Tasauf

Syahadat Saridin

Oleh : Ehma Ainun Najib

Waktu yang diminta oleh Saridin untuk mempersiapkan diri telah dipenuhi. Dan kini ia harus membuktikan diri. Semua santri, tentu saja juga Sunan Kudus, berkumpul di halaman masjid.

Dalam hati para santri sebenarnya Saridin setengah diremehkan. Tapi setengah yang lain memendam kekhawatiran dan rasa penasaran jangan-jangan Saridin ternyata memang hebat.

Sebenarnya soalnya di sekitar suara, kefasihan dan kemampuan berlagu. Kaum santri berlomba-lomba melaksanakan anjuran Allah, Zayyinul Qur’an ana biashwatikum – hiasilah Qur’an dengan suaramu.

Membaca syahadat pun mesti seindah mungkin.

Di pesantren Sunan Kudus, hal ini termasuk diprioritaskan. Soalnya, ini manusia Jawa Tengah: lidah mereka Jawa medhok dan susah dibongkar. Kalau orang Jawa Timur lebih luwes. Terutama orang Madura atau Bugis, kalau menyesuaikan diri dengan lafal Qur’an, lidah mereka lincah banget.

Lha, siapa tahu Saridin ini malah melagukan syahadat dengan laras slendro atau pelog Jawa.

Tapi semuanya kemudian ternyata berlangsung di luar dugaan semua yang hadir. Tentu saja kecuali Sunan Kudus, yang menyaksikan semua kejadian dengan senyum-senyum ditahan.

Ketika tiba saatnya Saridin harus menjalani tes baca syahadat, ia berdiri tegap. Berkonsentrasi. Tangannya bersedekap di depan dada. Matanya menatap ke depan. Ia menarik napas sangat panjang beberapa kali. Bibirnya umik-umik [komat-kamit] entah membaca aji-aji apa, atau itu mungkin latihan terakhir baca syahadat.

Kemudian semua santri terhenyak. Saridin melepas kedua tangannya. Mendadak ia berlari kencang. Menuju salah satu pohon kelapa, dan ia pilih yang paling tinggi. Ia meloncat. Memanjat ke atas dengan cepat, dengan kedua tangan dan kedua kakinya, tanpa perut atau dadanya menyentuh batang kelapa.

Para santri masih terkesima sampai ketika akhirnya Saridin tiba di bawah blarak-blarak [daun kelapa kering] di puncak batang kelapa. Ia menyibak lebih naik lagi. Melewati gerumbulan bebuahan. Ia terus naik dan menginjakkan kaki di tempat teratas. Kemudian tak disangka-sangka Saridin berteriak dan melompat tinggi melampaui pucuk kelapa, kemudian badannya terjatuh sangat cepat ke bumi.

Semua yang hadir berteriak. Banyak di antara mereka yang memalingkan muka, atau setidaknya menutupi wajah mereka dengan kedua telapak tangan.

Badan Saridin menimpa bumi. Ia terkapar. Tapi anehnya tidak ada bunyi gemuruduk sebagaimana seharusnya benda padat sebesar itu menimpa tanah. Sebagian santri spontan berlari menghampiri badan Saridin yang tergeletak. Mencoba menolongnya. Tapi ternyata itu tidak perlu.

Saridin membuka matanya. Wajahnya tetap kosong seperti tidak ada apa-apa. Dan akhirnya ia bangkit berdiri. Berjalan pelan-pelan ke arah Sunan Kudus. Membungkuk di hadapan beliau. Takzim dan mengucapkan, sami’na wa atha’na -aku telah mendengarkan, dan aku telah mematuhi.

Gemparlah seluruh pesantren. Bahkan para penduduk di sekitar datang berduyun-duyun. Berkumpul dalam ketidakmengertian dan kekaguman. Mereka saling bertanya dan bergumam satu sama lain, namun tidak menghasilkan pengertian apa pun.

Akhirnya Sunan Kudus masuk masjid dan mengumpulkan seluruh santri, termasuk para penduduk yang datang, untuk berkumpul. Saridin didudukkan di sisi Sunan. Saridin tidak menunjukkan gelagat apa-apa. Ia datar-datar saja.

“Apakah sukar bagi kalian memahami hal ini?” Sunan Kudus membuka pembicaraan sambil tetap tersenyum. “Saridin telah bersyahadat. Ia bukan membaca syahadat, melainkan bersyahadat. Kalau membaca syahadat, bisa dilakukan oleh bayi umur satu setengah tahun. Tapi bersyahadat hanya bisa dilakukan oleh manusia dewasa yang matang dan siap menjadi pejuang dari nilai-nilai yang diikrarkannya.”

Para santri mulai sedikit ngeh, tapi belum sadar benar.

“Membaca syahadat adalah mengatur dan mengendalikan lidah untuk mengeluarkan suara dan sejumlah kata-kata. Bersyahadat adalah keberanian membuktikan bahwa ia benar-benar meyakini apa yang disyahadatkannya. Dan Saridin memilih satu jenis keberanian untuk mati demi menunjukkan keyakinannya, yaitu menjatuhkan diri dari puncak pohon kelapa.”

Di hadapan para santri, Sunan Kudus kemudian mewawancarai Saridin: “Katamu tidak takut badanmu hancur, sakit parah atau mati karena perbuatanmu itu?”

“Takut sekali, Sunan.”

“Kenapa kamu melakukannya?”

“Karena syahadat adalah mempersembahkan seluruh diri dan hidupku.”

“Kamu tidak menggunakan otakmu bahwa dengan menjatuhkan diri dari puncak pohon kelapa itu kamu bisa cacat atau meninggal?”

“Aku tahu persis itu, Sunan.”

“Kenapa kau langgar akal sehatmu?”

“Karena aku patuh kepada akal sehat yang lebih tinggi. Yakni bahwa aku mati atau tetap hidup itu semata-mata karena Allah menghendaki demikian, bukan karena aku jatuh dari pohon kelapa atau karena aku sedang tidur. Kalau Allah menghendaki aku mati, sekarang ini pun tanpa sebab apa-apa yang nalar, aku bisa mendadak mati.”

“Bagaimana kalau sekarang aku beri kau minum jamu air gamping yang panas dan membakar tenggorakan dan perutmu?”

“Aku akan meminumnya demi kepatuhanku kepada guru yang aku percaya. Tapi kalau kemudian aku mati, itu bukan karena air gamping, melainkan karena Allah memang menghendaki aku mati.”

Sunan Kudus melanjutkan: “Bagaimana kalau aku mengatakan bahwa tindakan yang kau pilih itu memang tidak membahayakan dirimu, insya Allah, tetapi bisa membahayakan orang lain?”

“Maksud Sunan?”

“Bagaimana kalau karena kagum kepadamu lantas kelak banyak santri menirumu dengan melakukan tarekat terjun bebas semacam yang kau lakukan?”

“Kalau itu terjadi, yang membahayakan bukanlah aku, Sunan, melainkan kebodohan para peniru itu sendiri,” jawab Saridin, “Setiap manusia memiliki latar belakang, sejarah, kondisi, situasi, irama dan metabolismenya sendiri-sendiri. Maka Tuhan melarang taqlid, peniruan yang buta. Setiap orang harus mandiri untuk memperhitungkan kalkulasi antara kondisi badannya dengan mentalnya, dengan keyaknannya, dengan tempat ia berpijak, serta dengan berbagai kemungkinan sunatullah atau hukum alam permanen. Kadal jangan meniru kodok, gajah jangan memperkembangkan diri seperti ular, dan ikan tak usah ikut balapan kuda.”

“Orang memang tak akan menyebutmu kadal, kuda, atau kodok, melainkan bunglon. Apa katamu?”

“Kalau syarat untuk terhindar dari mati atau kelaparan bagi mereka adalah dengan menyebutku bunglon, aku mengikhlaskannya. Bahkan kalau Allah memang memerintahkanku agar menjadi bunglon, aku rela. Sebab diriku bukanlah bunglon, diriku adalah kepatuhanku kepada-Nya.”

Sumber : Pustaka Online Media ISNET

 

30 Comments

  • Purwahedi

    Wooouuu……..OK juga cak EMHA, terus nulis disini cak.
    Ya, kita jangan “swarga nunut neraka katut”, betul kan cak.

  • omiyan

    hhmm cerita yang menarik dan memang ketika kita meyakini akan ajaran islam sebagiknya kita yakin apa yang perintahkan dan dilarang oleh Allah SWT

  • yudistira

    barangkalikalo belumtahu ilmunya dgn benar, sebaiknyaibadah yg dilakukanoleh para nabijgn ditiru,ntar bukannya dpt rahmat malah laknat

  • suluk 1

    malu juga jadinya pandai ngomong sj belum pandai uji syahadat, uji ‘audhbillahiminassyaitonirrojim dll. kalah sam pendekar bodo kayak kang saridin

  • Santri Gundhul

    Hmmm…..
    Sungguh sindenan dari Kyai Mbeling yang syarat dengan MAKNA saudaraku SUFI MUDA.

    Berguru memang perlu…Ber MURSYID memang diharuskan bagi umat manusia. Namun lagi-lagi jarang sekali si Salik yang bisa MEMAHAMI akan Hakekat MURSYID. Kepatuhan terhadap SOSOK FISIK membuat si Salik menjadi GEDHE RUMONGSO yang justru berakhir dengan pola PENGKULTUSAN terhadap sosok sang Guru/MURSYID. Inilah yang dinamakan berguru tetapi tidak pandai menjaga nama baik Guru akibat sikap TAQLID buta.

    Salam CINTA DAMAI ~ 513

  • mukhtar alfaqir

    @ Untuk kyai mbeling alias cak Nun …,kang Saridin mbaca “syahadat Tunggal kali…! salam utk komentator2 para wali yg tidak memakai baju kewalian….!

  • zal

    ::bagaimana membedakannya dengan tindakan seperti mereka yang bergaris keras, bukankah mereka juga bertindak lantaran syahadat yang diketahuinya …,

    seandainya ukuran kualitas standar Allah mudah terlihat… 🙁

    • iseng

      kalo bingung mas ya…berarti ragu…ya kalo ragu diam aja mas jadi penonton kan asik tuh …. bisa belajar sambil dapat hiburan………heheehehehehehe….

      ALKISAH
      suatu saat saya pernah bertemu seseorang bapak diwarung kopi. waktu itu hari pertama serangan amerika ke irak……… setiap sudut dan meja membicarakan masalah itu dengan segala argumennya…… tumbennya hanya meja saya dan orangtua itu saja yang diem seribu bahasa ….. maklum waktu itu saya lagi nunggu teman tuk suatu urusan….. bukan lagi zikir lho…hehehehehe……

      karena merasa lebih muda maka saya mencoba menegur orang tua itu dengan mengajukan pertanyaan :

      saya: kalo menurut bapak bagaimana mengenai serangan amerika ke irak itu???

      si bapak : ngapain kita urusi masalah itu???

      jawab saya: maap saya kira bapak islam juga… apa tidak marah dengan tindakan amerika itu????

      si bapak kembali bertanya: eh, sodara pernah dengar MALAIKAT SAMA MALAIKAT BERKELAHI????….SETAU BAPAK YANG BERKELAHI ITU SETAN DENGAN SETAN.!!!!!!

      sambil lalu dengan santainya bapak itu mengambil gelasnya dan menghabiskan minumannya disertai salam pamit pada saya yang salah tingkah akibat tidaK MENDAPAT RESPON DENGAN BAIK……

      beberapa saat kemudian saya tersenyum . BENAR JUGA SI BAPAK… saya yang melihat zahir, status, golongan dan jabatan ikut terperangkap ngurusin perbuatan setan……untunglah ada bapak itu… makasih ALLAH atas kedatangan utusanMU……

      wassalam

  • mromi

    Dulu sering ngedengerin Tokoh Saridin ini di serial ketoprak jawa… sangat menarik …
    sayang di ibukota , nggak ada yang nyiarin …

  • kafilah sufi

    subhannallah…
    smoga kita dapat mengambil hikmah yang tersuruk bahkan lebih tersuruk lagi dari kisah yang mengagungkan dua kalimat syahadat sehingga kita dapat sampai ke taraf haqqul yakin

  • sandi

    subhanallah …Allahu Akbar……….. mengenai keimanan, ketaqwaan dan keikhlasan kita mesti banyak merenung serta bertafakur

  • Irfan

    GOOD Article,
    Teringat ucapan Dari Maha Guru
    Walaupun dari mulut anak kecil sekalipun, kalau udah betul pasti Tuhan disitu

  • paijo

    Hati-hati untuk mencerna suatu kisah yang menggambarkannya dengan kiasan.

    Jangan coba-coba untuk terjun dari atas pohon kelapa walau anda telah yakin dengan 2 kalimat syahadat.

    Tapi…yang sering ditiru orang kok banyak yg mau terjun dari atas Menara Sutet, apa mereka juga mau seperti Saridin ya…..

  • kriyonagoro

    dumununging gusti aning siro pribadi lamun siro tansah eling…
    sing eling iku lamun nampi pepadang…
    duh…mas saridin mugi-2 sampeyan nampi kanugrahan saking gusti ingkang maha welas lan maha asih…
    semanten ugi panjenengan ingkang niat sinau kados mas saridin…
    NUWUN…

Tinggalkan Balasan ke AriaBatalkan balasan

Eksplorasi konten lain dari Sufi Muda

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca