Tasauf

CINTA RABIAH AL-ADAWIYAH

Pada suatu hari seorang lelaki datang kepada Rabiah al-Adawiyah al-Bashriyah dan bertanya, “Saya ini telah banyak melakukan dosa. Maksiat saya bertimbun meleblhl gunung-gunung. Andaikata saya bertobat, apakah Allah akan menerima tobat saya?” “Tidak,” jawab Rabiah dengan suara sangar. Pada kali yang lain seorang lelaki datang pula kepadanya. Lelaki itu berkata, “Seandainya tiap butir pasir itu adalah dosa, maka seluas gurunlah tebaran dosa saya.

Maksiat apa saja telah saya lakukan, baik yang kecil maupun yang besar. Tetapi sekarang saya sudah menjalani tobat. Apakah Tuhan menerima tobat saya?” “Pasti,” jawab Rabiah dengan tegas. Lalu ia menjelaskan, “Kalau Tuhan tldak berkenan menerlma tobat seorang hamba, apakah mungkin hamba itu tergerak menjalani tobat? Untuk berhenti darl dosa, jangan simpan kata “akan atau “andaikata” sebab hal itu akan merusak ketulusan niatmu.”

Memang ucapan sufi perempuan dari kota Bashrah itu seringkali menyakitkan telinga bagi mereka yang tidak memahami jalan pikirannya. Ia bahkan pernah mengatakan, “Apa gunanya meminta ampun kepada Tuhan kalau tidak sungguh-sungguh dan tidak keluar dari hati nurani?” Barangkali lantaran ia telah mengalami kepahitan hidup sejak awal kehadirannya di dunia ini. Sebagai anak keempat. Itu sebabnya ia diberi nama Rabiah. Bayi itu dilahirkan ketika orang tuanya hidup sangat sengsara meskipun waktu itu kota Bashrah bergelimang dengan kekayaan dan kemewahan. Tidak seorang pun yang berada disamping ibunya, apalagi menolongnya, karena ayahnya, Ismail, tengah berusaha meminta bantuan kepada para tetangganya.

Namun, karena saat itu sudah jauh malam, tidak seorang pundari mereka yang terjaga. Dengan lunglai Ismaill pulang tanpa hasil, padahal ia hanya ingin meminjam lampu atau minyak tanah untuk menerangi istrinya yang akan melahirkan . Dengan perasaan putus asa Ismail masuk ke dalam biliknya. Tiba-tiba matanya terbelak gembira menyaksikan apa yang terjadi di bilik itu.

Seberkas cahaya memancar dari bayi yang baru saja dilahirkan tanpa bantuan. siapa-siapa . “Ya Allah,” seru Ismail, “anakku, Rabiah, telah datang membawa sinar yang akan menerangi alam di sekitarnya.” Lalu Ismail menggumam, “Amin.” Tetapi berkas cahaya yang membungkus bayi kecil itu tidak membuat keluarganya terlepas dari belitan kemiskinan. Ismail tetap tldak punya apa-apa Kecuali tiga kerat roti untuk istrinya yang masih lemah itu. Ia lantas bersujud dalam salat tahajud yang panjang, menyerahkan nasib dlrinya dan seluruh keluarganya kepada Yang Menciptakan Kehidupan.

Sekonyong-konyong ia seolah berada dalam lautan mimpi manakala gumpalan cahaya yang lebih benderang muncul di depannya, dan setelah itu Rasul hadir bagaikan masih segar-bugar. Kepada Ismail, Rasulullah bersabda, “Jangan bersedih, orang salih. Anakmu kelak akan dicari syafaatnya oleh orang-orang mulia. Pergilah kamu kepada penguasa kota Bashrah, dan katakan kepadanya bahwa pada malam Jumat yang lalu ia tidak melakukan salat sunnah seperti biasanya. Katakan, sebagai kifarat atas kelalaiannya itu, ia harus membayar satu dinar untuk satu rakaat yang ditinggalkannya.

Ketika Ismail mengerjakan seperti yang diperintahkan Rasulullah dalam mimpinya, Isa Zadan, penguasa kota Bashrah itu, terperanjat. Ia memang biasa mengerjakan salat sunnah 100 rakaat tiap malam, sedangkan saban malam Jumat ia selalu mengerjakan 400 rakaat. Oleh karena itu, kepada Ismall diserahkannya uang sebanyak 400 dinar sesuai dengan jumlah rakaat yang ditinggalkannya pada malam Jumat yang silam. Itulah sebagian dari tanda-tanda karamah Rabiah al-Adawiyah, seorang sufi perempuan dari kota Bashrah, yang di hatinya hanya tersedia cinta kepada Tuhan. Begitu agungnya cinta itu bertaut antara hamba dan penciptanya sampai ia tidak punya waktu untuk membenci atau mencintai, untuk berduka atau bersuka cita selain dengan Allah.

Tiap malam ia bermunajat kepada Tuhan dengan doanya, “Wahai, Tuhanku. Di langit bintang-gemintang makin redup, berjuta pasang mata telah terlelap, dan raja-raja sudah menutup pintu ger- bang istananya. Begitu pula para pecinta telah menyendiri bersama kekasihnya. Tetapl, aku kini bersimpuh di hadapan-Mu, mengharapkan cinta-Mu karena telah kuserahkan cintaku hanya untuk-Mu.”

Fariduddin al-Attar menceritakan dalam kitab Taz-kiratul Auliya bahwa Rabiah pandai sekali meniup seruling. Untuk jangka waktu tertentu ia menopang hidupnya dengan bermain musik. Namun, kemudian ia memanfaatkan kepandaiannya untuk mengiringi para sufi yang sedang berzikir dalam upayanya untuk menekatkan diri kepada Tuhan. Selain itu ia mengunjungi masjid-masjid, dari pagi sampai larut malam. Namun, lantaran ia merasa dengan cara itu Tuhan tidak makin menghampirinya, maka ditinggalkannya semua itu.

Ia tidak lagi meniup seruling, dan ia tidak lagi mendatangi masjid-masjid. Ia menghabiskan waktu dengan beribadah dan berzikir. Setelah selesai salat isa, ia terus berdiri mengerjakan salat malam. Pernah ia berkata kepada Tuhan, “Saksikanlah, seluruh umat manusia sudah tertidur lelap, tetapi Rabiah yang berlumur dosa masih berdiri di hadapan-Mu. Kumohon dengan sangat, tujukanlah pandangan-Mu kepada Rabiah agar ia tetap berada dalam keadaan jaga demi pengabdiannya yang tuntas kepada-Mu.”

Jika fajar telah merekah dan serat-serat cahaya menebari cakrawala, Rabiah pun berdoa dengan khusyuk, “Ya, illahi. Malam telah berlalu, dan siang menjelang datang. Aduhai, seandainya malam tidak pernah berakhir, alangkah bahagianya hatiku sebab aku dapat selalu bermesra-mesra dengan-Mu. illahi, demi kemuliaan-Mu, walaupun Kautolak aku mengetuk pintu-Mu, aku akan senantiasa menanti di depan pintu karena cintaku telah terikat dengan-Mu.”

Lantas, jika Rabiah membuka jendela kamarnya, dan alam lepas terbentang di depan matanya, ia pun segera berbisik, “Tuhanku. Ketika kudengar margasatwa berkicau dan burung-burung mengepakkan sayapnya, pada hakikatnya mereka sedang memuji-Mu. Pada waktu kudengar desauan angin dan gemericik air di pegunungan, bahkan manakala guntur menggelegar, semuanya kulihat sedang menjadi saksi atas keesaan-Mu.

Tentang masa depannya ia pemah ditanya oleh Sufiyan at-Thawri: “Apakah engkau akan menikah kelak?” Rabiah mengelak, “Pernikahan merupakan keharusan bagi mereka yang mempunyai pilihan. Padahal aku tidak mempunyai pilihan kecuali mengabdi kepada Allah.” “Bagaimanakah jalannya sampai engkau mencapai martabat itu?” “Karena telah kuberikan seluruh hidupku,” ujar Rabiah. “Mengapa bisa kaulakukan itu, sedangkan kami tidak?” Dengan tulus Rabiah menjawab, “Sebab aku tidak mampu menciptakan keserasian antara perkawinan dan cinta kepada Tuhan.”

72 Comments

  • geri tefana

    Inii cerita saja dan tdk ada keterangan sma sekali perawi2nya..malah bertentangan dgn Hadist shoheh..krn Nabi mengerjakan Sholat Malam tdk pernah sampe 100 rakaat ..apa lagi sampe 400 rakaat..crita2 spt ini seakan2 melebihi Nabi dlm ketaqwaan…dan kebanyakan org2 Sufy ghulw (berlebihan) dlm agama dan crita2 mistik..

    • SufiMuda

      Perawi itu diperlukan untuk menguatkan hadist, ucapan2 Nabi bukan untuk menguatkan cerita atau kisah ulama yang hidup jauh setelah Nabi, itu harus kita pahami dulu.
      Coba anda berikan hadist shahih mana yang bertentangan dengan cerita di atas?
      Apakah ada ummat Nabi yang berfikir bisa melebihi ketaqwaan Nabi dengan melakukan ibadah lebih? Kalau anda shalat malam 101 apakah anda merasa lebih tinggi derajat dari Nabi?
      Walaupun 2 rakaat shalat Nabi tidak bisa dibandingkan walau dengan ribuan shalat orang selain Nabi.
      Saya tanya kepada anda, apa makna berlebihan? apakah ada hadist atau Ayat Al-Qur’an yang melarang kita shalat lebih dari 100 rakaat?
      Sufi melakukan ibadah sesuai dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah, cuma kebanyakan orang hanya mengetahui ibadah Rasul menurut yg dia ketahui sehingga menganggap ibadah orang lain berlebihan.
      Nabi tidak pernah menganjurkan shalat tarawih berjamaah, Umar bin Khattab melakukan shalat tarawih berjamaah, apakah itu disebut berlebihan?

      Agama kalau dimaknai secara tekstual seringkali akan kehilangan “roh” dari agama itu sendiri itulah sebabnya seorang ahli tafsir tidak cukup hanya mengerti tentang bahasa dan sastra arab, tapi dia juga harus paham tentang sejarah dan ilmu-ilmu lain yang mendukung sehingga dia bisa mentafsirkan al_qur’an dengan baik dan benar dan bisa bermanfaat untuk ummat,
      demikian

      • Tegakkan Sunnah

        Sholat itu syar’ie yg Qoth’ie Hukumnya bukan dgn Ittihad akhi..nanti semua akan berijtihad sendiri2 dlm sholat klo tdk kembali ke Sunnah (Hadist yg Shoheh)..

    • candra

      Bro Geri…..
      Menurut saya tidak semua amalan nabi ada hadistnya.
      ntar kalopun ada hadistnya pasti anda tidak mau mengerjakannya.
      wong sholat tahajud 2 rakaat aja barangkali berat. he7:-)

      dan sholat malam 400 rakaat itu bukan isapan jempol, karena emang saya pernah melihat dengan mata dikepala saya sendiri ada yang mengerjakannya.

      Bro Geri tidak percaya ya monggo…..
      tidak merubah kenyataan yang ada

      Peace.

      • Tegakkan Sunnah

        Masalah Ibadah ada tuntunannya akhi..bukan hanya Ijtihad saja…ini hadist shohehnya…Dari Ummul mukminin, Ummu ‘Abdillah, ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda: “
        (Bukhari dan Muslim. Dalam riwayat Muslim : “Barangsiapa melakukan suatu amal yang tidak sesuai urusan kami, maka dia tertolak”)

    • lulu syaifana sf

      atas dasar apa anda mengatakan nabi tidak pernah mengerjakan sholat 400 rokaat?????
      kalau anda menyepelekan kisah di atas, seharusnya anda beri keterangan hadist yang anda maksud

    • bayi shufi

      nabi sholat sampai kaki beliau bengkak,,dan kita tdk pernah tau brp rakaat sholat yg beliau kerjakan hingga kaki beliau bengkak,karena beliau tdk pernah ngasih tau brp rakaat sholat malam beliau..memangnya anda tau dari mana beliau sholat tdk sampai 100 rakaat?

    • sok tau

      pertanyaan anda persis Sufiyan at-Thawri di akhir kisah ….. anda tau , tapi belum menguasai…semoga anda di limpahkan pengetahuan dan iman….amiiin….

  • Sahidah Ali

    SUBHANALLAH….ALLAHUAKBAR!
    “Apa gunanya meminta ampun kepada Tuhan kalau tidak sungguh-sungguh dan tidak keluar dari hati nurani?”
    “Sebab aku tidak mampu menciptakan keserasian antara perkawinan dan cinta kepada Tuhan
    .”aku kini bersimpuh di hadapan-Mu, mengharapkan cinta-Mu karena telah kuserahkan cintaku hanya untuk-Mu.
    ”walaupun Kautolak aku mengetuk pintu-Mu, aku akan senantiasa menanti di depan pintu karena cintaku telah terikat dengan-Mu.”

  • tanya ustazah

    Semakin hampir kiamat semakin brbagai bagai diceritakan cerita. Dia lebih mengetahui semua dilangit dan dibumi. Walau bagaimanpun..ambil yg baik, tinggalkan prkara yg tidak baik. Wallahualam

  • Hamba Alloh

    Aminkan aja supaya kita bisa memiliki kecintaan yg luar biasa kpd Alloh ..jgn prrnah menganggap diri kita paling benar sahabat2ku ..bkankah itu adalah sifat sombong ,dan Alloh sangatlah tdk suka dgn sifat sombong .. Lanjutkan dakwahmu sufi muda

  • Husain

    1. Pertanyaan ana, siapaku guru dari Rabiah?
    2.“Sebab aku tidak mampu menciptakan keserasian antara perkawinan dan cinta kepada Tuhan.”
    Rasulullah saw bersabda,”Apabila seorang hamba menikah maka sungguh orang itu telah menyempurnakan setengah agama maka hendaklah dia bertakwa kepada Allah dalam setengah yang lainnya.”
    (Hadits ini dishahihkan oleh Al Banni didalam Shahihut Targhib wat Tarhib)
    Ini cukup kontradiktif, mohon pencerahan

    • Abhie

      Guru dari Rabiah itu adalah Syekh Abdul kadir Jaelani seorang Sufi (Wali),,, orang sufi itu sudah meninggalkan nafsu dunianya,, seakan2 hidupnya hanya untuk menyembah kepada Allah SWT semata. Orang sufi itu adalah orang yang sudah menempuh tingkatan Ma’rifat kepada Allah SWT….. Dalam Islam ada 4 macam Tingkatan agama :
      1. Syariat : Hukum atau Aturan
      2. Tarekat : Jalan (aliran) dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT (asal kita tidak salah dalam memilih tarekat)
      3. Hakekat (keyakinan sudah mengandung nilai kebenaran disisi Allah SWT).
      4. Ma’rifat (Mengenal Allah SWT)..

      Diibaratkan sebuah balon lampu & stand balon (syariat), Kabel (tarekat), Sakelar (Hakekat), Balon lampu tidak akan menyala Jika tidak ada strom yang mengalir di dalam kabel itu, strom itulah yang dikatakan Ma’rifat…

      • SufiMuda

        Rabi’ah adalah generasi awal sufi Lahir tahun 105 H sezaman dengan Hasan Basri sedangkan dan Syekh Abdul Qadir lahir 640 H. Keduanya hidup dalam rentang waktu yang berbeda.

  • Arie

    Dlm komen smua gak ada yg salah, pada dasarnya sama2 dlm sunnah dan al-hadist, hanya saja untuk tingkat pengenalan dalam ke-TUHAN-an masing2 orang ada yg berbeda-beda.

  • alfian

    begitu aja koq repot rek rek..? mangkali yang merasa paling benar,paling pinter,paling sunnah bakal masuk surganya Allah,kalau yang merasa paling benernya cuma 500 juta orang berarti surga cuma buat dia doang…..padahal surga seluas langit dan bumi.ntar disono kita nafsi nafsi koq,

  • Indra

    Wah ceritanya gak masuk di akal, mana mgkin orang shalat malam 400 rokaat. jika 1 rokaat selesai dlm wktu 2 menit, berarti 400 rokaat selesai dlm wktu 800 menit. Dan 1 jam itu 60 menit, berarti 800/60 sama dengan 13 jam lbh. Sedangkan shalat malam wktunya tdk lbh dr 8 jam, lalu nyari dmn sisa 5 jam nya. Hadeuh klw nulis cerita tuh dipikir2 dl
    Sedangkan shalat malam nabi tdk prnh lbh dari 11 rakaat, ada hadist nya tuh diriwayatkan oleh aisyah.

    • arkana

      @pak Indra;

      mungkin kita perlu sepakat dulu dalam beberapa hal,

      pertama yang menentukan 1 rakaat = 2 menit itu siapa? perkiraan logika anda aja kan?

      kedua, yang menentukan 1 jam = 60 menit itu siapa? apakah di zaman Rabiah Al-Adawiyah sudah ada orang Swiss yang menemukan jam?

      ketiga, mengapa anda lebih percaya pada konvensi internasional mengenai ketetapan waktu?

  • Indra

    Pak arkana
    Shalat taraweh saja yg 23 rokaat slesai dlm wktu stgh jam, itu yg super kilat dan shalatnya tidak tumaninah bacaannya pun surat pendek. Apakh kaum sufi shalatnya super kilat jg???
    Sejak dr zaman nabi itu sdh ada perhitungan wktu, hari, bulan dan tahun. Yg disebut tahun hijriah, dan perhitungan wktu dr zaman nabi masih dipakai smp skrg untuk menentukan wktu shalat. Jd tidak ada yg beda wktu di zaman nabi sm wktu skrg.
    Atau mgkn ditmpt pak arkana wktunya beda y? 1 hr = 50 jam

    • arkana

      @ pak Indra;

      maksud saya bukan itu…. tapi oke lah, saya paksakan anda sesuatu yang tidak anda pahami mungkin bukan cara yg tepat….

      tapi sebagai analogi, mungkin kisah 7 pemuda dan seekor anjing yang tertidur 300 tahun (QS Al Kahfi) bisa memberikan anda persepsi lain tentang ‘waktu’

    • Hamba Allah

      Kaum sufi dan para wali Allah merupakan manusia yang telah dipilih Allah SWT untuk meneruskan manifestasi ajaran Islam, baik yang wajib maupun yang sunnah.
      Mereka hanya mengharapkan Allah SWT semata, dunia tiada berarti bagi mereka karena kalbu mereka hidup bersama-Nya.
      Kami, para sufi dan para wali tidak pernah berfikir untuk dapat melebihi walau sebesar atom pun amal ibadah dan sunnah yang baginda Rasulullah SAW telah contohkan kepada kami sepanjang hidup beliau. Karena sunnah tiada ada batasnya.
      Kami, para sufi dan para wali mampu melaksanakan semua amal ibadah tersebut sebatas kemampuan kami dan karena adanya pertolongan Allah SWT.
      Segalanya mungkin bila Allah SWT menghendaki.
      Jumlah ratusan rakaat yang telah kami lakukan tidak lebih dari sekedar batas kemampuan untuk menguji diri kami sendiri dalam mencoba untuk melampauinya terus menerus.

  • Yudi Saraan

    duhai Allah tuhan yang menciptakanku sungguh cinta Mu kepada hambamu tiada terhingga namun aku yang kotor penuh dosa mengrap cintamu sucikanlah hatiku sucikanlah hatiku sucikanlah hatiku ya Allah

Tinggalkan Balasan ke arkanaBatalkan balasan

Eksplorasi konten lain dari Sufi Muda

Langganan sekarang agar bisa terus membaca dan mendapatkan akses ke semua arsip.

Lanjutkan membaca