Tasauf

Sudahkah Saya ber “ISLAM KAFFAH”? (bag 2)

SYARIAT

Syariat bisa disebut syir’ah. Artinya secara bahasa adalah sumber air mengalir yang didatangi manusia atau binatang untuk minum. Perkataan “syara’a fiil maa’i” artinya datang ke sumber air mengalir atau datang pada syari’ah.

Kemudian kata tersebut digunakan untuk pengertian hukum-hukum Allah yang diturunkan untuk manusia.

Kata “syara’a” berarti memakai syari’at. Juga kata “syara’a” atau “istara’a” berarti membentuk syari’at atau hukum. Dalam hal ini Allah berfirman, “Untuk setiap umat di antara kamu (umat Nabi Muhammad dan umat-umat sebelumnya) Kami jadikan peraturan (syari’at) dan jalan yang terang.” [QS. Al-Maidah (5): 48]

Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syari’at (peraturan) tentang urusan itu (agama), maka ikutilah syari’at itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang yang tidak mengetahui.” [QS. Al-Maidah (5): 18].

Allah telah mensyari’atkan (mengatur) bagi kamu tentang agama sebagaimana apa yang telah diwariskan kepada Nuh.” [QS. Asy-Syuuraa (42): 13].

Sedangkan arti syari’at menurut istilah adalah “maa anzalahullahu li ‘ibaadihi minal ahkaami ‘alaa lisaani rusulihil kiraami liyukhrijan naasa min dayaajiirizh zhalaami ilan nuril bi idznihi wa yahdiyahum ilash shiraathil mustaqiimi.” Artinya, hukum-hukum (peraturan) yang diturunkan Allah swt. melalui rasul-rasulNya yang mulia, untuk manusia, agar mereka keluar dari kegelapan ke dalam terang, dan mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus.

Jika ditambah kata “Islam” di belakangnya, sehingga menjadi frase Syari’at Islam (asy-syari’atul islaamiyatu), istilah bentukan ini berarti, ” maa anzalahullahu li ‘ibaadihi minal ahkaami ‘alaa lisaani sayyidinaa muhammadin ‘alaihi afdhalush shalaati was salaami sawaa-un akaana bil qur-ani am bisunnati rasuulillahi min qaulin au fi’lin au taqriirin.” Maksudnya, syari’at Islam adalah hukum-hukum peraturan-peraturan) yang diturunkan Allah swt. untuk umat manusia melalui Nabi Muhammad saw. baik berupa Al-Qur’an maupun Sunnah Nabi yang berwujud perkataan, perbuatan, dan ketetapan, atau pengesahan.

Terkadang syari’ah Islam juga dimaksudkan untuk pengertian Fiqh Islam. Jadi, maknanya umum, tetapi maksudnya untuk suatu pengertian khusus. Ithlaaqul ‘aammi wa yuraadubihil khaashsh (disebut umum padahal dimaksudkan khusus).

Mengerjakan syariat itu diartikan sebagai mengerjakan amal badaniah dengan segalan hukum-hukum : shalat, puasa, zakat dan haji.  Dalam syariat, apabila seseorang mengerjakan shalat dan sudah ada wudhu, telah menghadap ke Kiblat, ber-Takbiratul Ihram, membaca Al-Fatihah, Rukuk dan Sujud dan sampai dengan Taslim, maka oleh syariat dianggap shalatnya telah sempurna. Tujuan utama syariat itu adalah membangun kehidupan manusia atas dasar amar ma’ruf dan nahi munkar.

Syariat membagi ma’ruf  dalam 3 katagori :

1.      Fardhu atau wajib, Suatu perbuatan yang telah dituntut oleh syara’ (Allah swt.) dengan bentuk tuntutan keharusan. Hukum perbuatan ini harus dikerjakan. Bagi yang mengerjakan mendapat pahala dan bagi yang meninggalkan mendapat siksa. Contohnya, puasa Ramadhan adalah wajib. Sebab, nash yang dipakai untuk menuntut perbuatan ini adalah menunjukkan keharusan. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa.” [QS. Al-Baqarah (2): 183]

2.      Sunnat atau mustahab Mandub adalah mengutamakan untuk dikerjakan daripada ditinggalkan, tanpa ada keharusan. Yang mengerjakannya mendapat pahala, yang meninggalkannya tidak mendapat siksa, sekalipun ada celaan. Mandub biasa disebut sunnah, baik sunnah muakkadah (yang dikuatkan) atau ghairu (tidak) muakkadah (mustahab).

3.      Mubah atau harus adalah mengutamakan ditinggalkan daripada dikerjakan, dengan tidak ada unsur keharusan. Misalnya, terlarang shalat di tengah jalan. Yang melaksanakannya tidak mendapat dosa sekalipun terkadang mendapat celaan

Selanjutnya Syariat membagi munkarat menjadi dua katagori :

1.      Haram adalah sesutu yang telah dituntut oleh syara’ (Allah swt.) untuk ditinggalkan dengan bentuk tuntutan keharusan. Hukumnya bila dikerjakan adalah batal dan yang mengerjakannya mendapat siksa. Contohnya, tuntutan meninggalkan berzina, tuntutan meninggalkan makan bangkai, darah, dan daging babi.

2.      Makruf adalah mengutamakan ditinggalkan daripada dikerjakan, dengan tidak ada unsur keharusan. Misalnya, terlarang shalat di tengah jalan. Yang melaksanakannya tidak mendapat dosa sekalipun terkadang mendapat celaan.

Pembagian Syari’at Islam

Hukum yang diturunkan melalui Nabi Muhammad saw. untuk segenap manusia dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Ilmu Tauhid, yaitu hukum atau peraturan-peraturan yang berhubungan dengan dasar-dasar keyakinan agama Islam, yang tidak boleh diragukan dan harus benar-benar menjadi keimanan kita. Misalnya, peraturan yang berhubungan dengan Dzat dan Sifat Allah swt. yang harus iman kepada-Nya, iman kepada rasul-rasul-Nya, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan iman kepada hari akhir termasuk di dalamnya kenikmatan dan siksa, serta iman kepada qadar baik dan buruk. Ilmu tauhid ini dinamakan juga Ilmi Aqidah atau Ilmu Kalam.

2. Ilmu Akhlak, yaitu peraturan-peraturan yang berhubungan dengan pendidikan dan penyempurnaan jiwa. Misalnya, segala peraturan yang mengarah pada perlindungan keutamaan dan mencegah kejelekan-kejelekan, seperti kita harus berbuat benar, harus memenuhi janji, harus amanah, dan dilarang berdusta dan berkhianat.

3. Ilmu Fiqh, yaitu peraturan-peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan hubungan manusia dengan sesamanya. Ilmu Fiqh mengandung dua bagian: pertama, ibadah, yaitu yang menjelaskan tentang hukum-hukum hubungan manusia dengan Tuhannya. Dan ibadah tidak sah (tidak diterima) kecuali disertai dengan niat. Contoh ibadah misalnya shalat, zakat, puasa, dan haji. Kedua, muamalat, yaitu bagian yang menjelaskan tentang hukum-hukum hubungan antara manusia dengan sesamanya. Ilmu Fiqh dapat juga disebut Qanun (undang-undang).

Definisi Fiqh Islam

Fiqh menurut bahasa adalah tahu atau paham sesuatu. Hal ini seperti yang bermaktub dalam surat An-Nisa (4) ayat 78, “Maka mengapa orang-orang itu (munafikin) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan (pelajaran dan nasihat yang diberikan).”

Nabi Muhammad saw. bersabda, “Barangsiapa dikehendaki Allah kebaikan, maka Allah akan memahamkannya di dalam perkara agama.”

Kata Faqiih adalah sebutan untuk seseorang yang mengetahui hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, hukum-hukum tersebut diambil dari dalil-dalilnya secara terperinci.

Fiqh Islam menurut istilah adalah ilmu pengetahuan tentang hukum-hukum Allah atas perbuatan orang-orang mukallaf, hukum itu wajib atau haram dan sebagainya. Tujuannya supaya dapat dibedakan antara wajib, haram, atau boleh dikerjakan.

Ilmu Fiqh adalah diambil dengan jalan ijtihad. Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya menulis, Fiqh adalah pengetahuan tentang hukum-hukum Allah, di dalam perbuatan-perbuatan orang mukallaf (yang dibebani hukum) seperti wajib, haram, sunnah, makruh, dan mubah. Hukum-hukum itu diambil dari Al-Qur’an dan Sunnah serta dari sumber-sumber dalil lain yang ditetapkan Allah swt. Apabila hukum-hukum tersebut dikeluarkan dari dali-dalil tersebut, maka disebut Fiqh.

Para ulama salaf (terdahulu) dalam mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalil di atas hasilnya berbeda satu sama lain. Perbedaan ini adalah suatu keharusan. Sebab, pada umumnya dalil-dalil adalah dari nash (teks dasar) berbahasa Arab yang lafazh-lafazhnya (kata-katanya) menunjukkan kepada arti yang diperselisihkan di antara mereka.

Fiqh Islam terbagi menjadi enam bagian:
1. Bagian Ibadah, yaitu suatu bagian yang membicarakan hukum-hukum yang dipakai untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. dan untuk mengagungkan kebesaran-Nya, seperti shalat, zakat, puasa, dan haji.
2. Bagian Ahwal Syakhshiyah (al-ahwaalu asy-syakhsyiyyatu), yaitu suatu bagian yang membicarakan hukum-hukum yang berhubungan dengan pembentukan dan pengaturan keluarga dan segala akibat-akibatnya, seperti perkawinan, mahar, nafkah, perceraian (talak-rujuk), iddah, hadhanah (pemeliharaan anak), radha’ah (menyusui), warisan, dan lain-lain. Oleh kebanyakan para mujtahidin, bagian kedua ini dimasukkan ke dalam bagian mu’amalah.
3. Bagian Mu’amalah (hukum perdata), yaitu suatu bagian yang membicarakan hukum-hukum yang mengatur harta benda hak milik, akad (kontrak atau perjanjian), kerjasama sesama orang seperti jual-beli, sewa menyewa (ijarah), gadai (rahan), perkonsian (syirkah), dan lain-lain yang mengatur urusan harga benda seseorang, kelompok, dan segala sangkut-pautnya seperti hak dan kekuasaan.
4. Bagian Hudud dan Ta’zir (hukum pidana), yaitu bagian yang membicarakan hukum-hukum yang berhubungan dengan kejahatan, pelanggaran, dan akibat-akibat hukumnya.
5. Bagian Murafa’at (hukum acara), yaitu bagian yang membicarakan hukum-hukum yang mengatur cara mengajukan perkara, perselisihan, penuntutan, dan cara-cara penetapkan suatu tuntutan yang dapat diterima, dan cara-cara yang dapat melindungi hak-hak seseorang.
6. Bagian Sirra wa Maghazi (hukum perang), yaitu bagian yang membicarakan hukum-hukum yang mengatur peperangan antar bangsa, mengatur perdamaian, piagam perjanjian, dokumen-dokumen dan hubungan-hubungan umat Islam dengan umat bukan Islam.

Jadi, Fiqh Islam adalah konsepsi-konsepsi yang diperlukan oleh umat Islam untuk mengatur kepentingan hidup mereka dalam segala segi, memberikan dasar-dasar terhadap tata administrasi, perdagangan, politik, dan peradaban. Artinya, Islam memang bukan hanya akidah keagamaan semata-mata, tapi akidah dan syariat, agama dan negara, yang berlaku sepanjang masa dan sembarang tempat.

Dalam Al-Qur’an ada 140 ayat yang secara khusus memuat hukum-hukum tentang ibadah, 70 ayat tentang ahwal syakhshiyah, 70 ayat tentang muamalah, 30 ayat tentang uqubah (hukuman), dan 20 ayat tentang murafa’at. Juga ada ayat-ayat yang membahas hubungan politik antara negara Islam dengan yang bukan Islam. Selain Al-Qur’an, keenam tema hukum tersebut di atas juga diterangkan lewat hadits-hadits Nabi. Sebagian hadits menguatkan peraturan-peraturan yang ada dalam ayat-ayat Al-Qur’an, sebagian ada yang memerinci karena Al-Qur’an hanya menyebutkan secara global, dan sebagian lagi menyebutkan suatu hukum yang tidak disebutkan dala mAl-Qur’an. Maka, fungsi hadits adalah sebagai keterangan dan penjelasan terhadap nash-nash (teks) Al-Qur’an yang dapat memenuhi kebutuhan (kepastian hukun) kaum muslimin.

Petunjuk-petunjuk tersebut diatas memberikan pegangan yang kuat bagi setiap manusia untuk dapat pengertian dalam membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang benar dan mana yang salah. Petunjuk-petunjuk itu mengikat manusia sebagai kewajiban moral dalam segala sikap hidupnya. Dalam mengerjakan haram dan makruh, kemaksiatan atau kejahatan, semua itu dipandang sebagai dosa dan balasannya adalah Neraka.

Peraturan-peraturan yang di atur dalam syariat berdasarkan Al Qur’an dan Sunnah yang merupakan sumber hukum-hukum Islam untuk keselamatan manusia, untuk ketertiban dan ketenangan hidup di dunia.  Tetapi menurut Ahli Sufi, bahwa syariat itu baru merupakan tingkat pertama dalam menuju jalan kepada Tuhan.

Sebagaimana Ilmu Tasawuf menerangkan bahwa syariat Islam itu hanya berupa peraturan-peraturan belaka.  Thariqat lah yang merupakan perbuatan untuk melaksanakan syariat itu. Apabila “Syariat” dan “Thariqat” itu sudah dapat dikuasai maka lahirlah “Hakikat” yang tidak lain daripada perbaikan keadaan dan ahwal, sedangkan tujuan terakhir adalah “Makrifat” yaitu mengenal Allah dengan sebenar-benarnyanya, berjumpa dengan Allah dan mencintaiNya.

Kesimpulan

Syariat merupakan ilmu mengenal jenis perintah sedangkan Thariqat/Hakekat adalah ilmu pengenalan sang “PEMBERI PERINTAH”

Setelah kita mengetahui hukum-hukum dan segala perintahNya maka tujuan hakiki hidup adalah mengenal sang “PEMBERI PERINTAH”, menghadirkan DIA disetiap ibadah, baik Shalat, Puasa, Zakat maupun haji, karena tanpa “hadir” DIA maka seluruh ibadah kita akan sia-sia karena Iblis beserta bala tentaranya akan selalu menyusup dalam hati untuk membuat kita lalai tidak khusuk dan akhirnya shalat kita di ancam dengan Neraka Wail.

Sungguh amat sia-sia ibadah yang kita kerjakan, Shalat kita kosong, puasa kita sia-sia, zakat kita tidak bermakna dan haji kita menjadi hampa karena tidak ada ruh spiritual Islam.  Ketika naik haji menjadi tamu Allah tidak pernah kita berjumpa dengan sang ‘TUAN RUMAH”, maka penyair Islam Hamzah Fanshuri  pernah menulis dalam Syairnya : Pergi ke Mekkah mencari  ALLAH, Pulang ke Rumah Bertemu  DIA

Ketika melakukan shalat untuk menghambakan diri tidak mengenal siapa yang disembah, padahal perintah Shalat tidak lain adalah untuk mengingat DIA, bagaimana mungkin kita bisa mengingat sesuatu yang belum kita kenal?

Dalam sebuah hadist Rasulullah pernah bersabda bahwa ada dua hal yang amat disenangi bagi orang yang berpuasa yaitu Bertemu Tuhannya dan Berbuka. Artinya seseorang yang tidak “berjumpa” Tuhan ketika berbuka puasa tidak memiliki makna dari puasanya.

Mudah-mudahan Allah SWT akan selalu menuntun dan membimbing kita kejalan yang diridhaiNya, Amin

10 Comments

Tinggalkan Balasan

Eksplorasi konten lain dari Sufi Muda

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca