Tasauf,  Tokoh Sufi

Mengenal Diri dan Keheranan Jalaluddin Rumi

Jangan puas dengan kisah-kisah,

Tentang apa yang telah terjadi dengan orang lain.

Sibak mitos dirimu sendiri.

Kenali dirimu, alami sendiri, agar kau kenali Tuhanmu.

Baris kalimat diatas adalah penggalan puisi Jalaluddin Rumi, seorang penyair sufi terkenal yang lahir  tanggal 30 September 1207 Masehi di Samarkand. Rumi mengalami pencerahan setelah berjumpa dengan Syamsuddin dari Tabriz dan kemudian menjadi Guru Mursyidnya untuk menyempurnakan segala ilmu yang pernah dicapai oleh Rumi. Puisi-puisi Rumi sebagian besar bertema tentang mengenal diri dan cinta, dua hal yang sangat pokok didalam penempuh jalan kepada-Nya.

Rumi mengkritik orang-orang yang hanya berpuas diri dengan apa yang dia baca tanpa sampai kepada hakikat bacaan tersebut. Orang yang membaca buku tentang indahnya samudera tidak sampai kepada memandang samudera apalgi menyentuh air samudera. Maka pengetahuan apapun yang belum bisa dibuktikan secara nyata itu hanya sebuah mitos dan dogma.

Sama hal nya dengan pengetahuan tentang agama yang harus dilakukan uji coba (riset) sehingga apa yang dipelajari itu menjadi terbukti. Nabi menyebutnya dengan amal, siapa yang mengetahui ilmu tanpa mengamalkan itu sama dengan sia-sia. Mengamalkan kalau kita uraikan lagi terbagi menjadi uji coba dan pembuktian. Ilmu yang tidak bisa dibuktikan akan menjadi dogma, hanya sekedar diyakini bahkan diyakini dengan cara dipaksa.

Orang dipaksa atau terpaksa melakukan puasa, didaerah tertentu aturan ini sangat ketat bahkan sampai berujung penjara orang untuk orang-orang yang melanggar. Orang yang berjualan disiang hari ditangkap dengan tujuan agar orang yang berpuasa menjadi nyaman. Puasa jenis anak-anak ini tentu saja yang paling banyak dimasyarakat karena bersifat dipaksa dan terpaksa. Meyakini itu sebuah aturan agama tanpa sampai ke tahap intisarinya nanti wujudnya adalah keterpaksaan.

Tidak mengherankan memang di daerah yang terlalu memaksa pemeluk agama untuk menjalankan ritual ibadah dibawah ancaman hukum berunjung kepada pemberontakan baik secara langsung maupun tidak langsung. Di Arab Saudi, sebanyak 5 persen dari penduduknya menyatakan bahwa dirinya adalah ateis. Ini berarti jumlah penduduk ateis di negara yang menjadikan Alquran dan sunnah Rasul sebagai konstitusinya itu mencapai 1,4 juta orang. Hal menarik adalah jumlah populasi atheis di Saudi Arabia sama dengan jumlah di Amerika Serikat, negara yang kita kenal sebagai penganut paham sekuler.

Selain Saudi, Palestina, dan Irak, fenomena ateisme di Timur Tengah juga terdapat di Mesir. Dilansir BBC, sebuah surat kabar bernama al-Sabah yang berbasis di Kairo pernah mengklaim bahwa terdapat 3 juta penduduk Mesir yang merupakan ateis. Media tersebut menyebut, para pengkhotbah ekstrem justru “membuat orang-orang takut dan membuat mereka kabur dari agama”. (sumber: kumparan.com)

Konsep agama secara ekstrem dan dipaksakan tentu saja berujung kepada pembentukan pribadi yang kasar, keras hati dan merasa benar sendiri yang membuat Islam semakin terpecah pecah dan lemah. Konsep ini lahir dari pribadi yang belum benar-benar merasakan hakikat dari beragama, sampai kepada intisari beragama itu sendiri.

Mereka bertindak berdasarkan ego pribadi dan ego atas nama agama (padahal itu juga ego). Mereka seolah olah menjadi wakil Tuhan untuk menghakimi penganut agama, ini boleh dan ini tidak boleh. Siapapun yang berbeda pandangan dengan mereka langsung dituduh sesat dan kafir, inilah penyakit beragama yang sudah ada sejak zaman dulu.

Terhadap sikap orang-orang tersebut, Jalaluddin Rumi dengan heran bertanya :

“Jika ilmu pengetahuan dan logika membuat orang semakin pandai dan cerdik, mengapa pada saat yang sama menimbulkan permusuhan? Mengapa orang beriman itu berpikiran sempit dan banyak melakukan penyimpangan? Apakah pandangan sempit merupakan sifat dan ciri para pendiri agama besar? Apa sebenarnya nilai kitab suci bagi orang beriman? Apakah hanya untuk dibaca dengan suara merdu dan tidak untuk ditafsirkan dalam rangka menjawab realitas kehidupan? Mengapa orang beriman yang tahu isi kitab suci itu gagal dalam tindakan dan muamalah?

Keheranan Rumi itu nampaknya terus berlanjut sampai zaman sekarang dimana praktek-praktek agama tanpa sampai ketahap inti sari mendominasi jumlah penganut agama. Orang lebih senang memperbesar egonya di dalam beragama tanpa mau belajar ke tahap mengenal diri sehingga dia sampai kepada mengenal sosok dibalik dirinya itu.

Rasulullah SAW dengan tegas mengatakan bahwa Siapa yang mengenal dirinya akan mengenal Tuhannya, artinya agama ini diturunkan dasarnya adalah mengenal diri agar bisa mengenal Tuhannya. Diri yang dimaksud tentu saja bukan fisik yang terlihat namun sesuatu yang tidak terlihat. Untuk mengenal diri yang tidak terlihat itu harus ada Pembimbing Yang Sempurna agar tahap mengenal itu bisa dicapai dengan sempurna.

Untuk mengenal diri fisik kita saja harus ada cermin di depan agar kita bisa memandang dan mengenalnya. Untuk mengenal diri yang tersembunyi itu lebih rumut lagi, maka Guru Mursyid lah sebagai cermin kita agar diri yang tersembunyi itu terlihat.

Maka Hamzah Fanshuri, Sang Penyair Sufi memberi nasehat, “Kenalilah DIRI agar menjadi berarti”. Rumi pun dengan hal senada menulis Kenali dirimu, alami sendiri, agar kau kenali Tuhanmu.

2 Comments

Tinggalkan Balasan

Eksplorasi konten lain dari Sufi Muda

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca