Tasauf

MELAWAN EGO (Bag. 2)

Jika kita tidak mampu melawan diri sendiri (boleh disebut setan dalam diri) maka sampai kapan pun akan menjadi kalah dan tidak bisa melakukan perjalanan kepada-Nya. Adam yang sudah sampai dengan selamat kehadirat-Nya pun bisa terusir kembali konon lagi kita manusia yang belum pernah sampai kesana, tentu lebih mudah lagi tergelincir. Adam itu digoda setan bukan di mall atau di kafe tapi di Surga yang dipenuhi Malaikat, maka manusia yang hidup di dalam dunia ini pun lebih mudah dijatuhkan oleh Iblis dan bala tentaranya.

Maka Islam mempunyai lapisan-lapisan untuk memproses diri itu bisa menjadi sempurna. Kita memulai dengan  Syariat atau Fiqih yang berisi hukum atau aturan yang banyak untuk mengatur manusia agar tidak bertindak sekehendak hatinya. Bagi anak-anak sangat diperlukan aturan-aturan karena diri mereka memang belum dewasa. Ketika SD kita mengenal jam belajar, masuk jam 7.30 pulang siang jam 14.00, tidak boleh masuk sekolah suka hati sebagaimana Mahasiswa yang belajar di Universitas. Jika aturan itu tidak dibuat maka Jiwa Rendah (Hawa Nafsu) senantiasa melakukan pelanggaran dan kesalahan. Tahap awal beragama (syariat/fiqih) di isi dengan reward (surga) dan punishment (Neraka) agar orang-orang mau melaksanakannya, tujuan adalah jasmani manusia itu selamat. Tidak saling membunuh, saling mencela dan tidak terjadi kekacauan di dunia ini.

Setelah mengerti hukum-hukum lewat fiqih maka jiwa manusia itu menjadi mengerti hukum/aturan (Lawwamah) walau kadang-kadang diluar kesadarannya masih suka melanggar. Maka terjawab pertanyaan kenapa orang yang rajin shalat dan rajin ibadah justru korupsi dan parahnya lagi korupsinya sangat syariah yaitu korupsi cetak al-Qur’an. Nafsu Lawwamah tidak akan membuat manusia ke surga karena yang dipanggil oleh Allah adalah Jiwa yang Tenang (Nafsul Mutmainnah).

Maka manusia harus mempunyai seorang Pembimbing untuk mengajarkan bagaimana cara melaksanakan aturan agama bukan sekedar ibadah gerak badan saja tapi sampai kepada ruhaninya. Maka Belajar Tarekat itu adalah awal ruhani manusia diajarkar agama, di ajarkan Kalimah Allah langsung kepada rohaninya. Mulai lah manusia secara bertahap menapaki jalan Spiritual sampai dia mengenal Allah.

Maka pelajaran di tarekat itu bukan lagi pelajaran akal itulah sebabnya tidak diajarkan lagi kitab-kitab, ilmu tafsir dan sebagainya tapi diajarkan cara berzikir menyebut nama Allah sebagaimana Muhamamad SAW diajarkan oleh Jibril. Jika di pasantren yang ada pengajaran tarekat dibawah bimbingan Mursyid masih ada mengajarkan fiqih itu hanya kelengkapan saja. Bisa saja seorang Mursyid mengisi kegiatan murid nya dengan ilmu-ilmu universitas bahkan zaman dulu ada Guru Mursyid mengajarkan Muridnya ilmu-ilmu bela diri, sesuai dengan kebutuhan zaman.

Di dalam bimbingan tarekatlah jiwa kita bisa mencapai Hakikat (al-Haqq) sehingga bisa merasa kehadiran Allah di dalam setiap langkah, setiap gerak dalam kondisi apapun dan dimanapun dari hayat di kandung badan sampai akhir masa.

Ketika telah merasakan kehadiran Allah di dalam hati baru lah manusia secara haqqul yaqin mencapai tahap makrifat sehingga tidak ada was was sedikitpun tentang hakikat Allah, tidak ada pertanyaan dikepalanya, tidak ada keraguan walau sebesar biji sawi. Hal ini tidak akan bisa didapat lewat membaca tapi harus digenggam tangannya oleh Guru dibawah kehadirat Allah SWT. Abu Yazid al Bisthami ketika ditanya tentang Makrifat, Beliau menjawab, “Tidak ada keraguan sedikitpun yang ku saksikan adalah Allah”. Abu Yazid telah berada di dalam kesempurnaan Tauhid dan Kesempurnaan Makrifat.

Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.” (QS. Al-Fajr: 27-30).

Ayat itu berlaku ketika kita masih hidup bukan menunggu sudah menjelang ajal. Kalau menungu menjelang ajal itu namanya spekulatif (untung-untungan), iya kalau di panggil, kalau tidak bagaimana?

Maka panggilan itu harus kita rasakan lewat latihan (mujahadah) terus menerus sampai kita kehadirat yang memanggil. Maka di dalam Tawajuh senantiasa ditutup dengan bacaan Surat Al-Fajr 27-30, agar jiwa kita senantiasa terlatih dan senantiasa dengan panggilan.

Ummat Islam yang tidak menemukan metode yang dipakai oleh Rasulullah SAW akan terjebak dengan ajaran-ajaran luar Islam yang menceritakan tentang pelatihan ego yang ujung-ujungnya justru memperbesar ego itu sendiri. Kita harus mengambil pelatihan langsung dari Mursyid yang bisa mengkonfirmasi setiap tindakan kita sehingga senantiasa terbimbing, tidak menurut selera kita. Kita tidak lagi terjebak kepada “kebaikan”, “Ketulusan” yang masih mudah sekali dihidangkan oleh kelompok Iblis. Kita harus bisa membedakan antara akhlak dan budi pekerti, antara Adab dan Kesopanan yang perbedaan keduanya terpisah jauh oleh CAHAYA ALLAH. Ketika Cahaya Allah tidak ada maka Akhlak berubah menjadi budi perkerti atau kebaikan yang baik menurut standar manusia belum tentu baik dan diterima oleh Allah karena Allah itu hanya menerima unsur dari diri-Nya sendiri.

Ego itu sampai kapanpun akan tetap melawan dan tidak mau dilatih agar mencapai tahap pencerahan. Atas alasan inilah disemua agama sedikit sekali penganutnya yang serius menapaki jalan spiritual secara khusus. Dari sekian banyak pengikut Budha, segelintir saja yang serius mengikuti jalan Budha secara serius sebagaimana yang telah dijalankan Budha dan terbukti mendapat pencerahan. Mereka hanya kaum sedikit yang kita kenal sebagai biksu. Pengamal kristen dan yahudi pun begitu, tidak terkecuali Islam, hanya sedikit sekali yang mau dengan sungguh-sungguh melawan dirinya.

Manusia dengan berbagai alasan akan menolak Tarekat yang pada hakikatnya ego manusia itu sendiri yang menolak dan mengajak manusia untuk tidak berubah. Jika di alam ruh, seluruh manusia itu mengenal Allah maka setelah tinggal di alam dunia, tugas utama kita hanya satu yaitu bagaimana cara kita bisa kembali kepada Allah SWT dengan selamat sebagaimana ruh kita di dalam ruh terdahulu.

Maka Tarekat (Thareqatullah) adalah metodologi bagamana cara ruhani kita bisa kembali ke alam diaman kita berasal, kembali kehadirat Allah SWT, senantisa kita bersama-Nya, itulah Hakikat Kebahagiaan manusia. Karena ruhani tidak terikat oleh jasad bisa masuk ke dimensi lain tanpa merusak jasad, lalu kenapa kita harus menunggu diri mati baru kita kembali kesana? Ruhani itu harus dilatih bisa bolak balik kesana sehingga ketika masa hidup telah selesai tinggal berangkat dengan damai dan selamat tanpa kembali lagi ke jasad.

Kita kembali kepada-Nya sejak hidup berulang kali dengan panggilan-Nya yang lembut, masuk kita ke dalam golongan hamba-Nya. Badan kita hidup sebagaimana manusia pada umumnya sementara ruhani kita senantisa bersama-Nya. Kita kembali kepada-Nya dalam Shalat (Mikraj), Dzikir, Puasa dan Ibadah lainnya. Maka gerak kita di hitung sebagai ibadah ketika kita sudah mencapai kepada kesadaran sebagai hamba dimana gerak kita sudah dibawah gerak Ilahi, itulah hakikat Hamba, saat itulah tidur pun kita dihitung ibadah. Jika tidur saja dihitung ibadah tentu minum kopi juga dihitung ibadah.

Bersambung…

One Comment

Tinggalkan Balasan

Eksplorasi konten lain dari Sufi Muda

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca