Tasauf

Dua Syaikh Penulis Sejarah Tasawuf

Jika sekarang kita mudah mempelajari tokoh-tokoh tasawuf di masa silam, hal ini tak lepas dari peran penulis kitab-kitab terdahulu. Adalah Kasyf al-Mahjub atau Kasyful Mahjub disebut sebagai risalah Persia tertua tentang Tasawuf, ditulis oleh Syaikh al-Hujwiri yang bernama lengkap Syaikh Abul Hasan Ali bin Ustman bin Ali al-Ghaznawi al-Jullabi al-Hujwiri, lahir di Ghazna, Afganistan. Tidak diketahui tahun kelahirannya, diperkirakan wafat pada 456 H (antara 1063 – 1064).

Penulis kitab lainnya yang menjadi sumber kajian ilmu tasawuf adalah Syaikh Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an-Naisaburi. Karyanya yang sangat terkenal adalah Risalah Qusyairiyah. Tidak diketahui tahun berapa Syaikh Qusyairi lahir, yang jelas menjadi yatim sejak kecil, kemudian mendapatkan asuhan (dalam arti intelektual, spiritual dan jasmani) dari Syaikh Abul Qasim al-Alimani, seorang sahabat karib keluarga Syaikh Qusyairi. Kepadanya Syaikh Qusyairi kecil belajar bahasa dan sastra Arab. Syaikh Abul Qasim al-Qusyairi wafat pada 465 H (1073).

Ada pendapat, antara Syaikh Hujwiri dengan Syaikh Qusyairi saling mengenal dan sempat hidup dalam satu masa. Dalam Kasyful Mahjub, Syaikh Hujwiri memasukkan Syaikh Qusyairi dalam kelompok ‘Sufi-Sufi Terkemuka pada Masa Mutaakhir’ yang dalam kata pengantarnya beliau menyampaikan, “Beberapa orang yang akan kusebut dalam bab ini sudah meninggal dunia, dan sebagian lagi masih hidup.”

Tokoh sufi yang disebut dalam Kasyful Mahjub ada ratusan orang, dengan pengelompokan sebagai berikut :

Sahabat berjumlah 4 orang, Ahlu-Bayt berjumlah 5 orang, Ahl al-Shuffah berjumlah puluhan orang, Tabi’in berjumlah 4 orang, ‘Sesudah Tabi’in hingga Masa Kini’ berjumlah 64 orang, ‘Sufi-Sufi Terkemuka pada Masa Mutaakhir’ berjumlah 10 orang – termasuk di dalamnya Syaikh Qusyairi, dan ‘Para Sufi Mutaakhir di berbagai Negeri’ disebutkan nama-nama syaikh terkemuka di negeri-negeri tertentu seperti di Fars, Quhistan, Adzarbayjan, Tabaristan, Kisy, Kirman, Khurasan, Transoxania, dan Ghazna. Sedangkan pada Risalah Qusyairiyah, penulisnya Syaikh Qusyairi memaparkan 83 tokoh sufi berikut mutiara hikmahnya.

Riwayat singkat penulis

Tentang kehidupan Syaikh Hujwiri hanya sedikit yang diketahui dan secara sepintas diriwayatkannya sendiri oleh beliau dalam Kasyful Mahjub. Beliau belajar tasawuf di bawah bimbingan Syaikh Abd al-Fadhl Muhammad bin al-Hasan al-Khuttali, kemudian pernah menjadi murid Syaikh Abu al-Abbas Ahmad bin Muhammad al-Asyqani. Beliau juga menerima pelajaran dari Syaikh Abu al-Qasim Jurjani dan Khwaja Muzhaffar, dan  beliau menyebut sejumlah syaikh besar yang dijumpainya selama dalam pengembaraan.

Beliau berkeliling ke seluruh wilayah kerajaan Islam dari Syria hingga Turkistan dan dari Hindustan hingga Laut Kaspia. Di antara negeri-negeri dan tempat-tempat yang dikunjungi adalah Azerbaijan, makam Syaikh Abu Yazid di Bistham, Damaskus, Ramla, dan Bayt al-Jinn di Syria, Thus dan Uzkand, makam Syaikh Abu Sa’id bin Abul Khayr di Mihna, Merv, dan Jabal al-Buttam di sebelah timur Samarkand. Sempat tinggal sebentar di Irak, hingga akhirnya pindah ke Lahore, Pakistan dan mengakhiri masa hidupnya di kota tersebut.

Di Lahore, tepatnya di sebelah barat kota, Syaikh Hujwiri membangun masjid dan pemondokan (khanaqah) yang menjadi tempat belajar bagi murid-muridnya. Diakui, Syaikh Hujwiri mempunyai kontribusi besar dalam mengislamkan penduduk kota. Bahkan Ray Raju, wakil pemimpin kota Lahore, masuk Islam karenanya dan menjadi murid Syaikh Hujwiri. Kitab Kasyful Mahjub ditulis dalam penghujung hidupnya di Lahore dengan dilatarbelakangi perasaan sedih karena banyak kitab-kitabnya tertinggal di Ghazna tanah kelahirannya.

Syaikh Qusyairi dilahirkan di bulan Rabiul Awal tahun 376 H / 986 di kota Astawa. Meninggal di Naisabur pada Ahad pagi tanggal 16 Rabiul Akhir tahun 465 H / 1073, ketika itu beliau berusia 87 tahun. Jenazah beliau disemayamkan di sisi makam gurunya Asy Syaikh Abu Ali Ad-Daqaq, semoga Allah merahmati keduanya.

Pada masa kecil Syaikh Qusyairi, kondisi pemerintahan tidak berpihak pada kepentingan rakyat. Para penguasa dan pejabatnya berlomba saling memperbesar pungutan pajak. Hal ini sangat mempengaruhi perkembangan jiwa beliau sehingga bercita-cita meringankan beban masyarakat. Karenanya, beliau pergi ke Naisabur untuk belajar ilmu hitung yang berkaitan dengan pajak. Tujuan jangka panjangnya adalah menguasai peran pengelolaan pajak yang akan diproyeksikan sebagai bentuk pungutan yang tidak memberatkan, sehingga warga terbebas dari beban pajak yang berat.

Naisabur pada saat itu  menjadi ibu kota Khurasan yang sebelumnya merupakan pusat para ulama, pengarang serta pujangga. Sesampainya di Naisabur, Syaikh Qusyairi belajar berbagai macam ilmu pengetahuan pada seorang guru yang dikenal sebagai imam (maha guru dalam berbagai disiplin ilmu), yaitu Syaikh Abu Ali al-Hasan bin Ali an-Naisabur, dan lebih dikenal dengan Syaikh Ad-Daqaq. Semenjak pertama kali mendengar fatwanya, Syaikh Qusyairi mengaguminya, sementara Syaikh Ad-Daqaq sendiri berfirasat bahwa pemuda ini seorang murid yang cerdas dan brilyan. Karena itu beliau bermaksud mengajari dan menyibukkannya dengan berbagai bidang ilmu. Kenyataan ini membuat Syaikh Qusyairi mencabut cita-citanya semula, membuang pikiran yang berencana menguasai peran dan ilmu kepemerintahan, dan memilih thariqah sebagai garis perjuangan hidupnya.

Syaikh Qusyairi menikah dengan Fatimah, putri Syaikh Ad-Daqaq, dikaruniai enam orang putra dan seorang putri. Guru spiritual Syaikh Qusyairi hanya satu yakni Syaikh Ad Daqaq. Namun, guru-guru di bidang ilmu fikih, kalam dan sejarah disebutkan ada enam orang. Yang pertama, Syaikh Abu Abdurrahman Muhammad bin al-Husin bin Muhammad al-Azdi as-Sulami an-Naisaburi, seorang sejarawan, ulama sufi sekaligus pengarang. Kedua, Syaikh Abu Bakar Muhammad bin Abu Bakar al-Thusi. Kepadanya beliau belajar ilmu fikih. Ketiga, Syaikh Abu Bakar Muhammad bin al-Husain bin Furak al-Anshari al-Ashbahani, ahli usul fikih. Kepadanya beliau belajar ilmu kalam. Yang keempat adalah Syaikh Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin Mahran al-Asfarayaini, cendekiawan bidang fikih dan usul fikih yang besar di daerah Isfarayain. Kepadanya beliau belajar ushuluddin. Kelima, Syaikh Abul Abbas bin Syarih, guru Syaikh Qusyairi dalam bidang ilmu fikih. Sementara yang keenam dan terakhir, Syaikh Abu Manshur alias Abdul Qahir bin Muhammad al-Bagdadi at-Tamimi al-Asfarayaini. Kepadanya beliau belajar banyak tentang mazhab Syafi’i.

Satu hal yang menarik dari Syaikh Qusyairi adalah kepiawaiannya dalam menunggang kuda, yang telah dibuktikan dengan mengikuti berbagai arena lomba pacuan kuda. Beliau juga seorang yang tangkas memainkan senjata pedang dan panah. Bahkan dengan tetap melaju di atas punggang kuda.

Sumber:

1. Kasyful Mahjub, al-Hujwiri, Penerbit Mizan, Bandung (1992)

2. Risalah Qusyairiyah, Abul Qasim Abdul Karim Hawazin al-Qusyairi an Naisaburi, Pustaka Amani, Jakarta (1998) Ensiklopedi Tasawuf, Tim UIN Syarif Hidayatullah, Penerbit Angkasa, Bandung (2008)

3. http://www.baitulamin.com

3 Comments

Tinggalkan Balasan

Eksplorasi konten lain dari Sufi Muda

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca