Tasauf

Memandang yang SATU Kepada Yang Banyak

rasulullah-sawJudul ini saya ambil dari ungkapan hakikat dari Maulana Saidi Syekh Muhammad Hasyim al-Khalidi untuk menjelaskan tentang hakikat Tuhan dan Tajalli-Nya di alam ini. Laksana matahari yang hanya SATU, tapi sinarnya tanpa batas bisa dinikmati diseluruh dunia, semua orang bisa memandang matahari, merasakan hangat sinarnya dan mengambil manfaat dari energi yang di kandungnya.

Semua meyakini bentuk matahari adalah bulat namun cahaya matahari pada dasarnya tidak memiliki bentuk. Ketika cahaya tersebut masuk ke dalam wadah empat persegi maka wujudnya empat bersegi dan saat cahaya matahari melewati atap rumah yang bocor berbentuk segitiga maka cahaya matahari akan terlihat dalam bentuk segitiga.

Benda padat tidak bisa disatukan dengan benda padat karena akan tersisa ruang diantaranya, kalau anda mengumpulkan batu dalam satu tempat, walaupun batu tersebut bersatu tapi tetap ada jarak memisahkan satu dengan lainnya. Berbeda dengan benda cari, disaat anda isi air dalam gelas, maka secara otomatis bentuk air akan mengambil tempat persis seperti gelas. Kita semua tahu bahwa air juga ada spasi antara satu molekul dengan molekul lainnya akan tetapi pandangan mata tidak melihat hal itu, yang terlihat air adalah satu bentuk, satu WAJAH.

Lebih halus lagi adalah gas, ketika disatukan dalam satu wadah maka secara otomatis pula gas tersebut akan menyerupai wadah yang ditempati. Cahaya kita masukkan kedalam jenis gas, benda sangat halus, disaat masuk kedalam wadah apapun langsung menyerupai wadah tersebut. Sampai saat ini kita tidak bisa melihat wujud listrik, sampai arus nya masuk ke dalam bola lampu dan menaringinya, kita semua sepakat begitulah bentuk listrik.

Cahaya tampak dan cahaya gaib memiliki persamaan, sama-sama sangat halus dan bisa menempati wadah apa saja. Cahaya Allah yang bertajalli dalam diri Muhammad bin Abdullah membuat Beliau secara otomatis menjadi seorang Rasul Allah, menjadi utusan yang membawa cahaya tersebut keseluruh alam ini. Cahaya Allah dalam diri Muhammad itu yang membendakan Beliau dengan manusia biasa. Bukan saja Beliau bercahaya akan tetapi juga bisa menerangi siapa saja yang bersentuhan dengan Beliau. Cahaya Allah diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki Allah (Surat An-Nur 35). Cahaya Allah dalam diri Muhamamad ini secara halus orang menyebut sebagai Nur Muhamamad yang merupakan tajalli dari Nur Allah.

Dengan Nur Muhammad inilah fungsi Rasul bukan sekedar mengulang apa yang di firmankan Allah, akan tetapi Beliau berfungsi sebagai The Big Conductor yang mengantarkan energi tak terhingg yang berasal dari sisi Allah. Muhammad dalam hal ini berfungsi sebagai pembawa Wasilah yang tidak lain adalah cahaya Allah Ta’ala.

Cahaya di atas cahaya” demikian Allah mengumpamakan dalam al-Qur’an yang membuat ruhani Rasulullah SAW berfungsi untuk mensucikan sekalian arwah manusia agar bisa berhampiran dengan Allah SWT Yang Maha Suci lagi Maha Bersih. Lalu bagaimana cahaya dalam diri Nabi tersebut bisa disalurkan kepada para sahabat? Apa cukup dengan mendekati zahir Nabi? Atau cukup dengan memandang wajah Beliau?

Cahaya tersebut hanya bisa menghampiri siapa saja setelah memenuhi rukun dan syaratnya. Kalau hanya sekedar memandang maka Abu Lahab dan Abu Jahal juga lama memandang wajah Nabi, kalau hanya bersentuhan fisik, berapa banyak orang kafir qurays bersentuhan dengan Beliau tapi tetap menjadi kafir.

Memandang dalam hal ini harus dengan keimanan, kunci pembukanya adalah pengakuan akan Kerasulan Beliau lewat Kalimah Syahadat, kemudian mengambil amalan dari Beliau dan secara istiqamah mempraktekkannya barulah cahaya itu masuk dalam qalbu ummat.

Sepeninggalan Nabi, cahaya itu terus menerus harus ada dibawa secara estafet oleh para Ulama Pewaris Nabi, rumus dan cara mempraktekkan wajib pula sama sehingga hasilnya akan sama.

Tidak akan masuk neraka seorang muslim yang melihat aku dan tidak juga (akan masuk neraka) yang melihat orang yang telah melihat aku, dan tidak juga (akan masuk neraka) orang yang melihat orang yang telah melihat aku, sekalipun dengan 70 wasithah (lapisan/antara). Sesungguhnya mereka itu adalah para khalifahku dalam menyampaikan (islam/sunahku) mengasuh dan mendidik (orang ramai), sekiranya mereka itu tetap istiqamah didalam syari’atku” (H.R. Al – Khatib bin Abd.Rahman bin Uqbah).

Melihat disini bukan hanya sekedar melihat, kita wajib mencari orang yang pernah sempurna melihat Nabi dan mencari pula orang yang telah sempurna melihat orang yang melihat Nabi sampai saat ini karena dari Beliau lah kita bisa menemukan cahaya Allah yang tersimpan da tersembunyi dalam diri Nabi. Tanpa itu maka ibadah apapun yang kita lakukan tidak ada cahayanya, hanya sekedar memenuhi kewajiban.

Menemukan Pembawa Wasilah terakhir inilah merupakan kewajiban bagi orang-orang beriman dan bertaqwa sebagaimana firman Allah : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah Swt dan carilah jalan / wasilah yang mendekatkan diri kepada-Nya dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan (sukses). (QS. al Maidah : 35)

Wasilah sebagaimana yang telah banyak kami uraikan di sini bukanlah ibadah, bukan pula manusia, wasilah adalah cahaya Allah yang berasal dari Allah sendiri. Ibarat matahari, Wasilah adalah cahaya sedangkan wadah adalah pembawa wasilah. Anda boleh sepakat bentuk listrik bulat seperti bola lampu karena itu yang terlihat sedangkan bentuk asli listrik kita tidak pernah tahu.

Sangat penting dan wajib bagi sekalian manusia untuk menemukan Sang Pembawa Wasilah, Ulama Pewaris Nabi karena lewat Beliau lah manusia bisa menemukan cahaya-Nya. Sangat tepat ungkapan pujian kepada Nabi dalam syair-syair indah, “Engkau bulan, engkau matahari, Engkau lah cahaya di atas cahaya”, kesemuanya untuk menyadarkan seluruh ummat bahwa Nabi Muhammad SAW bukan sekedar tukang pos yang membawa al-Qur’an sebagaimana orientalis dan sekutunya meyakini, lebih dari itu Beliau adalah cahaya itu sendiri, Beliau adalah Al-Qur’an yang berjalan.

Karena fungsi Nabi sebagaia pembawa wasilah, maka Beliau dengan kerendahan hati berkata, “Barang Siapa yang melihat aku niscaya dia telah melihat al-Haqq (Allah)”, karena seluruh tubuh Beliau telah disinari cahaya Allah SWT. Allahumma Shalli ‘Ala Syaidina Muhammad, Selamat Sejahtera selalu untuk mu ya Muhammad.. Ya Kekasih Allah.

Dalam hadist Qudsi juga Allah telah berfirman apabila seorang hamba mencapai tahap dicintai Allah, “Apabila melihat AKU lah matanya, apabila berjalan AKU lah kakinya”, ini Maqam para kekasih Allah, orang-orang yang telah mendapat karunia dari Allah SWT.

Berhampiran dengan orang-orang yang telah dikasih Allah ini membuat kita juga ikut dekat dengan Allah sebagaimana firman Allah dalam hadist Qudsi, “Jadikanlah dirimu beserta Allah, jika engkau belum beserta Allah maka jadikan lah dirimu beserta dengan orang yang telah beserta Allah niscaya dia lah yang membawamu kehadirat Allah”. Bahasa membawa adalah bahasa awam agar mudah dipahami sedangkan makna sebenarnya siapapun yang berdekatan dengan kekasih Allah secara otomatis akan sampai kepada Allah SWT.

Tulisan ini saya cukupkan dulu sampai disini, insya Allah dilain kesempatan akan saya lanjutkan lagi dengan judul yang sama karena ini adalah hal sangat pokok dalam hidup. “Memandang yang SATU kepada yang Banyak dan memandang Yang Banyak kepada yang SATU”.

 

20 Comments

  • Suryadi

    Ampun TUHAN 😭😭😭 Selamat Sejahtera Slalu Untuk MU… Trimakasih SUFIMUDA atas pencerahan yang sangat luar biasa ini 🙏

  • Uswah hasanah

    Assalamu’alaikum wr wb
    allahumma sholli ‘ala sayyidina muhammad wa’ala aalihi wa ashabihi ajma’iin
    apakah bisa berguru dgn jarak jauh?
    Saya benar2 ingin belajar lbih serius dgn anda guru…

    • SufiMuda

      Wa’alaikum salam
      Insya Allah saya akan menjawab pertanyaan2 seputar tasawuf/tarekat semampu saya.
      Kalau sungguh2 pasti Allah mempertemukan anda dgn Pembimbing rohani yang bisa membimbing kehadirat-Nya

      • Uswah hasanah

        Aamiin ya Allah,trima ksih&saya mohon do’anya agar saya benar2 bisa berjumpa&berguru kpd seorang mursyid mursyida yg kamil mukamil&kholis mukhlisin aamiin…

  • Abdul Malik

    Ass. Tulisan yg sangat mencerahkan, SUFIMUDA bolehkah kita bermursyid kepada seseorang yang sudah berpulang ke rahmatullah

    • SufiMuda

      Wa’alaikum salam
      Boleh, jika telah berguru sebelum Guru Mursyid berpulang ke rahmatulllah atau jika Guru telah berpulang ke rahmatullah baru mulai berguru harus ada khalifah yang membimbingnya.
      Bagi yang ingin belajar lebih afdol bermursyid kepada yang masih hidup karena sebelum Guru Mursyid wafat biasanya Beliau menunjukkan siapa penerus atau penggantinya.

  • puji

    Bang saya tinggal di daerah sidoarjo jatim apakah ada guru mursyid sesuai kriteria abang….?
    Matur suwun sebelumnya bang….

  • Uswah hasanah

    Aamiin ya Allah,trima ksih&saya mohon do’anya agar saya benar2 bisa berjumpa&berguru kpd seorang mursyid mursyida yg kamil mukamil&kholis mukhlisin aamiin…

    • SufiMuda

      Untuk mendapatkan petunjuk bisa tapi untuk membimbing tidak bisa karena Wali Majdub dalam keseharian tidak terikat dengan aturan2 umum yang berlaku.
      Wali Majdub biasanya tidak menerima murid tapi menerima orang2 yg berziarah kepadanya utk mendapatkan petunjuk dan berkah.
      Demikian

  • sahlanlan

    Salam hormat buat Bang SM, teima kasih atas tulisannya yang terus menerus yang selalu menambah keyakinan saya, Insya Allah Bang Sufi Muda saya akan terus mendalami tulisan-tulsan anda. Ada sedikit yang sanya tanyakan Bang SM. Tak Ada seorang Ibu atau Ayah yang memberikan nama anaknya dengan kata yang jelek seperti Contoh Abu Lahap Yang artinya Tuan Api – Abu jahal Yang Artinya Tuan jahil atau tuan jahat, Apakah ini hanyalah suatu perumpamaan dalam diri kita. Ada Nur Muhammad atau roh abu jahal /roh Abu lahap dalam diri seseorang?
    Mohon penjelasannya. Sekali lagi Terima kasih atas pencerahannya Bang SM. Semoga Bang Sufi muda & keluarganya selalu diberikan Kesehatan Amiin..

    Salam

    Sahlan

  • Syech Abdullah Affandi

    Bismillahirrohmannirohim
    illahi anta maqshudi wa ridhaka mathlubi
    Berguru kepada Guru Mursyid yg telah berpulang kerahmatullah Haram hukumnya, walaupun melalui Khalifahnya.
    Wajib hukumnya/mutlak harus ada dzohir sang Guru Mursyid, kita berguru walaupun melalui Khalifahnya.
    Karena tentu lebih baik berGuru langsung kepada Rasulullah dibandingkan kepada Guru Mursyid yang berpulang kerahmatullah jikalau.demikian keadaannya bukan ?
    Walaupun Wali ALLAH/Guru Mursyid itu sesungguhnya tidak pernah mati, Dia hidup disisi ALLAH SWT, namun itu hanya berlaku khusus kepada muridnya yang berguru, baik langsung ataupun melalui Khalifahnya, semasa Guru tsb masih hidup.
    Sedangkan bagi murid yang ingin belajar Thariqat sesudah Guru Mursyid berpulang kerahmatullah, harus belajar kepada pewaris ilmu/Mursyid Penerus yang ditunjuk/angkat/Tabalkan oleh Guru Mursyid tsb.
    Pewaris ilmu/Mursyid Penerus yang ditunjuk bisa jadi itu salah satu dari pihak Nasab ( anak kandung,
    anak menantu ), dan bisa jadi pula salah satu dari
    murid/Khalifahnya.
    Apabila Guru Mursyid semasa hidupnya belum sempat menunjuk Pewarisnya dan beliau sudah berpulang kerahmatullah, maka pewaris ilmunya/Mursyid Penerusnya adalah ke-dua belah pihak, baik itu Nasab maupun murid/Khalifahnya yg ke-dua2nya memenuhi kriteria/rukun dan syaratnya.
    Sesuai dengan sejarah Thariqat yang diturunkan/diwarisi ilmunya oleh Rasulullah kepada Sayidina Ali ( Thariqat Qadiriyah ) keponakan/anak menantunya/NASAB dan juga kepada Sayidina Abu Bakar ( Thariqat Naqshabandiyah ) MURID/Khalifahnya.

  • ADP

    Assalamualaikum wr.wb. .puji syukur kita panjatkan atas kehadirat-Nya,
    Saya ingin bertanya apakah benar air itu hidup ? Saya pernah mmbaca tentang sbuah pnelitian kalau air itu hidup, saat air dibacakan do’a ia akan membentuk kristal segi enam yg indah, dan bgitupun sbaliknya jika kita mengatakan hal2 yg jelek maka air itu berubah menjadi tidak baik

  • Kerio Bungsuh

    Assalamualaikum wr.wb. saya Mengucapkan Terimakasi Banya Atas Sodako Yang Tak ternilai Harga nya

    (Alif) = diri sendiri (Zat)

    (Allah) = diri terdiri (Sifat)

    (Bismillah) = diri tajjali (Asma)

    (Ha) = diri terperi (Af’al)

    (Alif) = Zat (Diri Sendiri)

    (Alif, Lam, lam Ha) = Sifat (Diri Terdiri)

    (Alif, Ba, Sin, Mim, {Alif, Lam, Lam) Ha = Asma (Diri Tajjali)

    (Alif, Ba, Sin, Mim Ha) = Af’al (Diri Terperi) Besmah

    (Alif, Lam, Lam) = Rohani bagi Besmah

    (Ha) atau Hajarul Aswad adalah sebagai wadah untuk menyatakan kenyataan

Tinggalkan Balasan ke Uswah hasanahBatalkan balasan

Eksplorasi konten lain dari Sufi Muda

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca