran

Pakaian-2

Sehubungan dengan ini, kitab-kitab hadis telah meriwayatkan bahwa suatu ketika beliau (Nabi) mengenakan pakaian sempit dan pada kesempatan lain memakai pakaian longgar. Demikian juga dengan para sahabat dan tabi’in. Tidak pernah dalam riwayat bahwa Nabi saw, serta para sahabat dan tabi’in, baik laki-laki maupun perempuan memilik pakaian dengan model atau bentuk tertentu.

Agama tidak menjelaskan bentuk dan potongan pakaian serta caranya menutupi tubuh, karena dianggap salah satu urusan dunia yang diketahui berdasarkan kebutuhan, pengalaman dan adat istiadat. Pada suatu hari, Imam Ahmad bin Hanbal melihat seseorang mengenakan pakaian bergaris-garis putih hitam, maka mengatakan, “Tinggalkan ini dan ganti dengan pakaian warga daerahmu.” Kemudian lanjutnya, “Ini bukan kerena haram. Seandainya kamu sedang berada di Mekkah atau Madinah, maka aku tidak akan mempermasalahkan.”

Apa yang disepakati oleh masyarakat terkait dengan jenis pakaian dan bentuk pakaian, selama masih dalam cakupan kaidah umum pakaian syariat, yakni : (Tidak menggambarkan bentuk tubuh, tidak tembus pandang, dan tidak menyingkap) serta tidak termasuk pakaian syuhrah (Kemasyuran; mengundang perhatian) maka hukumnya boleh.

Berusaha mengenakan model pakaian yang sesuai dengan zaman termasuk tatakrama asal bukan dosa, sedangkan berusaha untuk berpakaian beda termasuk salah satu jenis syuhrah  dan memisahkan diri.

Ada sejumlah hadis yang mencela pakaian syuhrah, yaitu yang diriwayatkan dari Ibnu Umar dari Nabi saw bahwasanya Beliau bersabda :

Barangsiapa mengenakan baju syuhrah di dunia, Allah akan memakai baju kehinaan kepadanya pada hari Kiamat”.

Juga dalam riwayat lain dari Ibnu Umar juga, Nabi saw bersabda :

Barangsiapa mengenakan baju syuhrah di dunia, Allah akan memakaikan baju kehinaan kepadanya pada hari Kiamat, kemudian dikobarkan padanya”.

Dan dari Abu Dzar, Nabi saw bersabda :

Barangsiapa mengenakan baju syuhrah Allah akan berpaling darinya hingga menanggalkannya ketika dia menanggalkannya”.

Hadis-hadis ini menunjukkan keharaman mengenakan pakaian syuhrah, namun tidak menentukan jenis pakaian tertentu, tetapi bisa terjadi dengan dikenakannya pakaian yang berbeda dengan yang biasa dipakai oleh masyarakat sehingga mendapatkan celaan karena menyalahi adat istiadat setempat yang berlaku.

Pendapat Prof. Dr. Ali Jum’ah tentang pakaian di atas menarik untuk direnungi dan saya teringat dengan sahabat yang memakai jubah dan surban, di setiap tempat dan waktu sehingga sudah menjadi seperti pakaian dinas. Bagi dia itu sudah merupakan bagian dari sunnah Nabi, tapi ada hal yang dilupakan bahwa Nabi sendiri menganjurkan untuk berpakaian menurut adat istiadat setempat sehingga tidak menyolok pandangan mata. Memakai pakaian yang berbeda dengan masyarakt setempat justru itu bagian dari  apa yang disebut Nabi sebagai pakaian syuhrah yang mendapat ancaman neraka dan Allah berpaling darinya.

Bagi masyarakat yang tinggal di tanah Arab, tentu saja jubah dan surban itu merupakan pakaian yang dianggap sesuai dengan adat istiadat setempat, tapi bagi kita di Indonesia maka pakaiannya adalah yang cocok dengan budaya Indonesia. Indonesia mempunyai kelembaban tinggi, berbeda dengan Arab yang mempunyai kelembaban rendah.

Tentang pakaian, Guru saya adalah teladan yang bisa dijadikan contoh. Beliau juga memakai jubah, tapi itu dilakukan hanya dalam hal-hal bersifat ibadah, di dalam Mesjid, dalam acara suluk/I’tikaf atau acara-acara khusus. Kalau berpergian, naik pesawat misalnya, Beliau menggunakan pakaian yang umum di pakai, menggunakan celana dan baju kemeja. Beliau selalu ingin tampil seperti masyarakat umum, tidak mau berpenampilan mencolok sehingga dianggap asing oleh orang lain.

Bersambung…

2 Comments

  • arkana

    terima kasih untuk artikel ini Bang…
    buat saya, apa yg dicontohkan Guru, seperti yang Abang paparkan ini:
    “…..Guru saya adalah teladan yang bisa dijadikan contoh. Beliau juga memakai jubah, tapi itu dilakukan hanya dalam hal-hal bersifat ibadah,…..Beliau selalu ingin tampil seperti masyarakat umum, tidak mau berpenampilan mencolok…..”

    tetap menjadi tolok ukur saya dan mengubah persepsi saya ttg cara berpakaian.
    awalnya saya berpikir cara berbusana Guru itu sama saja dg para kyai pada umumnya. berjubah, sorban, gamis, dsbnya.
    tapi justru saat saya bertemu Guru, pakaian yg dikenakan nya baju safari putih dan peci. berbeda sekali dg figur yang saya bayangkan di foto nya saat itu….

Tinggalkan Balasan

%d blogger menyukai ini: