Nasehat

TIDAK SEMUA PERTANYAAN MU HARUS KU (Bag. 3)

debatTulisan ini adalah kelanjutan dari dua tulisan dengan judul sama yang saya tulis tepat setahun yang lalu Juli 2013, anda bisa baca tulisan Bagian Pertama dan Bagian Kedua sebelum melanjutkan membaca tulisan ini. Bagian pertama tentang rahasia kenapa tidak semua pertanyaan harus dijawab oleh Guru dan bagian kedua tentang bahaya kebiasaan berdebat tentang masalah agama yang lebih banyak mudharat dari pada manfaatnya.

Debat hanya dilakukan oleh para pencari yang belum menemukan apa yang dia cari sehingga memerlukan pembanding akan sesuatu yang diyakini sebagai kebenaran. Debat dilakukan oleh orang yang memerlukan pengakuan atas keyakinannya, pengakuan atas ilmunya dan pengakuan atas pendapatnya yang tidak lain timbul karena hawa nafsu yang menguasainya.

Di awal saya menekuni tasawuf/tarekat, saya setiap hari berdebat dengan pengamal tarekat, mempertanyakan apa-apa yang dilakukan dan membandingkan dengan ilmu yang menurut saya sudah sangat banyak saya ketahui sebelum menekuni tarekat. Sudah banyak buku yang saya baca sehingga wajar saya mempertanyakan hal yang tidak sesuai dengan apa yang saya baca. Setelah melakukan suluk 3 kali dan saya mengalami sendiri sebuah pengalaman yang sulit diceritakan, barulah saya mulai paham, kenapa di awal perjalanan saya terlalu banyak protes.

Setelah saya yakin dengan tarekat, saya kemudian merasa gerah dengan orang-orang yang tidak setuju dengan tarekat dan saya mengajak mereka berdebat dengan harapan mereka sadar akan kekeliruannya atau minimal saya bisa puas setelah mencerca mereka dengan berbagai dalil. Di awal saya membuat blog ini, saya masih sangat bersemangat untuk melayani perdebatan sampai Suatu hari saya teringat pesan Guru, Beliau pernah berkata kepada saya, “Debat itu tidak ada kebaikan sedikit pun disana, kalau kau menang maka orang yang kau kalahkan akan sakit hati dan menjauhi mu, berarti pada hakikatnya kau tetap kalah kalah dan kalau kau kalah maka engkau tidak merasa tenang, berusaha mencari-cari kesalahan orang lain, itu perbuatan setan”.

Atas kesadaran itulah makanya saya tidak terlalu bersemangat untuk berdebat, yang ingin kita bangun adalah semangat silaturahmi, saling menghargai ditengah perbedaan yang memang merupakan sunatullah sehingga kita menjadi ummat yang kuat dimasa yang akan datang. Saya jadi ingat ketika awal bulan lalu ketika masih di Yaman, saya bersama beberapa orang teman (termasuk para Habib dari Indonesia) silaturahmi ke rumah Prof Habib Muhammad Abdullah Baharun, Rektor Universitas Al-Ahgaff Republik Yaman di kota Mukalla. Teman saya yang sangat membenci Syiah mengajukan pertanyaan kepada Prof, “Apa pendapat Prof tentang syiah?”. Sebelum mengunjungi Prof Baharun, saya dan teman dalam perjalanan dari kota Tharim ke Mukalla berdebat tentang Syiah, teman saya benar-benar sangat membenci Syiah dan saya menasehati dia jangan terlalu membenci sesuatu yang tidak kita pahami, kebencian berlebihan tidak memberikan manfaat. Saya mengatakan begini, “Perdebatan sunni-syiah itu sudah ada sejak Islam masih dalam kondisi bayi dan itu akan terus berlanjut mungkin sampai akhir zaman, lalu apa manfaat kita membenci salah satunya, bukankah tanpa sadar kita menerima warisan kebencian masa lalu?”.

Mungkin nasehat saya dianggap saya pro Syiah, padahal saya hanya ingin menyampaikan nasehat jangan terlalu membenci sesuatu, kebetulan saat itu dia sedang membenci syiah. Nah, jawaban dari Prof Baharun sangat bijaksana, “Kebenaran dan kebathilan itu sudah jelas, namun satu hal yang harus kita pahami bahwa diatas perbedaan itu yang paling tinggi kedudukannya adalah ukhwah Islamiah, jangan kita korbankan yang tinggi untuk yang rendah”. Maksud Prof Baharun, yang paling utama adalah membangun ukhwah Islamiah, persaudaraan diantara sesama muslim, dan jangan kita korbankan persaudaraan itu untuk sesuatu dibawahnya yaitu perbedaan-perbedaan, apalagi hanya perbedaan tentang jumlah rakaat shalat tarawih.

Saya berkesempatan berdialog dengan prof Baharun g selama 1 jam tentang keutamaan tasawuf dalam membangun akhlak ummat, dan kebetulan dialog tersebut direkam dalam bentuk video dan video nya saya simpan sebagai koleks pribadi, bisa jadi suatu saat akan saya upload disini tentu dengan memberikan teks bahasa Indonesia agar bisa dipahami oleh yang belum begitu mahir bahasa Arab. Saya sangat bersyukur bisa berdialog dengan Beliau, menambah wawasan saya akan kebenaran Tasawuf yang merupakan mutiara warisan Nabi Muhammad SAW.

Islam sebagai Agama untuk seluruh dunia dan memberikan rahmat bagi seluruh alam akan terwujud kalau kita benar-benar bisa saling menghargai, saling mencintai bukan hanya dengan sesama agama tapi untuk orang yang berbeda keyakinan dengan kita, menaburkan kebaikan tanpa memandang status si penerima kebaikan. Menutup tulisan ini saya kembali mengutip nasehat junjungan kita Rasulullah SAW tentang larangan berdebat.

Aku akan menjamin sebuah rumah di dasar surga bagi orang yang meninggalkan debat meskipun dia berada dalam pihak yang benar. Dan aku menjamin sebuah rumah di tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta meskipun dalam keadaan bercanda. Dan aku akan menjamin sebuah rumah di bagian teratas surga bagi orang yang membaguskan akhlaknya.” (HR. Abu Dawud)

Ibnu Abbas. R.A. “Cukuplah engkau sebagai orang zhalim bila engkau selalu mendebat. Dan cukuplah dosamu jika kamu selalu menentang, dan cukuplah dosamu bila kamu selalu berbicara dengan selain dzikir kepada Allah.” (al-Fakihi dalam Akhbar Makkah)

Muslim Ibn Yasar rahimahullah berkata : “Jauhilah perdebatan, karena ia adalah saat bodohnya seorang alim, di dalamnya setan menginginkan ketergelincirannya.”  (Ibnu Baththah, al-Ibanah al-Kubra; Darimi: 404).

Semoga Allah senantiasa membimbing dan menuntun kita ke jalan-Nya yang lurus dan benar…

12 Comments

  • Ruslianto

    Ass.
    Memperhatikan, diantara banyaknya pertanyaan yang nyeleneh muncul justru bukan dari kalangan gandrung akan tasawuf dan tarekat anehnya dari kalangan yang ragu, alergi dan anti tasawuf dan anti tarekat dan (mereka) menganggap ilmu metafisika sama dengan ilmu klenik (perdukunan) dan Guru Mursyid dianggap sama dengan Guru Paranormal,… Padahal Blog (ini) dengan visi dan misi yang jelas.

    Tapi Yah, engga perlu terlalu heran juga, (TAK SERUPA TAPI JUGA TAK SAMA) analog dengan Kisah Nabi Musa as, saat berhadapan dengan penyihir dari Fir’aun yang tongkat dan tali mereka (penyihir itu) bisa menjelma menjadi ular, maka tongkat Nabi Musa as pun menjelma (pula) menjadi ular (yang besar) lalu memakan ular-ular sang penyihir. Lho? Mengapa sama sama ular yaa ? dan mengapa tongkat nabi musa misalnya (tidak) menjadi musang, atau apa yg menjadi anti si ular itu ? ,…………… itulah kehidupan didunia (ini), harus banyak merenung dan tafakur atas kejadian alam semesta (ini) agar kita tambah “kuat” mengabdi kepada “DIA”.
    Mengapa sama-sama menjadi ular ?? Tongkat Paranormal menjadi ular lalu Tongkat Nabi Musa as (pun)menjadi ular (juga). (jelas sang penyihir/paranormal kalah,..beda kelas siih).

    Wass.

    • UnEfs

      betul sy setuju akan hal itu..
      tp coba jelaskan lebih mendasar dan tatacara untuk bertarekat,karena semua itu pasti ada aturannya…Didunia khususnya
      di indonesia berpuluh-puluh yg namanya Thareqot,tapi Thareqot yang mana dan aliran Thareqot apa yang dibawa Kanjeng Rosul SAW,
      turun kpd para sahabat, para waliyulloh yang sampai saat ini masih eksis?..
      saya sungguh penasaran ingin menekuninya…
      mohon maaf…..

    • amir karyo

      Hampir semua isi Qur’an adalah Tamsil atau perumpamaan, ada makna tersirat dibalik yang tersurat. Sebab Qur’an keluar dari hati manusia yang suci, maka alat untuk memahaminya adalah kejernihan hati, bukan akal.

      Musa berarti bahasa, makanya Beliau diberi predikat Kalamulloh. Beliau mempunyai tongkat yang dapat menjadi ular dan dapat membelah laut. Tongkat adalah perumpamaan dari lidah, di mana lidah bisa selicin ular dan bisa membelah lautan hati, tergantung pemakainya.

      Tongkat/lidah Musa/Bahasa Kalamulloh mengalahkan ular penyihir/lidah orang fasik, dan tongkat/lidah Musa/Bahasa Kalamulloh menyelamatkan Bani Israil dari tenggelam di laut merah/tenggelam di lumpur dosa dengan cara membelah lautan hati mereka, sehingga mereka sadar akan Tuhan.

      Namun ada yang lebih baik dari Musa/bahasa, yaitu diam. kalau memang tidak bisa untuk berbahasa yang baik. Maka Musa dikalahkan oleh Khidir yang berarti gigi. Jika bahasa ini mulai buruk, sebaiknya digigit saja, artinya diam. Dan Musa tidak tahan disuruh diam oleh Khidir.

      Jadi Qur’an bukan dongeng fantasi, melainkan pesan yang dikemas dengan kisah yang indah. Jadi tidak perlu repot-repot mencari bekas terbelahnya laut merah atau di mana perahunya Nuh atau buah yang dimakan Adam. Semua hanyalah Tamsil atau perumpamaan yang sarat dengan pesan moral.

      Mohon maaf atas kelancangan saya.

  • amir karyo

    Mohon izin Bang SufiMuda, barangkali bermanfaat bagi para sahabat…

    Perbedaan adalah keniscayaan yang dikehendaki dan dicipta oleh Alloh sendiri, perbedaan adalah warna-warni kehidupan. Bahkan anak kecil juga paham kalau Pandawa maupun Kurawa tidak bergerak dengan sendirinya, melainkan ada sang dhalang. Tiada daya dan kekuatan apapun melainkan Alloh saja.

    Qur’an telah menegaskan bahwa Alloh yang menciptakan segala sesuatu dan Alloh pula yang menggerakkan/menetapkan segala sesuatu. Meskipun kita paham kalau pencuri itu bisa beraksi atas izin dan ketetapan Alloh (hakikat), bukan berarti mencuri itu hal yang benar (syariat). Oleh karenanya hakikat dan syariat adalah satu jiwa.

    Tauhid bukanlah anti barang pusaka atau anti batu akik. Tauhid adalah kesadaran bahwa barang pusaka atau batu akik diberi kekuatan oleh Alloh seperti halnya air diberi kekuatan basah dan api diberi kekuatan membakar. Tauhid adalah sadar bahwa diri ini tidak mampu berbuat melainkan hanya sebuah wayang yang digerakkan oleh Sang Dhalang. Semakin diri merasa berkekuatan maka semakin sengsara adanya, karena semakin melawan kodrat.

    Saat Tauhid seseorang telah termurnikan, maka ia akan mampu melihat ketunggalan dalam segala perbedaannya. Ia tidak akan meyalahkan atau mencela apapun dan siapapun, karena ia telah mampu menyaksikan Tuhannya berada pada tiap segala sesuatu. Ia telah bermusyahadah, orang ini termasuk golongan Syuhada’ (jamak dari Syahid), artinya orang yang menyaksikan Tuhan, bukan orang yang mati akibat berperang.

    Mohon maaf sedalam-dalamnya.

Tinggalkan Balasan

Eksplorasi konten lain dari Sufi Muda

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca