Pemikiran

Pakaian-1

Lebih kurang 8 tahun yang lalu, di bandara saya berjumpa dengan sahabat lama yang sudah lama tidak berjumpa. Dia pernah berguru kepada Guru saya walau tidak begitu aktif karena sebelumnya beliau sudah menekuni tarekat di tempat lain dan kabarnya sudah mendapat izin untuk membawa tawajuh, sebuah kedudukan yang terhormat di dalam tarekat. Dari dulu saya mengenalnya dengan pakaiannya yang khas, memakai jubah dan serban. Jarang saya jumpai orang yang begitu istiqamah dengan pakaian jubah dan surbannya sehingga dalam pandangan saya itu sudah seperti pakaian dinas bagi seorang prajurit militer. Bukan hanya ketika beribadah, dalam keseharian, menjalani profesi sebagai pedagang di pasar pun, jubah dan surban tidak pernah ditinggalkan.

Satu sisi saya kagum dengan sikapnya, dalam usia muda tanpa ragu memilih pakaian yang menurut dia mengikuti sunnah Rasul, tidak tergoda dengan pakaian-pakaian terkini yang lazim dipakai orang. Naik sepeda motor pun jubah dan serban tetap dipakai dan dia menolak untuk memakai helm yang menurutnya tidak sesuai dengan sunnah Rasul, dan polisi pun sepertinya sudah maklum karena setiap lewat depan polisi tidak pernah di berhentikan.

Di bandara saya melihat dia dengan kawan-kawan nya yang sama-sama memakai jubah dan surban, usia mereka sekitar 40-50 tahun dan kemudian saya tahu bahwa sahabat saya itu sudah menjadi pengurus salah satu ormas yang fokus kepada Nahi Munkar. Saya memakai pakaian biasa, celana jean dan baju kaos, layaknya anak muda, dengan agak sedikit ragu menghampiri dia. Dengan senyum dan rasa gembira dia berdiri menyambut saya dan memberikan tempat disampingnya. Saya berbincang dengan dia dalam suasana akrab sama seperti dulu ketika sering berjumpa di surau setiap malam selasa dan malam jum’at.

Dia memperkenalkan saya kepada teman-temanya, “Ini sahabat saya, walaupun pakaiannya seperti preman, tapi hatinya mulia, walaupun muda, dia ini orang yang paling mendalam pemahaman tentang hakikat, saya banyak belajar dari dia” sambil menepuk bahu saya. Saya merasa kurang nyaman diperkenalkan seperti itu, apalagi berada di antara orang-orang yang berbeda dengan saya. Tidak nyaman bukan karena pakaian saya disebut pakaian preman, tapi karena dia memperkenalkan saya sebagai orang yang ahli agama, sedangkan pakaian saya tidak seperti yang mereka harapkan sebagai orang yang ahli agama. Saya kemudian mohon izin kepada dia karena kebetulan jadwal penerbangan saya 1 jam lebih cepat dari penerbangan dia. Walaupun sudah 8 tahun tidak bertemu sejak pertemuan terakhir di bandara, saya tetap teringat dengan sahabat saya yang memakai jubah serta serban tersebut.

Ingatan kepada sahabat yang memakai jubah dan surban itu muncul ketika saya membaca sebuah buku yang baru saya beli 3 hari yang lalu berjudul “Bukan Bid’ah, Menimbang Jalan Pikiran Orang-orang Yang Bersikap Keras Dalam Beragama” terjemahan dari bahsaa Arab, judul aslinya “Al-Mutasyaddidun: Manhajum… wa Munaqasyad Ahamm Qadhayahum” karya Prof. Dr. Ali Jum’ah.

Karya Prof. Dr. Ali Jum’ah bagus untuk dijadikan rujukan ditengah kebingungan sebagian orang tentang pakaian Islami. Akhir-akhir ini banyak aturan aneh tentang pakaian khusus untuk daerah yang menerapkan syariat Islam, misalnya perempuan hanya boleh menggunakan rok tidak boleh menggunakan celana, perempuan tidak boleh duduk mengangkang di atas sepeda motor dan terakhir perempuan di larang menari walaupun dengan pakaian sopan sekalipun. Aturan-aturan yang dibuat dengan semangat beragama yang tinggi sementara ilmu agamanya rendah menimbulkan keresahan dalam masyarakat.

Islam awal munculnya adalah agama yang membebaskan manusia dari keterikatan dan tekanan. Perempuan di zaman jahiliyah tidak mendapat hak sama sekali, kemudian Islam memberikan hak-hak kepada perempuan, sampai kepada hak menerima warisan, hal yang tidak pernah ada di zaman itu. Seiring berjalannya waktu, pemahaman Islam dari kaum ekstrimis di Arab Saudi di adopsi mentah-mentah oleh ummat Islam di beberapa tempat di seluruh dunia, kemudian lahirlah benturan-benturan di dalam masyarakat. Islam yang dianut oleh kelompok ekstrimis bukan lagi sebagai agama pembebas tapi justru menjadi agama yang mengekang. Islam disebarkan oleh pendahulu kita yang memahami agama bukan hanya tekstual, lebih jauh mereka sangat memahami hakikat dari ruh Islam. Para Ulama, Wali Songo dan pendakwah lain bisa memasukkan unsur Islam ke dalam budaya masyarakat yang sudah ada sehingga tidak terjadi benturan. Islam di terima dengan begitu indah, hal yang tidak ada dalam pemahaman kaum ekstrimis.

Mengambil mentah-mentah budaya Arab yang diyakini sebagian orang terutama kelompok ekstrim sebagai budaya Islam tanpa mau mengkaji lebih dalam hal yang cocok dan tidak cocok dengan budaya kita akan menimbulkan benturan di dalam masyarakat kita. Tentang pakaian, berikut saya kutip karya dari Prof. Dr. Ali Jum’ah :

Orang-orang yang bersikap ekstremis dalam beragama selalu berusaha untuk berpenampilan khusus, sehingga bisa dikenali begitu dilihat oleh orang lain. Mereka bersikeras mengenakan pakaian yang berbeda dengan yang biasa dipakai oleh umumnya kaum muslimin pada zaman ini. Mereka mengenakan pakaian yang mewakili masa lalu dan adat istiadat kelompok masyarakat lain, dan menyangka bahwa dengan berbuat seperti itu, telah mendekatkan diri kepada Allah.

Tentang pakaian, Allah swt telah berfirman dalam kitab suci-Nya :

Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaianmu yang bagus pada setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, tetapi jangan berlebihan. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raf, 31).

Firman ini bersifat umum, yang ditujukan kepada seluruh anak cucu Adam, sehingga mencakup laki-laki dan perempuan, Muslim dan non-Muslim. Semuanya diperintahkan untuk berhias. Yakni mengenakan pakaian untuk menutup aurat dan hiasan di setiap tempat pertemuan seperti mesjid, sekolah, universitas, tempat kerja dan lain sebagainya.

Di sisi lain, ayat suci ini telah menetapkan sebuah prinsip dasar reformasi agama dan sosial. Hal ini tampak dari apa yang disebutkan oleh ahli tafsir tentang sebab nuzul ayat ini, yaitu bahwasanya orang Arab dulu biasa berthawaf di sekeliling Ka’bah tanpa busana, baik laki-laki maupun perempuan. Keadaan seperti ini, bahkan tidak terbatas pada masyarakat Arab saja, tetapi juga berlaku di banyak bangsa di muka bumi, di mana sisanya masih bisa disaksikan hingga kini, yaitu di negara-negara yang belum tersentuh dakwah Islam.

Namun yang perlu diperhatikan, ayat tersebut tidak menentukan jenis dan bentuk pakaian, karena Islam memang memberikan prinsip-prinsip dasar yang sesuai dengan setiap waktu dan tempat. Jadi, perintah umum itu adalah untuk memakai hiasan di setiap pertemuan dengan orang lain sesuai dengan kemampuan, serta sejalan dengan kecenderungan zaman dan kebiasaan masyarakatnya. Oleh karena itu, Rasulullah saw tidak memiliki pakaian khusus yang selalu dikenakan, juga tidak memilih model tertentu, sehingga tidak menyulitkan ummat yang harus diteladaninya.

Bersambung

5 Comments

  • Noxet

    Boleh juga tuh bang Sufi Muda, memberi saya inspirasi baru dalam berpakaian; berpakaian sangat preman tapi berhati ulama dan secerdas einstein. Hehehehe…

  • MasEd

    Saya tergelitik dengan Judul baru ” Perjalanan Sufi Muda menemukan Tuhan dalam Keseharian” alasan apa kata “menemukan ” dipakai . Bisa dijelaskan? dan menurut saya kok merasa kehilangan Tuhan dalam keseharian.

  • new7paradise

    Penawaran Kerjasama share link

    Buat kamu yang punya website atau blog dan menginginkan artikelnya tercantum di http://www.nusapalapa.com kami perlusahkan untuk mengajukan kepada kami melalui form yang terdapat di website kami http://www.nusapalapa.com/HUBUNGI_KAMI_contact_main.html

    Persyaratan :

    1. Mengisi form dan mencantumkan link artikel yang ingin kami masukan kedalam website http://www.nusapalapa.com dan sebaiknya itu merupakan artikel asli bukan berasal dari copy paste.

    2. Bersedia mencantumkan artikel website nusapalapa di dalam blog / website ( artikel akan dikirim oleh admin ).

    3. Setelah artikel nusapalapa terpasang di blog/website anda, artikel anda akan kami pasang di http://www.nusapalapa.com/BACA_INI_JUGA_news_list.html .

    4. Kerjasama ini berlangsung minimal 3 bulan dan setelah itu artikel dapat anda hapus dan demikian juga artikel di http://www.nusapalapa.com

    5. Kesempatan ini berlaku untuk semua website dan blog yang tidak memuat konten pornografi lebih dari 40 % dari total konten.

    6. Kesempatan ini di tutup hingga 30 Desember 2013.

    Terima kasih

  • Ruslianto

    JANGAN BERTANYA NILAI SEKERAT BERLIAN KEPADA TUKANG SAYUR
    (Sesuatu itu Tanyalah kepada Ahlinya)

    Beberapa ratus tahun yang lalu di Mesir, hidup seorang sufi yang terkenal bernama Zun-Nun. Pada suatu hari ~ Seorang pemuda mendatanginya dan bertanya : “Tuan, saya belum paham mengapa orang seperti Anda ini mesti berpakaian apa adanya, amat sangat sederhana,… Bukankah di zaman sekarang ini berpakaian modern sangat perlu bukan saja sekedar untuk keren dalam penampilan, namun juga untuk tujuan banyak hal lain.”

    Sang Sufi hanya tersenyum, Beliau lalu melepaskan cincin dari salah satu jarinya, lalu berkata :Orang muda, akan kujawab pertanyaanmu, tetapi lebih dahulu lakukan suatu hal untukku, …Ambil cincin ini dan bawalah kepasar di seberang sana,.. Coba bisakah menjualnya seharga sekeping emas..?”
    “Maaf tuan,….Saya tidak yakin cincin ini bisa dijual seharga itu” Kata anak muda itu , dengan sinisnya. “Cobalah dulu orang muda, siapa tau kamu berhasil menjualnya”. Kata Zun Nun.

    Pemuda itupun bergegas ke pasar. Ia menawarkan cincin itu kepada seorang pedagang kain, pedagang sayur, penjual daging dan ikan, serta pedagang yang lain yang ada disitu,…. Ternyata , tak seorang pun berani membeli cincin itu dengan harga satu keping emas, Mereka rata-rata menawarnya hanya dgn harga paling banter satu keeping perak.
    Tentu saja pemuda itu tidak berani menjualnya dengan satu keping perak, Ia kembali ke kediaman Zun Nun dan melaporkan : “Tuan, tak seorang pun yang berani menawar lebih dari satu keeping perak.”
    Zun Nun, sambil tersenyum arif, berkata : “Sekarang pergilah kamu ke kedai emas di belakang jalan ini, Coba perlihatkan kepada pemilik kedai atau tukang emas disana. Ingat jangan buka harga, dengarkan saja bagaimana ia memberikan penilaian”.
    Pemuda itupun pergi ke kedai emas yang dimaksud.

    Setelah beberapa saat, Ia kembali kepada Zun Nun dan dengan raut wajah yang lain, Ia kemudian melaporkan; “Tuan, ternyata para pedagang di pasar tadi itu tidak tau nilai sesungguhnya dari cincin ini,…. Dan ternyata Pedagang emas menawarnya dengan harga seribu keping emas. dan Rupanya nilai cincin ini seribu kali lebih tinggi daripada yang ditawar oleh para pedagang sayur dipasar tadi”.

    Zun Nun tersenyum simpul sambil berujar , lirih : “Itulah jawaban atas pertanyaanmu tadi orang muda, Seseorang tak bisa begitu saja dinilai dari pakaiannya. Hanya “para pedagang sayur ,dan ikan dipasar’ yg menilai sekeping perak. Namun tidak bagi “pedagang emas”.
    “Emas dan permata yang ada dalam diri seseorang, hanya bisa dilihat dan dinilai jika mampu melihat dari kedalaman jiwa. Diperlukan kearifan untuk menjenguknya.
    Dan itu melalui suatu proses anak muda, Kita tak bisa menilainya hanya dengan tutur kata dan sikap yang kita dengar dan lihat sekilas, Bukan tidak mungkin seringkali yang disangka emas ternyata besi biasa dan yang kita lihat sebagai besi biasa ternyata emas”.

    sMoga cerita (ini) ~ dapat diambil manfaatnya. Amiinn.
    Wass.

    • SufiMuda

      Begitulah pada umumnya di zaman sekarang, menilai sesuatu dengan ilmu yang berbeda sehingga hasilnya keliru. Bartanya ilmu hakikat kepada ulama syariat sama dgn memperbaiki jam tangan ke bengkel sepeda, bukan tambah bagus jam nya malah tambah rusak..

Tinggalkan Balasan ke new7paradiseBatalkan balasan

Eksplorasi konten lain dari Sufi Muda

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca