Tasauf

JANGAN MEMIKIRKAN HASIL

مِنْ عَلاَمِة الاِعْتِمِاد على العَمَلِ نُقْصانُ الرجَّاءِ عِند وَجُودِ الَّزلَل

“Tanda seseorang bergantung pada amal dan karyanya adalah bahwa dia akan cenderung pesimis, kurang harapan manakala dia mengalami kegagalan.” (Ibn ‘Athaillāh)

Di awal saya berguru, kira-kira baru 1 tahun, saya membawa seorang teman beragama Kristen Protestan kepada Guru saya. Sebelumnya sudah banyak diskusi yang saya lakukan dengan dia sampai kemudian tertarik dengan tarekat dan ingin berjumpa dengan Guru saya. Saya memperkenalkan dia kepada Guru dan setelah Guru ceramah kira-kira 15 menit, saya disuruh membawa kawan ini masuk ke dalam surau untuk diperlihatkan silsilah Tarekat Naqsyabandi. Silsilah ini menunjukkan bahwa dari Guru sekarang bersambung kepada Nabi Muhammad SAW.

Pada malamnya kebetulan malam Jum’at, selesai shalat Isya ketika ada jadwal menerima murid murid baru untuk belajar tarekat, saya berada di shaf depan langsung dihadapan Guru. Guru saya bertanya, “Kawan mu yang kristen itu mana?” saya kaget dan agak malu karena sebelumnya kawan tadi sudah mantab hatinya untuk masuk tarekat dan tentu sekaligus masuk Islam. Kemudian dengan suara pelan agak takut saya jawab, “Dia masih menimbang-nimbang Guru, agak berat dia meninggalkan agamanya”. Guru dengan senyum cerah berkata, “Jangan kau bersedih, kau sudah berhasil, tugasmu hanyalah berdakwah sedangkan masuk atau tidak dia itu urusan Allah”.

Bertahun-tahun saya menganggap ucapan Guru itu untuk menyenangkan hati saya dan juga agar saya tidak malu di depan jamaah lain. Tapi kemudian baru saya paham maksud dari BERHASIL itu. Ternyata berhasil itu bukan mendapatkan apa yang kita inginkan tapi melakukan apa yang ingin kita lakukan. Beliau Guru saya yang Mulia juga pernah berkata, “Jangan tanya kapan kambing yang kau pelihara itu besar, Beri saja makan, otomatis nanti kambing itu akan besar dengan sendirinya”.

Manusia pada umumnya terlalu berfokus kepada hasil sehingga ketika dia tidak berhasil melakukan sesuatu maka langsung putus asa dan menganggap itu sebuah kegagalan padahal cara Tuhan memandang berhasil atau tidak itu berbeda.

Musa A.S. ditugasi mengimankan Fir’aun, tetapi sampai akhir hayat Fir’aun tetap mati kufur. Semua upaya telah dilakukan Musa agar Fir’aun beriman, tetapi berakhir, “Lā ilāha,” di akhir hayat Fir’aun. Gagalkah Musa?

Nuh A.S. dengan misi banjir bandang bertujuan melenyapkan para pendurhaka Tuhan, tetapi apa misi ini berhasil? Sesudah kematian Nuh, kedurhakaan yang sama muncul di permukaan bumi. Saat ini pun, yang lebih bejat dari kaum Nuh lebih banyak. Gagalkah Nuh?

Yesus bertugas membawa agama cinta kasih, agama yang berlawanan gaya dengan agama Musa. Agama Musa menitikberatkan kepada hukum-hukum yuridis, berakhir sikap anti toleran di agama tersebut. Yesus diturunkan dengan sangat drastis mengurangi yuridisme agama Musa, Yesus membawa semangat kasih yang tinggi. Tetapi, Yesus sendiri berakhir di tiang salib, (versi Al-Qur’an diangkat ke langit, versi Alkitab, Yesus mati disalib). Bermisi kasih, berbuat kasih, berpikir kasih, itu misi Yesus, tetapi ia sendiri berakhir “tragis” tanpa kasih. Gagalkah Yesus?

Muhammad S.A.W. bermisi mengeluarkan manusia dari budaya barbar, budaya Jahiliyyah, budaya sukuisme, anarkhitiseme, sekterianisme. Bangsa Arab yang waktu itu menggemari konflik suku dan sekte oleh Muhammad S.A.W. disatukan dalam “Islam” menjadi satu rasa. Tetapi sekarang ini, budaya barbar bangsa Arab tersebut kambuh lagi. Perang, ngeyel, merasa paling benar, paling suci, meluluhlantakkan mereka. Gagalkah Muhammad?
Kalau Musa, Nuh, Yesus, Muhammad gagal, tentu Al-Qur’an enggan mencantumkan mereka sebagai manusia terpuji di dalam ayat-ayatnya. Ini artinya, Tuhan tidak memerintahkan Anda untuk berhasil, Tuhan memerintahkan Anda untuk usaha maksimal. Keringat Anda yang dinilai oleh Tuhan, bukan hasilnya.

Anda misalnya berdoa ingin mempunyai sebuah rumah senilai 1 Milyar dan kemudian terwujud apa yang anda impikan tersebut, apakah anda berhasil? Jawabannya belum tentu sebab kalau anda tahu hakikat materi yang terkandung di dalam rumah itu anda akan merasa bodoh memberi nilai rumah itu seharga Rp. 1 Milyar!

Ketika Anda mengasilkan satu unit rumah senilai 1 Milyar, saat itu sebenarnya Anda melompong. Dalam satu unit rumah tersebut tersusun dari materi-materi atom, setiap atomnya terdiri dari 99,999 % ruang kosong, sisanya 0,0001 % barulah ruang padat. Kalau rumah Anda senilai 1 M, berarti hasil materi padat Anda hanya Rp 0,000.000.0001. Uang ini buat beli sebutir debu? Hasil segini dijadikan pegangan, Anda bisa gila mendadak.

Itu baru kita bahas rumah yang materinya pada hakikatnya tidak ada sama sekali, belum lagi kita bahas yang lain. Saya sudah pernah menulis tentang Hyperealitas, dimana sebagian orang dibodohi untuk membeli tas harga milyaran padahal kulit buaya untuk membuat tas itu harganya tidak lebih Rp. 10 juta.

Fokus kita kepada berbuat, melakukan aktifitas bukan kepada hasil. Saya menulis tulisan di www.sufimuda.net ini sudah 12 tahun dan tidak mempunyai target apa-apa, hanya menulis saja, di baca atau tidak itu bukan hal penting. Tulisan saya dikutip sembarang oleh orang tanpa mencantumkan sumbernya juga tidak membuat saya marah karena semua tulisan saya ini juga pada hakikatnya bukan karya saya. Cuma kalau pengamal tarekat mengambil karya saya tanpa permisi, tanpa mencantumkan sumbernya kemudian dia menikmati hasil (mendapat pujian orang) di media sosial dan dia menikmatinya, saya sedih, Sedih karena sudah lama dia berguru masih juga belum beres dadanya, masih seperti orang yang belum menekuni tarekat yang masih haus akan pujian dan sanjungan.

Setelah tahu kita hakikat materi itu tidak berguna, hasil dalam bentuk pujian dan sanjungan itu juga tidak bermanfaat, lalu masihkah kita berfokus kepada hasil? Bukankah hasil itu adalah sepenuhnya hak dari Allah SWT, diberikan atau tidak urusan Dia semata.

Karena itu Ibnu Athaillah sangat memahami hakikat berhasil sehingga di dalam al Hikam Beliau menyampaikan nasehat seperti yang saya kutip di awal tulisan tadi, jangan terlalu berfokus kepada hasil nanti akan membuat dirimua kecewa dan berputus asa. Sama seperti kita berusaha mendekatkan diri kepada Allah, tugas kita hanya beribadah, berdzikir, bermujahadah sedangkan hasilnya sepenuhnya kehendak Allah SWT.

Mari kita lanjutkan hidup kita dengan penuh optimis, melakukan apa yang bisa kita lakukan dan berilah kesempatan kepada Dia untuk membawa kita kepada kehendakNya semata, kepada hasil atau kita mendapatkan nilai lain dari apa yang kita lakukan. Dia tidak akan pernah memandang apa yang kita lakukan itu sia-sia walau sebesar Zarah sekalipun.

Di Hari Jumat penuh berkah ini sMoga Allah SWT senantiasa membimbing dan menuntun kita kepada jalan-Nya yang Lurus dan Benar…

21 Comments

Tinggalkan Balasan ke Dian Fajri EfinBatalkan balasan

Eksplorasi konten lain dari Sufi Muda

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca