Sahabat Nabi

KETIKA UMAR MENANGIS

Pada suatu hari, Abu Musa al-Asy’ari, amir kota Basrah keluar dari rumahnya untuk memberikan khotbah. Jika dia memberikan khotbah, maka yang pertama-tama ia ucapkan adalah ucapan syukur dan pujian kepada Allah swt., kemudian shalawat kepada Rasulullah saw., Setelah itu, ia doakan Umar r.a.. Dan ia selalu melakukan hal itu setiap hari Jumat.

Menyaksikan kelakuan Abu Musa al-‘Asy’ari yang seperti ini, seorang laki-laki bernama Dhabbah bin Muhshan merasa jengkel dan bertanya kepadanya dengan suara lantang, “Mengapa kamu tidak pernah mendoakan Abu Bakar r.a.?”

Abu Musa r.a. pun marah mendengar perkataan Dhabbah bin Muhshan ini. Maka ia mengirim surat kepada Umar r.a sebagai Amirul Mukminin yang berbunyi bahwa Dhabbah bin Muhshan menentang isi khotbahku.

Maka Umar r.a mengirim surat balasan kepada Abu Musa r.a yang berbunyi, utuslah ia untuk menghadapku.

Datanglah Dhabbah bin Muhshan ke kota Madinah untuk menghadap Umar r.a.. Maka Umar r.a. menyambutnya dengan ucapan, “Aku tidak mau mengucapkan kata marhaban atau kata ahlan kepada kamu.”

Dlabbah pun menjawab perkataan Umar itu,”Sesungguhnya ucapan marhaban datang dari Allah, sedangkan kata ahlan, maka keberadaan keluarga dan harta adalah swt.. Dan mengapa aku dipanggil dari kotaku untuk datang menghadapmu tanpa ada kesalahan dan dosa yang aku perbuat?”

Kemudian Umar r.a. menjawab perkataan Dhabbah,”Lalu apa yang menyebabkan timbulnya pertengkaran antara kamu dengan Abu Musa?”

Dhabah pun menjawab pertanyaan Umar r.a itu,”Baiklah wahai Amirul Mukminin, aku beritahukan kepadamu persoalan yang sebenarnya. Abu Musa r.a. jika memberikan khotbah, selalu dimulai ucapan syukur dan puji kepada Allah swt., kemudian dilanjutkan dengan ucapan shalawat kepada Nabi saw., kemudian dilanjutkan dengan ucapan doa untuk engkau. Maka kelakuannya itu membuat aku merasa jengkel. Dan akhirnya aku katakan kepadanya, mengapa kamu selalu mengutamakan ia dari Abu Bakar r.a? Dan jawabannya, ia menulis surat yang berisi aduan kepada engkau.”

Mendengar ucapan Dhabbah itu, Amirul Mukminin Umar Ibnul Khattab r.a menangis. Air matanya mengalir deras di pipinya. Kemudian ia berkata,”Demi Allah, kamu lebih paham dan lebih mengerti dibandingkan ia (maksudnya Abu Musa r.a). Apakah kamu mau memaafkan dosaku, agar Allah dapat memaafkan dosaku?”

Maka Dhabbah menjawab,”Wahai Amirul Mu’minin, Allah memaafkan dosa kamu.”

Sambil menghapus air matanya, Umar r.a berkata,”Demi Allah, semalam dan sehari dari kehidupan Abu Bakar lebih baik dibandingkan Umar dengan semua keluarganya”.

 

Sumber : “100 Qishshatin wa Qishshati min Hayaati Abu Bakar ash-Shiddiq r.a, Karya Muhammad Shiddiq al-Minsyawi

20 Comments

  • sarungkutak-kutak

    salut to mas sufimuda..setelah gw baca blog ini..
    te o pe alias TOP deh..
    lanjuuut mas..
    keep writing…
    cayou…

  • sufimuda

    Makasih atas support nya, tapi saya penasaran, kok namanya sarungkutak-kutak ya? suka pake sarung kutak-kutak ya? 🙂 salam kenal….

  • truthseeker

    @Aria7x7

    ya iyalah, kan yang mulia ABU BAKAR , RA ujung ‘tali’ wasilah setelah rasul.

    Maaf utk clarification, ini statement pribadi (subjektif) atau berdasarkan nash?..:)

    Wassalam

  • secret love

    ya iyalah………
    wong silisilah NYA dari ALAH TA’ALA , MUHAMMAD SAW,ABU BAKAR ra.Dst para wali- wali silsilah,trakir turun ke GURU ku
    ehehehhe

  • BISRI

    pendapat pribadi saya, Sayyidina Umar RA itu tawadhu dan berhusnudzhan bahwa Sayyidina Abu Bakar RA lebih baik dari dia. Semua sahabat mempunyai kelebihan masing-masing. Ini pendapat saya lo, kalo salah mohon maaf.

  • diandra

    assalamualaikum…kpd sdr2 seiman seislam..!!! Sayyidina Umar bin Khotob menangis pd saat Dhabbah memberikan komentar tentang smua itu adalah pembuktian bahwa sirrah nubbuwwah Nabi Saw amatlah berhasil dan sempurna serta sangat jelas tergambar pada perilaku pribadi sosok Umar bin Khotob. Uswatun hasanah yg tlah trpancar pd pada sosok Amirrul mukminin. Moga2 kita jg termasuk org yg mendpt syafaat nya serta sirrah nubbuwahnya yakni dg mengikuti suri tauladan Saw dgn menjalankan perintah Allah serta larangannya.

  • Ruslianto

    LAPAR UNTUK MENANGIS
    Abu Ali Dhaqaq bercerita; bahwa pada suatu ketika, ada seorang Lelaki datang berkunjung ke rumah seorang Syaikh, ketika ditemui ternyata sang syaikh sedang menangis tersedu-sedu.
    Dengan penuh heran lelaki itu bertanya : “Wahai Tuan Syaikh, mengapa tuan menangis begitu terharu ?”
    “Aku lapar”‘ jawabnya.
    “Orang semacam tuan, menangis karena lapar ?”, tanya Lelaki itu sambil keheranan.
    “Diamlah kau, Sengaja aku menanggung lapar,…agar supaya aku dapat menangis ke haderat Allah, bukan menangis karena laparnya perut yang tak terisi sesuap nasi” tukas Sang Syaikh.

    Semoga cerita teladan ini bermanfa’at dalam perenungan kita.
    Wass.

  • Ruslianto

    Sang Amirul mukminin
    Suatu periode dalam kepemimpinan Umar, terjadilah Tahun Abu. Masyarakat Arab, mengalami masa paceklik yang berat. Hujan tidak lagi turun. Pepohonan mengering, tidak terhitung hewan yang mati mengenaskan. Tanah tempat berpijak hampir menghitam seperti abu.
    Putus asa mendera dimana-mana. Saat itu, Umar sang pemimpin menampilkan kepribadian yang sebenar-benar pemimpin. Keadaan rakyat diperhatikannya seksama. Tanggung jawabnya dijalankan sepenuh hati. Setiap hari , diinstruksikan penyembelihan onta-onta untuk dipotong dan disebarkan pengumuman kepada seluruh rakyat. Berbondong-bondong ribuan rakyat datang untuk makan. Semakin pedih hatinya. Saat itu, kecemasan kala itu menjadi kian tebal. Dengan hati gentar, lidah kelunya berujar, “Ya Allah, jangan sampai umat Muhammad menemui kehancuran ditangan ini”.
    Badaipun berlalu,… Tahun abu pun berlalu. Daerah kekuasaan Islam bertambah luas, pendapatan negara semakin besar. Masyarakat semakin makmur.
    Apakah umar berhenti berpatroli? Masih dengan jubah kumal, umar didampingi pembantunya berkeliling merambahi rumah-rumah berpelita. Kehidupan keluarga umar, .. namun masih saja pas-pasan. Padahal para gubernur di beberapa daerah hidup dalam kemewahan. Para sahabat, mulai berkasak-kusuk, mereka mengusulkan untuk memberi tunjangan dan kenaikan gaji yang besar untuk Umar. Namun, para sahabat tidak berani menyampaikan usul ini langsung kepada umar. Lewat Hafsah putri Umar, yang juga janda Rasulullah, .. begitu usul ini disampaikan. Sebelumnya mereka berpesan supaya tidak disebut nama-nama mereka yang mengusulkan.

    “Siapa mereka yang mempunyai pikiran beracun itu, akan ku datangi mereka satu persatu dan menamparnya dengan tanganku ini,” berangnya kepada Hafsah Janda Rasulullah Saw.
    Selanjutnya tatapannya meredup, dipandanginya putri kesayangan itu, “Anakku, makanan apa yang menjadi santapan suamimu, Rasulullah?” Hafsah terdiam, pandangannya terpekur di lantai tanah.
    Ingatan hidup indah bersama sang purnama Madinah Salallahu alaihiwasallam,…, tergambar. Terbata Hafsah menjawab, “Roti tawar yang keras, ayah. Roti yang harus terlebih dahulu dicelup ke dalam air, agar mudah ditelan”.
    “Hafsah, pakaian apa yang paling mewah dari suamimu,” seraknya masih dengan nada kecewa. Hafsah semakin menunduk, pelupuk mata sudah tergenang. Terbayanglah tegap manusia sempurna, yang selalu berlakubaik kepada para istrinya. “Selembar jubah kemerahan, ayah, karena warnanya memudar. Itulah yang dibangga-banggakan untuk menerima tamu kehormatan”. Pada saat menjawab, kerongkongan Hafsah tersekat, menahan kesedihan.
    “Apakah, Rasulullah membaringkan tubuh diatas tilam yang empuk?” pertanyaan ini langsung dipotong Hafsah “Tidakk!” pekiknya. “Beliau berbantal pelepah keras kurma, beralaskan selimut tua. Jika musim panas datang, selimut itu dilipatnya menjadi empat, supaya lebih nyaman ditiduri. Lalu kala musim dingin menjelang, dilipatnya menjadi dua, satuuntuk alas dan bagian lainnya untuk penutup. Sebagian tubuh beliau selalu berada diatas tanah”. Saat itu meledaklah tangis Hafsah.
    Mendengar jawaban itu, Umar pun berkata, “Anakku! Aku, Abu Bakar dan Rasulullah adalah tiga musafir yang menuju cita-cita yang sama. Mengapakah jalan yang harus kutempuh berbeda? Musafir pertama dan kedua telah tiba dengan jalan yang seperti ini.” Selanjutnya Umar pun menambahkan “Rasulullah pernah berkata: Kita adalah kaum yang menangguhkan kesenangan untuk hari akhir. Perumpamaan hubunganku dengan dunia seperti orang yang berpergian pada musim panas. Ia berlindung sejenak dibawah pohon, kemudian berangkat meninggalkannya”.
    Pada saat kematian menjelang lewat tikaman pisau Abu Lu’Lu’a, budak Mughira bin Syu’bah, ringan ia bertutur, “Alhamdulillah, bahwa aku tidak dibunuh oleh seorang muslim”. Mata yang jarang terlelap karena mengutamakan rakyatnya itu menutup untuk selama-lamanya. Umar pun syahid, dalam usia 60 tahun. Innalillahi Wa Inna Ilaihi Raajiiun.
    Dari berbagai sumber.
    Wass.

  • salik

    sy bantuin “buka titik JOSSSS” ya

    inti dari tulisan (KETIKA UMAR MENANGIS) ini adalah
    “Seharusnya Kita lebih banyak Menangis dan Sedikit Tertawa”

    Surga dan neraka ditampakkan kepadaku, maka aku tidak melihat tentang kebaikan dan keburukan seperti hari ini. Seandainya kamu mengetahui apa yang aku ketahui, kamu benar-benar akan sedikit tertawa dan banyak menangis.
    Anas bin Mâlik –perawi hadits ini mengatakan, “Tidaklah ada satu hari pun yang lebih berat bagi para Sahabat selain hari itu. Mereka menutupi kepala mereka sambil menangis sesenggukan. [HR. Muslim, no. 2359]

    Tidak akan masuk neraka seseorang yang menangis karena takut kepada Allah sampai air susu kembali ke dalam teteknya. Dan debu di jalan Allah tidak akan berkumpul dengan asap neraka Jahannam.

    Sesungguhnya seorang Mukmin itu melihat dosa-dosanya seolah-olah dia berada di kaki sebuah gunung, dia khawatir gunung itu akan menimpanya. Sebaliknya, orang yang durhaka melihat dosa-dosanya seperti seekor lalat yang hinggap di atas hidungnya, dia mengusirnya dengan tangannya-begini-, maka lalat itu terbang.

    Tidak ada sesuatu yang yang lebih dicintai oleh Allah daripada dua tetesan dan dua bekas. Tetesan yang berupa air mata karena takut kepada Allah dan tetesan darah yang ditumpahkan di jalan Allah. Adapun dua bekas, yaitu bekas di jalan Allah dan bekas di dalam (melaksanakan) suatu kewajiban dari kewajiban-kewajibanNya.

    Tujuh (orang) yang akan diberi naungan oleh Allah pada naungan-Nya di hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. Pertama: Imam yang berbuat adil; kedua: pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Rabbnya; ketiga: seorang laki-laki yang hatinya tergantung di masjid-masjid; keempat: dua orang lak-laki yang saling mencintai karena Allah, keduanya berkumpul karena Allah dan berpisah karena Allah; kelima: seorang laki-laki yang diajak oleh seorang wanita yang memiliki kedudukan dan kecantikan, lalu dia berkata: “Sesungguhnya aku takut kepada Allah”; keenam: seorang laki-laki yang bersedekah dengan cara sembunyi-sembunyi, sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya; ketujuh: seorang laki-laki yang menyebut Allah di tempat yang sepi sehingga kedua matanya meneteskan air mata”.[HR. al-Bukhâri, no. 660; Muslim, no. 1031]

Tinggalkan Balasan ke zoel chaniagoBatalkan balasan

Eksplorasi konten lain dari Sufi Muda

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca