Nasehat

Ulat WC…

19-Ikhtiar muridSore itu ada dua orang datang ingin menemui Guru Sufi dengan niat belajar, diterima di sekretariat oleh murid yang bertugas disana. Sudah menjadi kebiasaan, kalau orang datang bertamu di luar jadwal yang telah ditentukan, biasanya harus dilapor dulu kepada Guru apakah Guru berkenan menemui atau biesa jadi Guru sedang dalam zikir yang lama sehingga tidak bisa melayani tamu. Setelah ngobrol setengah jam dan tahu maksud kedatangan tamu, kemudian murid datang kerumah Guru yang terletak 50 meter dari ruang sekretariat untuk melaporkan tentang tamu.

Ketika berada dihadapan Guru, sebelum murid melaporkan, Sang Guru tiba-tiba berkata, “Muridku, Tidak bisa dia masuk tarekat, tidak bisa dia menjadi murid Wali Allah karena dulu kakeknya seorang yang senang mencaci Wali Allah”. Sang murid tertegun lama, berarti gurunya sudah mengetahui sebelum dia melaporkan.

Cerita ini saya dengar dari sang Murid yang kelak menjadi seorang Guru Sufi, yang tidak lain adalah Guru saya tercinta. Saya pun merenung dalam-dalam tentang cerita tersebut, kenapa seorang Wali Allah menolak orang belajar tarekat yang pada hakikatnya adalah bertobat? Bukankah yang mencaci Wali Allah itu kakeknya, kenapa muridnya harus menjadi korban?

Banyak pertanyaan muncul dalam pikiran saya, sampai suatu waktu saya menemukan jawabannya dalam kisah Nabi Musa dengan Nabi Khidir. Ketika Khidir membunuh anak kecil, Nabi Musa tidak bisa menerima tindakan khidir, kenapa harus membunuh anak kecil yang tidak berdosa. Di akhir pertemuan Khidir menjelaskan kepada Musa, “Anak tersebut adalah anak seorang yang beriman dan taat kepada Allah, kalau aku tidak membunuhnya kelak anak tersebut akan membuat kedua orangtua nya menjadi durhaka kepada Allah”. Pandangan khasyaf ini hanya dimiliki oleh kekasih Allah, melihat jauh sebelum terjadi.

Mencaci ulama menyebabkan anak turunannya terhalang dari rahmat Allah, inilah yang di khawatirkan para ulama, sebagaimana Nasehat Ibnu Hajar Untuk Para Penentang Ulama Sufi. Bukan hanya ulama, mencaci manusia biasa juga merupakan tindakan yang tercela. Setan berusaha dengan sekuat tenaga agar kita menjadi di murkai, kalau tidak mampu menghalangi kita dalam beribadah, dia menyisipkan sifat sombong dalam hati, memandang rendah kepada orang yang berbeda paham dengannya. Memandang rendah ini terkadang terwujud dalam bentuk caci maki, se olah-olah dia sedang membela agama.

Saya selama hampir 20 tahun mengamati dan meneliti tentang orang-orang yang suka mencaci ulama, terutama ulama tasawuf, juga orang-orang yang suka menjelek-jelekkan ajaran tarekat, pada umumnya adalah orang yang mampunyai error di masa lalu. Error tersebut bisa berupa karena terlalu banyak melakukan maksiat di masa mudanya, atau melakukan tindakan tidak terpuji lainnya, kemudian menutupi dengan cara menyalahkan orang yang berbeda dengannya. Karena mencaci maki ulama itu tanpa sadar membuat hidupnya terpuruk, dihinakan di dunia dan tentu saja akan hina kelak di akhirat.

Guru Sufi dulu menyaring murid di awal belajar, misalnya kalau ada 12 orang ingin berguru, terkadang hanya diterima 1 orang bahkan tidak diterima sama sekali, yang di tolak dikemudian hari datang lagi menemui Guru, sampai dia diterima. Kesungguhan itu yang diperlukan dan Guru bisa melihat dengan mata bathin nya siapa yang benar-benar ikhlas berguru dan siapa yang tidak. Syekh Abdul Qadir bahkan dengan ekstrim menyuruh calon murid mengemis selama 1 tahun sebagai ujian sebelum diterima menjadi murid. Sunan KaliJaga mendapat ujian menjaga tongkat Gurunya, suatu tindakan yang dilihat dari kacamata umum seperti orang bodoh dan sia-sia, siang malam menjaga tongkat sementara orang lalu lalang melihat dengan pandangan aneh.

Guru saya tidak menyaring murid di awal, semua orang yang ingin berguru diterima Beliau dengan lapang dada, dikemudian hari alam akan menyeleksi siapa yang setia dalam berguru dan siapa yang tidak layak menjadi muridnya, waktu akan membuktikan. Sikap bijaksana ini di ambil Guru agar semua orang bisa merasakan nikmatnya zikir, nikmatnya Iman dan Islam, walau dikemudian hari dia harus tercampak dari rahmat Allah.

Saya dulu pernah bertanya dalam hati, kenapa Guru menerima semua murid tanpa memilih milih, bahkan orang yang pernah tidak senang dengan tarekat pun Beliau terima dengan senang hati. Ada sebagian dari murid Beliau melakukan tindakan diluar apa yang diperintahkan Guru, bahkan membuat Guru susah karenanya. Orang-orang yang menyebabkan masalah ini kenapa harus diterima oleh Guru menjadi murid.

Saya menemukan jawaban ketika suatu hari Guru berkata, “Ambil ulat WC, 3 atau 4 ekor, terserah berapa banyak, cuci bersih bersih, semprot minyak wangi dan letakkan di tempat bagus, ulat itu tetap akan kembali ke WC”. Kemudian Guru berkata, “Tidak usah kau pikirkan orang-orang yang berpaling dari jalan Allah, ibarat ulat WC tersebut, diperlakukan sebaik mungkin dia akan tetap kembali ke habitat aslinya, karena itulah takdirnya, maka berdoa selalu dalam hati agar kita tidak termasuk jenis ulat WC”.

sMoga kita tidak termasuk jenis ulat WC…

19 Comments

  • hairul05_basel

    Assalamu’alaikum Wr Wb …… mas sufi muda …. semoga Allah SWT merahmati kita Amin.   Mhn informasi utk sekitar kota palembang guru2 tareqat TN Kholidyah.. trims

    Terkirim dari tablet Samsung

  • dodi tanjung

    assalamualaikum wr,wb
    trimksih ya rob qw tlh mnjuki kmi wali mu
    smga kami termasuk murid yg setia kpda walimu dan murid yg layak bgi walimu
    aamiin

  • Muhammad Amrullah Pagala

    Alhamdulilah cerita kisah yang menginspirasi dan sarat hikmah…Menoleh perjalanan dan masa “pembelajaran” saya selama kurang lebih 15 tahun terlalu banyak statment yang mengdiskreditkan bahkan mengkafirkan ulama- ulama Sufi Padahal Merela Ulama Sufi tersebut telah mengulurkan”tangan-tangan penolongnya” untuk membimbing ummat ke jalan yang seharusnya. Sekedar sharing…Ulama Sufi bukanlah Guru sufi…namun sebatas pembimbing…menuju Guru yang sebenarnya dalam diri…Mari kita bermujahada menemukan Guru yang sebenarnya….Semoga Allah SWT menuntun hati dan pikiran kita Aminn.

  • hamba_Allah

    Assalamualaikum,
    perkenenankan saya berbagi
    apakah tidak lucu apa bila kita berbicara mursid dll sementara ada Allah yg abadi
    apakah mursid itu pantas disebut guru?
    sementara ada para Awlya Allah yg nyata dan hidup
    seperti dalam foto ini contohnya..seorang Awlya di jawa timur sholat dgn cara yg aneh :
    http://imagetwist.com/wx22brkpe5sh/auliaitu.JPG.html

    foto diatas screen shot video beliau sedang mermunajat, dan ini saya dapatkan dari kerabat dan coba saya share disini
    sepertinya dunia tidak kekurangan para alim,
    anehnya beliau tdk pernah berkhutbah dakwah dan terkesan sederhana
    tetapi ibadahnya, subhanallah…

    • SufiMuda

      Wa’alaikum salam
      Terimakasih atas sharingnya.
      Izinkan Saya mencoba luruskan logika berfikir agar tidak rancu dan jadi lucu betulan.

      Justru karena Allah Abadi di perlukan Guru membimbing manusia kepada Maha Abadi tsb. zaman dulu di bimbing oleh Nabi/Rasul. zaman setelahnya di bimbing oleh Wali.

      “Apakah Mursyid pantas disebut Guru?”
      Pertanyaannya salah, yg benar “Apakah semua Guru pantas berkedudukan sebagai Mursyid?”

      Saya sudah banyak menulis tentang Mursyid bisa anda baca disini. Mursyid pada hakikatnya bukan manusia tapi Nur Allah yang bertajalli dalam diri manusia, dgn Nur Allah itu Guru Mursyid bisa membimbing manusia kepada Allah krn pada hakikatnya Hanya Allah yang bisa mengenalkan Allah.

      Syarat menjadi wali itu buka aneh, jadi jgn terpengaruh dengan keanehan. Keanehan terjadi tidak pada setiap wali dan kalau terjadi bersifat insidentil. Banyak orang terjebak ikut orang aneh krn pemahaman salah tentang Wali.

      Sepengetahuan saya, munajat seorang wali tidak pernah bisa dilihat manusia krn Wali Allah adalah pengantin Allah, mereka mempunyai tempat khusus dlm bermunajat, disana hanya ada dia dan Tuhannya.

      Sebagai tambahan, tidak semua Wali itu mencapai maqam Mursyid tapi seorang Mursyid wajib berkualitas Wali Allah.
      Sama juga tidak semua Nabi mencapai derajat Rasul, tapi seorang Rasul sudah pasti seorang Nabi.

      Ada Wali Allah ilmunya tidak bisa diajarkan, hanya untuk diri sendiri, ada yg mempunyai murid beberapa orang, ada yg mempunyai jumlah murid banyak.
      Wali Allah yg mempunyai murid banyak ini tentu sudah mencapai maqam Mursyid, dia tidak lagi memikirkan diri sendiri, segala tindak tanduknya terikat erat dengan Syariat yang Suci yaitu Syariat Islam.

      Demikian.

  • Herdiansyah

    apa salah cucu kalau yg berbuat dosa kakeknya
    bukankah setiap anak yang lahir itu suci dari dosa
    apa urusannya dosa kakek dengan dosa cucunya…bukankah seseorang tidak memikul dosa orang lain sekalipun itu keluarga

    ingatlah saudara-saudaraku jangankan orang yang sering memaki2 wali Allah,
    bahkan orang2 yang sering memaki Allah..sekiranya dia bertobat dengan tobat yg sebenar-benarnya Allah benar-benar akan mengampuninya

    sekiranyanya Allah sudah tidak mengendaki seseorang
    maka seseorang itu tidak akan pernah bisa kembali ke jalan Allah, karena Allah telah mengunci mati hati dan pendengarannya

    ingatlah masalah hati hanya Allah yg tahu
    bahkan nabi muhammad tidak mengetahui yg gaib yg tersimpan dihati seseorang (baca Alquran)
    hebat benar ya guru anda

  • yadi

    apa dulu islam ada,islam ada karna nabi muhamad,yg membawa agama islam dan memberi penerangan dari jaman jahilia ke jaman sperti skarang ini,allah maha pemaaf smua mahluk,knp manusia tdk bs memaaf kan dan tdk mengambil pelajaran dr nabi muhamad saw.toh hidayah dr allah bkn dr manusia.kl memang mamang orang mau benar knp gk mau di tuntun

  • Syech Abdullah Affandi

    Assalamu’alaikum Sdr Sufimuda,

    Kami ingin menanggapi komentar anda ;

    ” Wali ALLAH yg mempunyai murid banyak ini tentu sudah mencapai Maqam Mursyid “.

    Kami sepaham dengan pendapat tsb diatas, namun kami tidak sepakat.
    Karena menurut hemat kami Maqam Mursyid itu tidaklah ditentukan dengan banyak atau sedikitnya jumlah muridnya.
    Seperti halnya perbandingan antara kafir dan muslim, tdk beriman dan yg beriman, Nabi dan Rasul, Rasul yg tidak diberkitab dan bergelar Ulul’azmi dengan yang diberikan kitab dan bergelar.
    Kalau dilihat diatas maka sesuai dengan hukum dunia, semakin tinggi kualitasnya maka semakin sedikit kuantitasnya, artinya kuantitas berbanding terbalik dengan kualitas.
    Karena yang mengangkat Wali haruslah Wali pula, demikian juga yang dapat menilai dan mengetahui Maqam Wali tersebut Mursyid hanya Wali jualah.
    Demikian komentar kami, lebih kurangnya kami mohon maaf, karena ‘ Tak ada Gading yg tak Retak ‘, kebenaran hanya milik ALLAH SWT, RasulNYA dan WaliNYA, sedangkan kami hanyalah Khalifah/Murid yg bodoh, semoga berkenan.

    Wassalam

    • SufiMuda

      Wa’alaikum salam

      Terimakasih banyak atas komentarnya
      Sedikit saran dari saya kalau memberikan komentar sebaiknya tidak di potong sebagian2 agar tidak salah dipahami, dan komentar balasan langsung dibalas dibawah komentar yg sudah ada agar bersambung.
      Dari komentar tsb dan dari seluruh tulisan2 yg saya tulis berhubungan dgn Guru Mursyid tidak ada hub antara jumlah murid dgn kualitas Guru.
      Disitu saya menjawab komentar sebelumnya, bahwa ada Wali yg tidak mempunyai murid, ada sedikit dan ada banyak.

      Kalau komentar di baca secara utuh maka makna dari “Wali Allah yg mempunyai murid banyak ini tentu sudah mencapai Maqam Mursyid”

      Menjadi

      “Wali Allah yg mempunyai murid banyak ini tentu sudah (seharusnya) mencapai maqam Mursyid”

      Itu adalah kata harapan : selayaknya, sebagusnya, alangkah lebih baik

      Jadi sama dgn pandangan anda, bahwa Mursyid itu kualitas nya tidak ditentukan oleh murid.

      Tentang 8 syarat Guru Mursyid telah pernah saya tulis bisa di baca ulang, dgn syarat itu kita bisa memberikan penilaian apakah seorang berkualitas Mursyid atau tidak.

      Demikian

  • S Heru Baskoro

    Saya senang sekali membaca tulisan ini. Jika tidak keberatan, bolehkah saya tahu siapakah Mursyid sampeyan. Jika ada izin Allah, saya ingin sowan kepada beliau

    • SufiMuda

      Wa’alaikum salam
      terimakasih dan seperti kata Syekh Bahauddin Naqsyabandi, “Permata hanya bisa dihargai oleh orang yang mengerti nilai permata”.

Tinggalkan Balasan ke dodi tanjungBatalkan balasan

Eksplorasi konten lain dari Sufi Muda

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca