Tasauf

Kenapa Sufi Kaya Raya Namun Hidup Dalam Gubuk Sederhana?

20160212_082148-1Ada sebuah kenangan dimasa silam bersama Guru tak terlupakan, ketika berada dalam satu mobil dengan Guru. Saya waktu itu sedang memiliki keinginan untuk membuat rumah besar dan megah. Guru “menangkap” apa yang terbersit di dalam fikiran saya, maka Beliau mengajak saya keliling-keliling dan kami memasuki kawasan perumahan elit. Setelah 15 menit keliling perumahan bagus tersebut, Guru berkata, “Coba kau perhatikan rumah-rumah besar itu, rata-rata pemiliknya tidak tinggal disana, hanya dijaga pembantu dan satpam saja, lalu untuk apa mereka membangun rumah besar kalau tidak ditempati?”.

Pertanyaan Guru itu mengingatkan saya akan sebuah kisah seorang sufi bernama Nidzam al-Mahmudi yang kaya namun memilih membuat rumah kecil dan sederhana. Kisah ini saya kutip dari blog sufipasrah.

Tersebutlah seorang sufi bernama Nidzam al-Mahmudi. Ia tinggal di sebuah kampung terpencil, dalam sebuah gubuk kecil. Istri dan anak-anaknya hidup dengan amat sederhana. Akan tetapi, semua anaknya berpikiran cerdas dan berpendidikan.

Selain penduduk kampung itu, tidak ada yang tahu bahwa ia mempunyai kebun subur berhektar-hektar dan perniagaan yang kian berkembang di beberapa kota besar. Dengan kekayaan yang diputar secara mahir itu ia dapat menghidupi ratusan keluarga yang bergantung padanya.

Tingkat kemakmuran para kuli dan pegawainya bahkan jauh lebih tinggi ketimbang sang majikan. Namun, Nidzam al-Mahmudi merasa amat bahagia dan damai menikmati perjalanan usianya.

Salah seorang anaknya pernah bertanya: “Mengapa Ayah tidak membangun rumah yang besar dan indah. Bukankah Ayah mampu?”

Sang Ayah pun menjawab: “Ada beberapa sebab mengapa Ayah lebih suka menempati sebuah gubuk kecil:

Pertama, Karena betapapun besarnya rumah kita, yang kita butuhkan ternyata hanya tempat untuk duduk dan berbaring. Rumah besar sering menjadi penjara bagi penghuninya. Sehari-harian ia cuma mengurung diri sambil menikmati keindahan istananya. Ia terlepas dari masyarakatnya dan ia terlepas dari alam bebas yang indah ini. Akibatnya ia akan kurang bersyukur kepada Allah.” Anaknya yang sudah cukup dewasa itu membenarkan ucapan ayahnya dalam hati. Apalagi ketika sang Ayah melanjutkan argumentasinya.

Kedua, dengan menempati sebuah gubuk kecil, kalian akan menjadi cepat dewasa. Kalian ingin segera memisahkan diri dari orang tua supaya dapat menghuni rumah yang lebih leluasa.

Ketiga, kami dulu cuma berdua, Ayah dan Ibu. Kelak akan menjadi berdua lagi setelah anak-anak semuanya berumah tangga. Apalagi Ayah dan Ibu menempati rumah yang besar, bukankah kelengangan suasana akan lebih terasa dan menyiksa?”

Si anak tercenung, alangkah bijaknya sikap sang ayah yang tampak lugu dan polos itu. Ia seorang hartawan yang kekayaannya melimpah, akan tetapi keringatnya setiap hari selalu bercucuran.

Ia ikut mencangkul dan menuai hasil tanaman. Ia betul-betul menikmati kekayaannya dengan cara yang paling mendasar. Ia tidak melayang-layang dalam buaian harta benda sehingga sebenarnya bukan merasakan kekayaan, melainkan kepayahan semata-mata.

Sebab banyak hartawan lain yang hanya bisa menghitung-hitung kekayaannya dalam bentuk angka-angka. Mereka hanya menikmati lembaran-lembaran kertas yang disangkanya kekayaan yang tiada tara. Padahal hakikatnya ia tidak menikmati apa-apa kecuali angan-angan kosongnya sendiri.

Kemudian anak itu lebih terkesima tatkala ayahnya meneruskan: “Anakku, jika aku membangun sebuah istana anggun, biayanya terlalu besar. Dan biaya sebesar itu kalau kubangunkan gubuk-gubuk kecil yang memadai untuk tempat tinggal, berapa banyak tunawisma/ gelandangan bisa terangkat martabatnya menjadi warga terhormat?

Ingatlah anakku, dunia ini disediakan Tuhan untuk segenap mahklukNya. Dan dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua penghuninya. Akan tetapi, dunia ini akan menjadi sempit dan terlalu sedikit, bahkan tidak cukup, untuk memuaskan hanya keserakahan seorang manusia saja.”

Suasana dalam mobil menjadi hening, ketika keluar dari komplek perumahan mewah, Guru berkata, “Kesenangan bagi aku bukan memiliki rumah besar dan megah, tapi sebuah rumah yang seluruh orang senang datang berkunjung dan orang merasakan seperti berada di rumah sendiri”.

sMoga Bermanfaat…

11 Comments

  • sahlanlan

    Assmualaikum Bang Sufi Muda,Smoga selalu diberikan kesehatan oleh Allah SWT.

    Baru selesai membaca Judul”Untuk Mendahulukan Adab” sekarang munculkan lagi Seorang Sufi menyenangi tinggal di Gubuk sederhana namun manfaatnya lebih untuk orang banyak dibanding tinggal rumah yang megah yang hanya ditempati oleh seorang pembantu. Terima kasih atas uraiannya Bang Sufi Muda

    Salam dari Lombok

  • AS S

    Alhamdulillah… InsyaAllah buya dan sahabat sahabat kaum muslimin muslimat dalam keadaan sehat yang di ridhoi Allah swt. Terima kasih buya

    @

  • Malik angon

    maaf saudara sebelum kita melihat keluar tentunya kita melihat kedalam…saudara sufi menceritakan tentang hidup sederhana walau bergelimang harta namun saudara sufi dan guru mempunyai mobil mewah dan melihat perumahan mewah…coba klo masuk perumahan mewah dgn pura2 jd pengemis psti di usir sama security…salam

    • SufiMuda

      Terimakasih atas kritiknya, mudah2an membuat saya lebih hati2..

      Begini
      Saya tidak menulis Guru mempunyai mobil mewah, saya hanya menulis saya dengan Guru dalam satu mobil. Dari mana anda simpulkan mobil itu mewah dan dari mana pula anda bisa menyimpulkan mobil itu milik Guru atau milik saya?? Maka coba di baca tulisan itu dengan teliti.
      Saya menceritakan tentang seorang sufi yang kaya hidup di di gubuk sederhana, apakah saya disitu ada menganjurkan orang tinggal di Gubuk sederhana?
      Guru lebih memilih memiliki rumah yang orang lain senang masuk, kunci isini bukan jenis rumah, tapi keramahan dari si pemilik rumah, isi hati dari pemilik rumah.
      Kisah di atas tentang sufi kaya raya yg memilih tinggal di gubuk, anda baca juga kisah lain, seperti syekh kepala ikan yang miskin bergaya hiduo miskin, dibaca juga tentang Guru dari Syekh Kepala Ikan yaitu Syekh Ibnu Arabi yang hidup mewah dan kaya raya.
      Jadi, bacalah tulisan itu dengan pelan dan utuh agar bisa menangkap maksud dari penulis
      Saya kira tulisan itu bukan untuk menganjurkan kita semua menjadi melarat atau bergaya melarat agar disebut sebagai sufi karena itu dua hal yang tidak ada hubungan sama sekali

      Demikian

      • Malik angon

        maaf saudaraku sufi….maksud dan tujuan sy hny memperjelas bagi kami yg baru belajar….saudar sufi dan guru berada dlm mobil…bagi kami yg tdk mampu,pnya mobil pst sudah sangatlah mewah……
        sy paham tentang pelajaran yg saudara kirim…
        trimakasi atas smua kiriman saudaraku,smua bs masuk dlm diri kami….

Tinggalkan Balasan ke Malik angonBatalkan balasan

Eksplorasi konten lain dari Sufi Muda

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca